Hai readers >3 Selamat datang untuk yang baru mampir dan terima kasih yang sudah selalu mampir, semoga kalian semua sehat selalu ya! Happy reading love >3
* “Gimana? Kamu ada uangnya nggak?” “Belum, Ma. Bima belum gajihan!” sahutnya lesu. “Terus kapan?” “Ma, meskipun Bima gajihan pun nggak bakalan cukup buat bayarin uang arisan Mama lagi sekarang! Kan Bima udah bilang kondisi keuangan kita lagi terpuruk, lagian Mama ngapain sih masih sok-sokan ikut arisan segala?” keluhnya. “Ya biarin aja lah, itu kan satu-satunya kesenangan Mama. Dari arisan Mama bisa ketemu sama temen-temen Mama dan ngobrol banyak, jadi sedikit beban Mama jadi hilang!” jelasnya. “Ma, pernah nggak sih Mama mikirin perasaan Bima sedikit? Mama terus aja ngomongin tentang diri Mama sendiri tapi Mama nggak pernah mempertimbangkan keadaan Bima lagi seperti apa sekarang.” “Bima, kamu kan anak Mama satu-satunya apa lagi kamu anak laki-laki memang sudah seharusnya kamu sekarang membahagiakan Mama! Kamu lupa ya, permintaan Mama untuk punya cucu saja kamu belum bisa penuhi ya setidaknya untuk urusan yang satu ini kamu harusnya berusaha lebih keras lagi untuk memenuhinya! M
*** [Halo, assalamualaikum Mas!] [Waalaikumsalam, Aisyah.] [Mas, hari ini Aisyah bawain bekel makan siangnya langsung ke rumah sakit ya. Sekalian Aisyah juga mau beli perlengkapan Arka yang masih kurang.] [A-e nggak usah Aisyah! Mas udah makan.] Wajah Aisyah seketika berubah lesu. [Udah makan? Tapi Aisyah udah siapin bekel lo Mas, aku kan udah bilang tadi pagi kalau mau bawain Mas bekel. Mas lupa ya?] [A, i-iya. Maaf ya, Mas lupa! Ngomong-ngomong udah dulu ya, Mas lanjut dulu. Kamu hati-hati di jalan! Assalamualaikum.] [Waalaikumsalam.] Tut! [panggilan diakhiri begitu saja.] “Hmm, Mas Hendra kenapa ya? Akhir-akhir ini dia beda banget!” gumamnya dalam hati. Aisyah sedikit mengabaikannya dan gegas pergi ke luar. * “Gimana pekerjaan hari ini Mas? Lancar kan?” tanya Aisyah pada suaminya. “Lumayan,” sahut Hendra singkat. Lelaki itu sibuk dengan laptopnya, sementara Aisyah asyik melipat dan merapikan pakaian Arka yang baru saja ia beli. “Ma
Jihan menggeledah seluruh isi lemari, wanita itu tampak sedang mencari-cari sesuatu. Setiap sudut kamar telah ia susuri, namun tampaknya sesuatu yang ia cari tak kunjung ketemu. Tangan kiri Jihan memegangi kepalanya, terlihat seperti sedang berusaha mengingat. “Duh! Perasaan aku taruh di sini deh waktu ini, kok bisa nggak ada ya? Nggak mungkin ilang kan,” tukasnya panik. “Apa-apaan kamu Jihan? Kamar sampai diberantakin gini!” ucapnya. Bima tampak sedikit kesal pasalnya ia baru saja masuk ke kamar hendak ingin beristirahat, namun ia mendapati kamar yang berantakan. “Ini Mas, aku nyariin mahar pernikahan kita! Kok bisa nggak ada sih?” tukasnya kebingungan sembari tangannya masih sibuk membongkar tumpukan pakaian di lemari. “Emang kamu naruh di mana?” “Seinget aku, emang aku taruh di sini! Bahkan sama kotak-kotaknya pun hilang! Duh, gimana ini? Mahar pernikahan itu kan lumayan Mas, lagi susah-susahnya begini pakek hilang segala!” Jihan mulai panik. “Aduh, coba kamu inget bener-bener
“Jahat banget sih Mama kamu Mas!” “Nggak sopan kamu ya! Kamu pikir kamu lagi ngomong sama siapa? Ini mertua kamu lo, sama halnya dengan orang tua kamu juga!” tuntutnya. “Buat apa aku ngehargain mama? Sementara mama sendiri nggak pernah ngehargain aku, rasanya aku nggak pernah dianggep ada deh di rumah ini!” Jihan tak mampu membendung emosinya lagi. “Jihan udah tolong!” Bima mencoba meredam emosi Jihan. “Nggak bisa Mas! Ini udah keterlaluan namanya, kamu seharusnya belain aku dong bukan malah diem aja!” “Ya aku juga tau ini keterlaluan tapi semuanya udah terjadi mau gimana lagi? Aku juga pusing mikirinnya!” “Makanya Mas bisa tegas dong ke mama, jangan apa-apa dimaklumin mulu dan kamu nerima-nerima aja! Kamu ini kepala keluarga loh Mas, kamu jadi laki-laki punya prinsip dikit kenapa! Aku lama-lama juga capek sama kamu, ini yang Mas bilang udah berubah?” Jihan mulai muak. “Kamu jangan nyalah-nyalahin aku mulu dong! Aku juga udah berusaha, lagian kan emang bener nasi udah jadi bubur
“Arka sayangnya ayah udah makin gembul aja!” ucapnya sembari menimang Arkanza. “Iya dong, Arka kan anteng nggak rewel ayah!” timpal Aisyah. “Bersyukur banget Arka bisa pulih secepat ini, perkembangannya juga bagus. Arkanza pinter banget, ya!” “Iya Mas, aku malah suka nggak nyangka sekarang sudah ada Arka di tengah-tengah kita. Sekarang, kebahagian aku rasanya sudah cukup! Apa lagi ada kamu yang selalu nguatin aku di sini dan selalu ada di saat aku butuh, makasi ya, Mas!” “Terima kasih kembali, Mas juga mau mengucapkan hal yang sama ke kamu. Terima kasih sudah memberikan pelengkap bahagia kita.” Percakapan antara sepasang suami istri ini sangat menyentuh hati, keduanya saling memberikan perasaan tulus mereka ke satu sama lainnya. Tidak ada yang sandiwara, semuanya terlihat begitu alami kasih mereka membuat siapa saja yang melihatnya ikut terhanyut ke dalam cerita mereka. “Saya suka terharu kalau melihat mereka berdua, saya nggak nyangka putri semata wayang saya pada ak
“Beneran, Ma?” “Iya, bener. Tadi pagi Mama udah kena teror di telpon dia, katanya enak aja liburan tanpa aku!” tuturnya. “Ada-ada aja tuh anak! Baguslah kalau dia ada waktu ke sini jadi di sini makin rame, Aisyah jadi ada temen ngobrolnya lagi. Kebetulan besok kan rumah dinas Hendra juga sudah siap di huni dan lebih ramah untuk bayi ya jadi sekalian aja kumpul keluarga,” jelasnya. “Oh bagus dong! Jadi sekarang tinggal apanya saja?” tanyanya penasaran. “Tinggal bersih-bersih aja, Ma. Selebihnya, palingan tinggal pindah-pindahin barang sebagian,” jawab Hendra. “Ya sudah, Mama sama Papa ikut bersih-bersih sekalian sekarang gimana? Jadi kan besok enak tinggal langsung masukin rumahnya, istirahatnya jadi lebih cepat!” tawarnya bersemangat. “Makasi Ma! Tapi, nggak usah repot-repot karena Hendra sudah nyuruh orang buat bersihin. Mama sama Papa nggak usah capek-capek lagi,” jelasnya pada ibunya yang tengah bersemangat itu. “Yah, sayang dong! Padahal kan Mama masih bisa bantu, Hen!” Seke
TOK! TOK! TOK! [suara ketukan pintu yang terdengar begitu keras.] “Ya, sebentar!” jawab seseorang dari dalam rumah. Kreek [pintu dibuka] Ajeng memasang wajah kecut, wanita tua itu mengerinyitkan dahinya. Ia memandangi dua orang lelaki yang ada di hadapannya dengan saksama. Tampak lelaki berkepala botak, wajahnya dihiasi jambang serta berpakaian serba hitam sedangkan lelaki yang satunya wajahnya terlihat lebih bersih, ia mengenakan topi hitam lengkap dengan jaket jeans berwarna hitam pula. Kedua lelaki itu memasang wajah sangar. “Maaf, bapak siapa ya? Dateng-dateng ke rumah saya nggak sopan banget! Gedor-gedor pintu keras-keras, emang orang di rumah ini budek apa!” tukasnya kesal. “Orang di rumah ini bukan cuma budek tapi pikun!” balasnya kesal. “Udah nggak sopan, ngata-ngatain orang lagi! Nggak jelas banget, pergi sana!” usirnya. Wanita tua itu semakin kesal. “Oh nggak bisa! Ibu harus bayar dulu hutangnya!” pekiknya. DEG! Perasaan Ajeng tiba-tiba tak ka
Jihan kembali masuk ke rumah, sementara Bima masih meratapi mobilnya yang baru saja diangkut penagih hutang. Lelaki itu hanya bisa meremas-remas rambutnya dengan kedua tangannya, keringat panas di siang hari menambah tampang kepenatan terpancar dari wajahnya yang lesu. “Kamu sih, sok-sokan gadein mobil terus sekarang gimana ini?” Bima mematung, ia tak menggubris sedikit pun perkataan ibunya. “Kamu sendiri kan sudah tau kalau gajihmu itu pas-pasan, kalau nggak bisa ya nggak usah dipaksa-paksain bisa, jadi gini kan akibatnya,” cecarnya. “BISA DIEM NGGAK!” pekiknya lantang. Bima sudah sampai dipuncak emosinya. Tubuh Ajeng reflek terkejut. “Apa-apaan sih kamu Bima, lagian kan ini bukan salah Mama!” ucapnya. Ia berusaha membela dirinya sendiri, sampai sekarang pun setelah kejadian miris ini terjadi sikapnya masih tak berubah sedikit pun. “Kenapa Mama nggak ngasi sisa uang mahar itu ke Jihan? Dan kenapa Mama nggak mau bantu Bima bayar hutang-hutang itu? Padahal
“Apa dan bagaimana aku memperlakukan anak aku sendiri itu urusan aku! Kamu Cuma perlu nurutin apa yang aku perintahin!” Di tengah perdebatan mereka Kiara datang dan merengek.“Ma-Mama! Kia kapan sekolah? Kia bosen Ma di rumah terus!”“Kamu denger kan Mas? Kalau kamu kayak gini terus, kamu bukan cuma ngerugiin diri sendiri tapi juga aku dan anak aku!”“Alah, gitu aja repot! Kamu tinggal telpon gurunya bilang Kiara sakit kek atau pulang kampung atau apa gitu terserah kamu! Pokoknya Kiara belum boleh sekolah,” tegasnya memberi peringatan.“Mas, enak banget kamu ngomong ya. Ini masalah pendidikan bukan main-main, kalau Kiara ketinggalan pelajaran gimana?”“Ya elah, masih SD juga kan. Pelajarannya kan masih pelajaran dasar jadi masih bisa belajar di rumah, memangnya kamu mau polisi sampai melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa saja yang punya hubungan dengan aku dan tiba-tiba dia ke sekolah Kiara gimana?” Bima berusaha menghasut Jihan.“Lancar ya kamu ngancem aku tiap hari
“Kia, kamu masuk dulu sayang!”“Ternyata kamu belum cukup bisa jadi seorang ibu yang baik!”“Apa Mas bilang? Justru karena aku ibu yang baik makanya aku masih sama kamu sampai sekarang! Terus Mas pikir Mas sudah jadi ayah yang baik buat anak-anak kamu?”“Heh! Nggak ada ibu yang baik tapi tega menghasut anaknya dengan cara kotor seperti itu. Jihan, anak-anak itu masih polos termasuk Kiara kamu pikir dengan berbicara seperti itu sama anak kamu, tiba-tiba anak kamu paham dengan semuanya yang terjadi? Enggak kan!” Jihan menatap Bima tajam.“Terserah deh Mas, capek aku ngomong sama manusia kek kamu nggak ada gunanya!”“Kamu pikir aku suka debat sama kamu hah? Kupingku panas hampir tiap hari denger ocehan kamu itu!”**“Kamu nggak salah denger kan Hen?”“Enggak Ma, Hendra denger jelas banget penjelasan dari pihak kepolisian.”“Tuh kan! Sudah pasti dia pelakunya, kalau bukan dia nggak mungkin tiba-tiba dia hilang dari rumahnya. Ya Allah gimana nasib cucuku Arka.” Bu Asih meraung,
***[Selamat siang! Dengan bapak Hendra?][Iya bapak, dengan saya sendiri.][Baik bapak, kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan informasi yang sangat penting terkait tindak lanjut penyelidikan terhadap saudara tertuduh-Bima. Kami sudah mengikuti intruksi alamat sesuai dengan keterangan yang bapak dan istri bapak berikan, namun saat kami sudah tiba di lokasi, saudara Bima tidak ada di rumah yang beralamat sesuai yang diberikan kemarin. Kami juga sudah berusaha menanyakan keberadaan saudara Bima tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaannya sekarang dan kami kuat menduga bahwa ini telah direncanakan karena menurut informasi dari tetangga sekitar bahwa saudara Bima beserta keluarganya mereka diperkirakan tidak ada di rumah ini sejak semalam.][Te-terima kasih atas informasinya pak!][Sama-sama bapak Hendra, meskipun demikian kami dari pihak kepolisian akan terus memastikan pencarian ini dilakukan sampai saudara Bima bisa kami temukan untuk dimintai keterangan dan memasti
“Kalau soal itu kami kurang tau pak, mungkin anak-anak kami bisa menjelaskannya lebih lanjut ke kantor dan kami akan meneruskan informasi ini kepada mereka,” ucap Yani.“Baik kalau begitu pak bu. Kami tunggu kedatangan orang tua dari saudara Arkanza untuk memberikan laporan atau informasi lebih dalam terkait hal ini!”“Baik pak, terima kasih.” Yani dan suaminya pun gegas kembali ke rumah Hendra.“Semoga anak-anak tidak shock mendengar penjelasan kita ya Pa! Mama takut banget jiwa mereka terguncang terutama yang Mama takutin itu Aisyah, kasian dia sampai sekarang masih susah buat makan,” ucapnya khawatir. Bagaimana tidak pastinya jiwa seorang ibu akan sangat terguncang terlebih ini soal kehilangan seorang anak.“Semoga mereka berdua ditabahkan!”*“Assalamualaikum.”“Anak-anak pada ke mana ya Ma?” Tak lama ada bu Asih muncul dari belakang rumah.“Waalaikumsalam.”“Loh, bu Asih udah dari tadi di sini?”“Lumayan bu, saya dari tadi nyariin mereka berdua. Saya kira
***“Mas gimana ini Mas? Arka di mana? Kasian dia belum aku kasi asi Mas …” tukasnya lirih.“Sabar sayang! Kita cari sama-sama ya, Mas juga udah buat laporan di polisi. Kamu tenangin diri dulu! Kamu makan dulu ya,” ucapnya khawatir.“Nggak bisa Mas, aku nggak nafsu makan!”“Yah kok gitu sih? Kasian Arkanya nanti Aisyah, kita sekarang harus kuat dan harus jaga kesehatan demi Arka kalau semisal kita sakit nanti pencariannya nggak maksimal,” bujuknya. Hendra berusaha merayu Aisyah agar makan setidaknya sesuap saja.“Mas, mau sampai kapan kita diem aja di sini? Aku mau ikut nyariin Arka Mas!”“Iya, Mas tau kamu khawatir dengan keberadaan Arka sekarang tapi kita coba serahin ke kepolisian dulu ya. Sekarang, di sini kita bantu doa lagian udah ada Mama sama Papa aku yang bantuin juga. Aisyah, bukannya Mas ngelarang kamu tapi kamu juga harus mikirin kondisi kamu!” tegasnya. Aisyah terdiam, tak terasa air matanya kembali mengucur membasahi pipinya. Hendra mendekap erat tubuh istrin
“Suara apa itu? Keras banget!” Aisyah yang penasaran pun gegas ke luar rumah. Kepalanya clingak-clinguk mencari sumber suara bising tadi berasal. Wanita itu mencoba menyusuri teras, ia masih terus mencari karena takut ada benda yang runtuh atau menabrak rumah, pasalnya suara itu terdengar sangat keras.“Nggak ada apa-apa! Atau perasaan aku aja ya?” tukasnya kebingungan. Aisyah melangkah dengan ragu. Sejenak suara menjadi hening, namun tiba-tiba tangisan Arkanza terdengar kencang sekali dari dalam rumah. Aisyah pun sontak terkejut dan gegas berlari tunggang langgang mencari anaknya, tetapi semakin Aisyah mendekat semakin suara tangisan Arkanza menghilang.DEG! Perasaan Aisyah kacau tak karuan, matanya terbelalak, keringat mulai membasahi keningnya. Tempat tidur itu sudah kosong, Arkanza tak lagi terbaring di sana. Ke mana hilangnya Arkanza secara tiba-tiba?“Ar-Arka! Nak, kamu di mana?” ucapnya dengan bibir gemetar. Tubuh Aisyah sontak me
***“Hah, setelah sekian lama akhirnya aku bisa menghirup udara Surabaya lagi!” tukasnya lega. Lelaki itu kembali menginjakkan kakinya di tanah Surabaya, tepat di mana mantan istrinya-Aisyah berada. Ia kembali ke Surabaya tentu saja tidak sedang berniat pergi berkunjung secara baik-baik, pasalnya Aisyah dan keluarganya sudah berupaya menolak keras kehadiran Bima kembali ke keluarga mereka terlebih dengan apa yang telah ia perbuat pada Aisyah dan anaknya.“Sekarang gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Bagaimana pun keadaannya, gua harus bisa merebut anak gua karena gua juga punya hak atas anak itu!” Bima gegas pergi ke rumah Aisyah, lelaki itu sudah tak sabar melancarkan aksi nekatnya.*“Kenapa cuma ada ibu dan Aisyah aja? Azka mana?” Bima kebingungan, pasalnya target yang ia cari tidak ada. Sementara itu Aisyah dan bu Asih tampak bercengkrama di teras.“Bu, Aisyah pamit dulu ya! Nanti Aisyah ke sini lagi,” ucapnya berpamitan.“Iya Nak, ha
*** “Lihat-lihat! Si Ajeng kenapa?” tanya salah seorang tetangga Bima, yang kebetulan melihat ada ambulance datang ke rumah Bima. “Iya tuh kenapa? Kok bu Ajeng sampai diiket-iket gitu?” Ibu-ibu berdaster merah itu bertanya kembali. “Yuk-yuk kita ke sana!” Mereka tampak begitu antusias ingin melihat kondisi Ajeng. “Bima mama kamu kenapa?” Bima yang mendengar pertanyaan yang demikian hanya bisa terdiam, ia masih enggan menjawabnya. “Nggak kenapa-napa!” sahutnya ketus. “Dih sombong banget! Mertua kamu kenapa Jihan?” Ibu itu beralih bertanya pada Jihan, tampaknya ia masih belum puas sebelum mendapatkan informasi yang aktual. “A, eee. Mertuaku lagi sakit! Maaf ya ibu-ibu kita lagi sibuk, pergi dulu ya!” ucap Jihan acuh. Mereka berdua lantas ikut naik ke mobil ambulance. “Ternyata sekeluarga sama saja! Sombong semua,” ucapnya kesal. Jihan dan Bima gegas menuju rumah sakit. “Pasti setelah ini bakalan banyak tetangga yang kepo sama kejadian tadi,
***“Mas!”“Aisyah!” Keduanya saling mengawali pembicaraan secara bersamaan.“Kamu duluan!”“Kamu aja, ladies first!”“Hmm, ya udah. Aku mau ngomong sesuatu Mas!”“Hmm, sama. Mas juga mau ngomong sesuatu ke kamu!”“Jadi gimana? Siapa yang duluan?”“Kamu sayang!”“Oke deh, jadi gini Mas aku … aku mau buat acara berbagi ke sesama yang membutuhkan,” jelasnya. “Menurut Mas gimana?”Hendra sontak tersenyum.“Mas kenapa?”“Mas setuju!” jawabnya tanpa basa-basi.“Alhamdulilah kalau Mas setuju, terus Mas mau ngomong apa tadi?”“Ya seperti yang kamu bilang tadi, itu yang mau Mas bicarakan.”Aisyah tertegun, “Beneran Mas?”“Iya, Mas serius. Mas juga berpikir demikian karena beberapa waktu kebelakang alhamdulilah kan usaha kita semakin berkembang, jadi tidak ada salahnya kalau kita buat acara sedekah untuk itu. Oh iya, sekalian kita buat acara syukuran juga karena ibu udah sembuh, hitung-hitung sekalian berbagi sama tetangga juga. Gimana?”“Iya Mas, aku pasti setuju.”“Alhamdulilah,