Home / Pernikahan / DIMADU KARENA DIFITNAH MANDUL / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of DIMADU KARENA DIFITNAH MANDUL: Chapter 81 - Chapter 90

118 Chapters

Memulai Hidup Yang Baru

“Kamu kenapa Aisyah?” Aisyah tak sadar Hendra sedang bertanya padanya. “Aisyah!” panggilnya untuk yang kesekian. Hendra beralih menepuk pundak istrinya pelan. Aisyha terkejut, “A, eh iya Mas. Kenapa?” “Hmm, harusnya Mas yang nanya kamu kenapa? Kok tiba-tiba murung terus ngelamun gitu?” “Ah, enggak. Perasaan Mas aja kali!” kilahnya. Ia beranjak pergi menyusul bu Asih. Tangan kanan Hendra melesat mencekal tangan Aisyah dan mengentikan langkah wanita itu. “Ada apa Mas? Aku udah bilang nggak kenapa-napa!” kekehnya. Ia terus saja membantah. “Aisyah aku ini suami kamu, jadi tolong ya apa pun perasaan yang mengganjal di hati kamu usahain dibagi juga ke aku!” Hendra berusaha membujuk istrinya itu. “Maaf Mas.” Aisyah tertunduk lesu. “Maaf, maaf kenapa? Kamu nggak ada buat salah kok! Mas cuma berusaha ngingetin ke kamu aja, kalau ada apa-apa ayo cerita ke Mas kan udah sering dikasi tau juga kalau Mas ada di sini buat jadi tempat keluh kesah kamu. Udah ya, jangan sedih gitu
Read more

Pertemuan Pertama Bima

*** “Ini semua demi anak gua, gimana pun caranya hari ini gua harus bisa nemuin anak gua!” gumamnya dalam hati. “Bima! Kamu kerja hari ini?” “Iya, Ma. Hari ini Bima nggak keliling karena mau ngerekap data penjualan di kantor,” jawabnya. “Oh, baguslah. Setidaknya Mama di rumah nggak was-was mikirin kamu ketemu sama temen-temen Mama nanti di jalan!” Ajeng kembali membahasnya. Bima mendengus. “Terserah Mama, Bima udah capek dengerin itu mulu!” Ia melangkah pergi. Pria itu mulai menjalankan aksinya, tanpa sepengetahuan Ajeng ia nekat pergi ke Surabaya demi memuaskan rasa penasarannya dan hasratnya untuk bertemu dengan anaknya. Bima kini tak bisa menahan lagi rasa keingintahuannya, bahkan ancaman dari ibunya sendiri pun tak mempan baginya. * “Kali ini gua harus bertindak hati-hati,” gumamnya. Pria itu kembali menyusuri jalan yang cukup dikenalnya. Langkahnya berhenti di seberang jalan tepat di depan rumah sederhana berwarna hijau dengan kedai ma
Read more

Menyusun Rencana

*** “Bima, habis dari mana kamu?” tanya Ajeng marah. “Dengerin penjelasan Bima dulu Ma!” sahutnya. Ia sedikit gelagapan. “Seharian kamu nggak pulang ke rumah buat khawatir, di telpon nggak diangkat! Nggak ada kabar sama sekali!” Bima pergi ke Surabaya tanpa sepengetahuan Ajeng dan bahkan pria itu mengabaikan panggilan telepon dari ibunya yang membuat Ajeng semakin kesal padanya. “Ma! Dengerin dulu makanya, dari tadi Bima nggak dikasi kesempatan ngomong!” “Dari mana aja kamu? Jangan bilang karena alasan lembur kerja ya, Mama sudah hapal dengan alasan-alasan omong kosongmu itu!” Bima mengeluarkan gawainya, karena ia tak diberikan kesempatan berbicara ia dengan cepat memutar rekaman video yang berisikan bu Asih menggendong seorang bayi di depan teras rumah. “Mama lihat! Apa yang Bima dapatkan!” Ajeng meraih gawai Bima dan melihatnya dengan saksama. “Ini bu Asih kan! Maksud kamu apa?” Ajeng sedikit bingung. “Bima! Jadi kamu pergi ke rumah perem
Read more

Wejangan

Tok! Tok! Tok! “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, siapa?” Bu Asih membuka pintu, “Eh, bu Yani. Kapan sampai sininya? Tiba-tiba udah di sini aja!” “Kemarin malam, kita baru sampai di Surabaya! Ini kejutan karena kita nggak ada ngabarin siapa-siapa kalau hari ini mau ke sini!” tukasnya. “Yak ampun, saya sampai kaget! Ayo bu pak masuk dulu!” “Arkanya mana bu Asih?” “Arkanya masih tidur kalau jam segini, tapi bentar lagi dia bangun kok. Ibunya lagi di kedai bantu-bantu Hilda nyiapin jualan, kayaknya lagi sibuk sampai nggak ngeh ada yang datang.” “Pagi-pagi udah sibuk banget Aisyah!” “Ya beginilah bu kegiatan kita di sini cuma begini, buat nyambung hidup! Bu Yani sama pak Hedi mau minum apa?” “Udah bu, nggak usah repot-repot. Oh iya saya ke sini mampir sebentar, mau lihat Arka boleh?” “Kok buru-buru sekali bu?” “Iya, nanti kita ke sini lagi. Saya kebetulan lama di sini sekitar sebulanan, cuma karena nggak sabar lihat Arka jadi tadi langsung mampir ke sini eh ternyata Arkanya mas
Read more

Jadi Bahan Olok-olokan

*** “Gimana bro?” “Gimana kenapa?” Hendra bingung. “Ya elah, lu sama istri lu! Gimana?” “Alhamdulilah, aman-aman aja kok,” sahutnya. Sekumpulan teman lelaki dokter itu, saling lempar pandang lantas mereka tertawa. “HAHAHA.” Hendra yang tak tahu menahu merasa keheranan akan hal apa yang teman-temannya tertawakan. Hendra menggaruk kepalanya, “Kalian ngetawain apa sih?” “Nggak, nggak ada!” sahut salah seorang temannya, yang mengenakan baju polo berwarna putih. “Gimana perasaan lu Hen? Nikah sama orang yang udah pengalaman?” tanya lelaki berkacamata. “Iya tuh, udah berpengalaman dikasi bonus lagi! Hebat lu Hen, ajarin gua dong!” timpal yang lainnya. “Pengalaman? Kalian semua lagi ngomongin apa sih?” Hendra masih tampak bingung. Mereka saling tunjuk dan kembali saling lempar pandang. “Lu kayak nggak ngerti aja sih Hen, gini nih udah jadi bapak-bapak lupa deh sama candaan tongkrongan!” Hendra masih terdiam, ia berusaha mencerna p
Read more

Diremehkan

“Silahkan dipilih-pilih bu! Ini semua barang berkualitas jadi dijamin keaslian dan keamananya!” ucap Bima, berusaha meyakinkan pembeli untuk membeli dagangan perabotan dapur yang ia jajakan. Tampak sekumpulan ibu-ibu mengelilingi dagangan Bima dan memilih-milihnya, ada juga yang hanya sekadar melihat-lihat saja. “Yang ini berapaan?” “Oh itu murah bu, hanya tiga puluh lima ribu aja!” jawabnya antusias. “Oh ya udah saya beli ini ya,” ucap ibu berambut ikal itu, sembari merogoh kantung bajunya untuk meraih uang yang ia bawa. “Kembaliannya ibu, terima kasih!” tukas Bima, sembari memberikan uang kembalian pada ibu berambut ikal itu. “Kamu Bima anaknya bu Ajeng kan?” tanya seorang ibu-ibu berdaster kuning yang baru saja tiba. “E, iya bu. Saya Bima!” sahutnya tanpa rasa sungkan. “Oh, berarti benar ternyata masalah gosip itu!” celetuknya. Ibu itu tampak senang karena baru saja seperti mendapatkan sebuah kebenaran yang sangat penting. “Maaf, gosip apa ya bu?” tanya Bima pen
Read more

Menanggung Rasa Malu

*** “Bima! Udah berapa kali Mama bilang, kalau lagi jualan terus ketemu orang yang sekiranya kenal sama kita mending kamu menjauh aja! Mama malu Bima, malu. Kamu paham nggak sih?” protesnya. Ajeng kali ini tampak serius. “Terus mau Mama sekarang apa? Bima berhenti kerja gitu?” “Ya kamu nyari kerjaan yang lain atau apa kek, yang pasti jangan sampai malu-maluin gini dong!” “Mama pikir nyari kerja itu gampang? Syukur-syukur sekarang Bima masih bisa kerja, Ma!” “Kan kerjaan di luar sana yang lebih baik dari ini banyak! Nggak harus jadi tukang perabot keliling gini!” keluhnya tanpa henti. Wanita tua itu sangat khawatir dengan reputasi dirinya di mata orang lain terutama di mata orang-orang yang mengenalnya. “Oke, kalau semisal Bima berhenti dari pekerjaan ini dan Bima mencoba nyari pekerjaan yang lain terus nggak dapet-dapet gimana? Yang bayarin gengsi Mama buat terus ikut arisan nggak jelas itu siapa? Uang dari mana?” Sejenak Ajeng terdiam mendengar perkataan Bima yang a
Read more

Mengajak Kembali Pulang

* “Gimana? Kamu ada uangnya nggak?” “Belum, Ma. Bima belum gajihan!” sahutnya lesu. “Terus kapan?” “Ma, meskipun Bima gajihan pun nggak bakalan cukup buat bayarin uang arisan Mama lagi sekarang! Kan Bima udah bilang kondisi keuangan kita lagi terpuruk, lagian Mama ngapain sih masih sok-sokan ikut arisan segala?” keluhnya. “Ya biarin aja lah, itu kan satu-satunya kesenangan Mama. Dari arisan Mama bisa ketemu sama temen-temen Mama dan ngobrol banyak, jadi sedikit beban Mama jadi hilang!” jelasnya. “Ma, pernah nggak sih Mama mikirin perasaan Bima sedikit? Mama terus aja ngomongin tentang diri Mama sendiri tapi Mama nggak pernah mempertimbangkan keadaan Bima lagi seperti apa sekarang.” “Bima, kamu kan anak Mama satu-satunya apa lagi kamu anak laki-laki memang sudah seharusnya kamu sekarang membahagiakan Mama! Kamu lupa ya, permintaan Mama untuk punya cucu saja kamu belum bisa penuhi ya setidaknya untuk urusan yang satu ini kamu harusnya berusaha lebih keras lagi untuk memenuhinya! M
Read more

Memberi Pengertian

*** [Halo, assalamualaikum Mas!] [Waalaikumsalam, Aisyah.] [Mas, hari ini Aisyah bawain bekel makan siangnya langsung ke rumah sakit ya. Sekalian Aisyah juga mau beli perlengkapan Arka yang masih kurang.] [A-e nggak usah Aisyah! Mas udah makan.] Wajah Aisyah seketika berubah lesu. [Udah makan? Tapi Aisyah udah siapin bekel lo Mas, aku kan udah bilang tadi pagi kalau mau bawain Mas bekel. Mas lupa ya?] [A, i-iya. Maaf ya, Mas lupa! Ngomong-ngomong udah dulu ya, Mas lanjut dulu. Kamu hati-hati di jalan! Assalamualaikum.] [Waalaikumsalam.] Tut! [panggilan diakhiri begitu saja.] “Hmm, Mas Hendra kenapa ya? Akhir-akhir ini dia beda banget!” gumamnya dalam hati. Aisyah sedikit mengabaikannya dan gegas pergi ke luar. * “Gimana pekerjaan hari ini Mas? Lancar kan?” tanya Aisyah pada suaminya. “Lumayan,” sahut Hendra singkat. Lelaki itu sibuk dengan laptopnya, sementara Aisyah asyik melipat dan merapikan pakaian Arka yang baru saja ia beli. “Ma
Read more

Menjual Mahar Pernikahan

Jihan menggeledah seluruh isi lemari, wanita itu tampak sedang mencari-cari sesuatu. Setiap sudut kamar telah ia susuri, namun tampaknya sesuatu yang ia cari tak kunjung ketemu. Tangan kiri Jihan memegangi kepalanya, terlihat seperti sedang berusaha mengingat. “Duh! Perasaan aku taruh di sini deh waktu ini, kok bisa nggak ada ya? Nggak mungkin ilang kan,” tukasnya panik. “Apa-apaan kamu Jihan? Kamar sampai diberantakin gini!” ucapnya. Bima tampak sedikit kesal pasalnya ia baru saja masuk ke kamar hendak ingin beristirahat, namun ia mendapati kamar yang berantakan. “Ini Mas, aku nyariin mahar pernikahan kita! Kok bisa nggak ada sih?” tukasnya kebingungan sembari tangannya masih sibuk membongkar tumpukan pakaian di lemari. “Emang kamu naruh di mana?” “Seinget aku, emang aku taruh di sini! Bahkan sama kotak-kotaknya pun hilang! Duh, gimana ini? Mahar pernikahan itu kan lumayan Mas, lagi susah-susahnya begini pakek hilang segala!” Jihan mulai panik. “Aduh, coba kamu inget bener-bener
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status