Sudah satu minggu berlalu, tapi Zayden tak kunjung membuka matanya. Setiap hari Aara, Alya dan Zion selalu datang, untuk menemaninya. Seperti sekarang, mereka tampak masuk ke ruang rawat Zayden bahkan jika itu hanya untuk sekedar menyapanya. Alya duduk di kursi yang ada di sana, begitu pun Aara. Tangannya itu membelai lembut kening Zayden, berharap jika putranya itu akan segera sadar. “Selamat pagi sayang, hari ini pun mama, papa dan Aara datang lagi. Kapan kamu akan sadar, dan melihat kami. Ini sudah terlalu lama, apa kamu sudah tidak mau melihat mama lagi. Dengar, sekarang Aara bahkan sudah memaafkanmu dan tidak akan pergi lagi darimu. Bukankah itu keinginanmu, karena itu. Bangunlah sayang, kami merindukanmu.” Alya menunduk, hatinya tidak bisa berbohong. Dia memang sangat ingin melihat Zayden sadar kembali, dan bersama lagi dengannya juga orang-orang yang menyayanginya. Di sampingnya, Aara mengusap lembut bahu ibu mertuanya itu. Dia merasakan kesedihan dan kerinduan yang amat d
Read more