Aara, Alya dan Zion terlihat berada di ruangan David. Mereka bertiga duduk di depan meja kerja David, dengan David yang juga tampak ada di sana.“David, sebenarnya apa yang terjadi. Kenapa Zayden tidak bisa mengingat Aara, dan juga semua kenangan bersamanya?” tanya Alya.David terdiam sebentar, dia melirik pada Aara yang tampak juga begitu penasaran.“Sepertinya Zayden mengalami amnesia pasca trauma. Seperti yang kalian tahu, Zayden mengalami mengalami benturan yang sangat keras di kepalanya. Hal itu membuat cedera yang parah, karena itu dia juga mengalami koma, bukan? Dan oleh sebab itu, amnesia seperti ini juga bisa terjadi,” jelasnya.“Tapi, kenapa hanya pada Aara. Sedangkan pada kami, kau dan yang lainnya. Dia tidak melupakannya?” tanya Zion kemudian.“Seperti akhir-akhir ini pikiran Zayden terus dipenuhi oleh Aara, tapi bukan hal yang menyenangkan. Melainkan pikiran itu membuatnya stres dan mungkin ke arah depresi. Karena itu, dia hanya melupakan sosok Aara dan juga kenangan
“Dia istrimu Zay.”Deg!Apa yang dikatakan Alya itu tentu saja membuat Zayden begitu terkejut. Dia langsung terdiam, dengan ekspresi wajah yang lebih terlihat tidak percaya.“Apa?” ucapnya, “ja-jadi, maksud Mama aku sudah menikah dengannya? Dan anak yang ada di dalam kandungannya itu adalah anakku?”Alya mengangguk.“Hah.” Zayden menunjukkan senyum tidak percayanya. “Mama pasti sedang bercanda, kan? Aku tidak mungkin sudah menikah. Aku bahkan belum memiliki pacar, terlebih sebentar lagi aku akan jadi ayah? Jika mama marah padaku, mama marahi saja aku seperti biasanya. Tapi untuk lelucon ini, aku tidak bisa menerimanya,” ucapnya panjang lebar.Alya menatap putranya itu sendu, karena ternyata dia benar-benar tidak mengingat perihal Aara. “Tapi sayangnya, itu bukan lelucon,” ujarnya kemudian. Dan sukses membuat Zayden kembali terdiam.Dia lalu menatap Aara, yang saat itu tampak menunduk. Lalu secara perlahan mengangkat wajahnya dan menatap padanya.Zayden sedikit tersentak, ketik
Suasana di ruang rawat Zayden tampak begitu sepi, hari juga sudah begitu larut. Karena waktu memang telah menunjukkan pukul 11 malam.Namun, Zayden sama sekali tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan ucapan mamanya.Dengan perlahan, Zayden menolehkan wajahnya ke arah Aara yang tampak sudah mulai terlelap dalam tidurnya.Zayden berkedip, lalu melihat lagi pada Aara. Rasanya dia sama sekali tidak percaya jika wanita itu adalah istrinya, bukan hanya itu. Tapi saat ini wanita itu tengah mengandung calon anaknya.“Sebenarnya apa yang terjadi, bagaimana aku bisa kecelakaan. Dan kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wanita itu,” gumamnya.Zayden merasa kepalanya sedikit sakit, karena sepertinya dia terlalu memaksa untuk mengingat memorinya.Dia menarik nafasnya dalam, lalu mengeluarkan secara perlahan untuk membuat perasaannya kembali tenang.Zayden lalu memegang tenggorokannya yang terasa kering. “Aku haus,” ucapnya.Dia melihat ke arah nakas di sampingnya. Dan mendapati segela
Tidur lelap Aara terasa terganggu, saat telinganya itu mendengar suara pintu ruang rawat Zayden yang terbuka lalu tertutup lagi.Dia juga mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sayup-sayup, Aara mendengar suara laki-laki yang sepertinya cukup dia kenal.“Aku tidak menyangka, rupanya kau masih bisa bertahan, sama seperti dulu. Aku pikir kau sudah pergi ke neraka Zayden Crisiant Tan, tapi ternyata kau masih sangat beruntung. Baiklah, sepertinya aku memang harus membunuhmu dengan tanganku sendiri.”Deg!Aara terlonjak bangun kala dia mendengar kalimat terakhir dari suara yang dia dengar.“Siapa kau!” ujarnya, saat melihat seorang pria tinggi yang berdiri di sebelah Zayden dengan memegang sebuah senjata tajam. Matanya membelalak saat dia mengenali sosok itu. “Kau,” pekiknya.Zayden juga tampak terbangun, karena suara Aara yang cukup keras. Sama seperti Aara, dia juga kaget setelah melihat penampakan sosok pria di depannya itu.“Aland,” ujarnya.Aland terlihat sangat kesal,
Aara baru kembali lagi ke ruang rawat Zayden pada pagi hari, karena rupanya setelah melakukan pemeriksaan dini hari tadi, dokter memintanya untuk beristirahat di ruangan terpisah. Agar kondisi psikis Aara kembali normal.Aara pun menurut, lagi pula dia juga harus memikirkan keadaan calon anak-anaknya. Dia bersyukur karena anak-anaknya baik-baik saja, mengingat bagaimana dia begitu syok tadi malam.Aara membuka pintu ruang rawat Zayden, saat baru saja masuk dia sudah melihat Alya yang berada di sana dan juga tentunya Zayden, yang melihat ke arahnya dalam posisi setengah berbaring di ranjangnya.Tatapan Zayden tampak terus terfokus pada Aara, dia bahkan tidak mengalihkannya sampai Aara benar-benar berada dekat padanya.“Sayang,” ujar Alya yang berdiri lalu memeluk Aara. Dia mengusap-usap lembut punggung Aara untuk memberikannya ketenangan, karena mendengar cerita dari suaminya semalam juga dari Zayden tadi. Dia bisa membayangkan bagaimana syoknya Aara.Alya lalu melepaskan pelukann
“Apa yang mau kau lakukan.”Refleks, Aara pun mengangkat wajahnya dan melihat pada Zayden. Dia terdiam, karena Zayden menatapnya dengan begitu dingin.Sesaat, dia merasa kembali ke masa lalu. Dimana Zayden masih begitu membencinya. Padahal, belum lama ini dia merasakan tatapan hangat darinya. Tapi tak lama, kehangatan itu telah pergi dan aura dingin ini kembali lagi.“Saya hanya ingin membantu Anda,” jawab Aara.“Tidak usah!” ujar Zayden.“Tapi posisi ini tidak nyaman untuk tidur, biarkan saya membantu Anda.”“Kau ....” Zayden hendak menolak lagi bantuan Aara. Tapi saat melihat perutnya yang buncit, entah kenapa kemarahannya tidak bisa keluar lagi dari mulutnya.Alhasil dia pun menerima bantuan dari Aara, dan akhirnya berbaring sepenuhnya di atas ranjangnya.Aara memperlakukannya dengan begitu lembut, dia sangat memerhatikan area kepalanya yang terluka agar tidak terbentur sedikit pun.“Apa sudah terasa nyaman?” tanyanya.Zayden pun tidak menjawab, tapi Aara mengerti jika po
Esoknya. Zayden tampak baru saja bangun dari tidurnya.Dia membuka matanya, lalu menoleh pelan ke arah sampingnya di mana Aara sudah tidak ada di sana.“Di mana dia,” gumamnya.Zayden hendak mendudukkan tubuhnya, namun dia masih belum kuat.Hingga akhirnya terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka dan memperlihatkan Aara yang masuk ke dalam dengan nampan berisi makanan di tangannya.Aara tersenyum, lalu menghampiri Zayden.“Anda sudah bangun rupanya,” ucap Aara. Dia lalu membantu Zayden untuk bergerak, dan akhirnya duduk di atas tempat tidurnya.Zayden tidak bisa menolak, karena memang saat ini dia membutuhkan bantuan Aara.“Saya membawakan Anda sarapan, saya akan menyuapi Anda. Ayo mulut Anda, aaaa.”“Kau jorok sekali, aku kan belum cuci muka dan gosok gigi. Dan kau malah menyuruhku langsung makan?” ujar Zayden.“Ah begitu, maafkan saya. Kalau begitu Anda mau ke kamar mandi dulu?”“Tolong panggilkan paman Ben kemari, dia yang akan membantuku,” zayden.“Ya? Kenapa Anda m
“Ini sudah satu bulan berlalu, tapi kenapa ingatan Zayden akan Aara masih belum pulih?” tanya Zion yang kini tampak berada di ruangan David bersama dengan Alya di sampingnya.Karena seperti Zion, dia juga ingin tahu. Kenapa ingatan putranya itu masih belum pulih.David tampak memeriksa hasil check up Zayden yang memang selalu ruton dilakukan setiap Minggu.“Keadaan Zayden memang berangsur-angsur pulih. Tapi seperti yang saya katakan Paman, Bibi. Luka di kepala Zayden cukup parah, sehingga menimbulkan trauma di sana.”“Tapi kenapa hanya kepada Aara, semua ingatan akan dia seakan lenyap dari kepala Zayden, tidak ada satu pun yang tersisa.” Kini, giliran Alya yang bertanya. Karena sejujurnya dia tidak sanggup lagi melihat menantunya menderita, terlebih sebentar lagi dia akan melahirkan.“Seperti yang kalian berdua tahu, hubungan mereka awalnya cukup rumit. Ada sesuatu yang sepertinya menahan Zayden untuk mengingatnya, atau dia mungkin tidak ingin mengingatnya. Atau, sebelum kecelaka