Aara baru kembali lagi ke ruang rawat Zayden pada pagi hari, karena rupanya setelah melakukan pemeriksaan dini hari tadi, dokter memintanya untuk beristirahat di ruangan terpisah. Agar kondisi psikis Aara kembali normal.Aara pun menurut, lagi pula dia juga harus memikirkan keadaan calon anak-anaknya. Dia bersyukur karena anak-anaknya baik-baik saja, mengingat bagaimana dia begitu syok tadi malam.Aara membuka pintu ruang rawat Zayden, saat baru saja masuk dia sudah melihat Alya yang berada di sana dan juga tentunya Zayden, yang melihat ke arahnya dalam posisi setengah berbaring di ranjangnya.Tatapan Zayden tampak terus terfokus pada Aara, dia bahkan tidak mengalihkannya sampai Aara benar-benar berada dekat padanya.“Sayang,” ujar Alya yang berdiri lalu memeluk Aara. Dia mengusap-usap lembut punggung Aara untuk memberikannya ketenangan, karena mendengar cerita dari suaminya semalam juga dari Zayden tadi. Dia bisa membayangkan bagaimana syoknya Aara.Alya lalu melepaskan pelukann
“Apa yang mau kau lakukan.”Refleks, Aara pun mengangkat wajahnya dan melihat pada Zayden. Dia terdiam, karena Zayden menatapnya dengan begitu dingin.Sesaat, dia merasa kembali ke masa lalu. Dimana Zayden masih begitu membencinya. Padahal, belum lama ini dia merasakan tatapan hangat darinya. Tapi tak lama, kehangatan itu telah pergi dan aura dingin ini kembali lagi.“Saya hanya ingin membantu Anda,” jawab Aara.“Tidak usah!” ujar Zayden.“Tapi posisi ini tidak nyaman untuk tidur, biarkan saya membantu Anda.”“Kau ....” Zayden hendak menolak lagi bantuan Aara. Tapi saat melihat perutnya yang buncit, entah kenapa kemarahannya tidak bisa keluar lagi dari mulutnya.Alhasil dia pun menerima bantuan dari Aara, dan akhirnya berbaring sepenuhnya di atas ranjangnya.Aara memperlakukannya dengan begitu lembut, dia sangat memerhatikan area kepalanya yang terluka agar tidak terbentur sedikit pun.“Apa sudah terasa nyaman?” tanyanya.Zayden pun tidak menjawab, tapi Aara mengerti jika po
Esoknya. Zayden tampak baru saja bangun dari tidurnya.Dia membuka matanya, lalu menoleh pelan ke arah sampingnya di mana Aara sudah tidak ada di sana.“Di mana dia,” gumamnya.Zayden hendak mendudukkan tubuhnya, namun dia masih belum kuat.Hingga akhirnya terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka dan memperlihatkan Aara yang masuk ke dalam dengan nampan berisi makanan di tangannya.Aara tersenyum, lalu menghampiri Zayden.“Anda sudah bangun rupanya,” ucap Aara. Dia lalu membantu Zayden untuk bergerak, dan akhirnya duduk di atas tempat tidurnya.Zayden tidak bisa menolak, karena memang saat ini dia membutuhkan bantuan Aara.“Saya membawakan Anda sarapan, saya akan menyuapi Anda. Ayo mulut Anda, aaaa.”“Kau jorok sekali, aku kan belum cuci muka dan gosok gigi. Dan kau malah menyuruhku langsung makan?” ujar Zayden.“Ah begitu, maafkan saya. Kalau begitu Anda mau ke kamar mandi dulu?”“Tolong panggilkan paman Ben kemari, dia yang akan membantuku,” zayden.“Ya? Kenapa Anda m
“Ini sudah satu bulan berlalu, tapi kenapa ingatan Zayden akan Aara masih belum pulih?” tanya Zion yang kini tampak berada di ruangan David bersama dengan Alya di sampingnya.Karena seperti Zion, dia juga ingin tahu. Kenapa ingatan putranya itu masih belum pulih.David tampak memeriksa hasil check up Zayden yang memang selalu ruton dilakukan setiap Minggu.“Keadaan Zayden memang berangsur-angsur pulih. Tapi seperti yang saya katakan Paman, Bibi. Luka di kepala Zayden cukup parah, sehingga menimbulkan trauma di sana.”“Tapi kenapa hanya kepada Aara, semua ingatan akan dia seakan lenyap dari kepala Zayden, tidak ada satu pun yang tersisa.” Kini, giliran Alya yang bertanya. Karena sejujurnya dia tidak sanggup lagi melihat menantunya menderita, terlebih sebentar lagi dia akan melahirkan.“Seperti yang kalian berdua tahu, hubungan mereka awalnya cukup rumit. Ada sesuatu yang sepertinya menahan Zayden untuk mengingatnya, atau dia mungkin tidak ingin mengingatnya. Atau, sebelum kecelaka
Keesokannya, Aara baru saja membuka matanya dia menoleh ke sampingnya dan terkejut karena Zayden sudah tidak ada di sana.Sontak, Aara pun bangun. Baru saja dia akan turun dari atas ranjangnya. Dia mendengar suara pintu yang terbuka.Aara pun menoleh, dan mendapati Zayden yang keluar dari ruang ganti dengan susah memakai pakaian kantornya.“Tuan, Anda mau ke kantor?” tanyanya.“Aku sudah terlalu lama tidak bekerja, mungkin saja sudah banyak masalah yang terjadi,” jawab Zayden.“Tapi, Anda kan belum pulih benar. Lagi pula kekhawatiran Anda tidak akan terjadi karena ada tuan Zion di sana.”Zayden menatap Aara, terlihat jelas ekspresi kekhawatiran di sana. Seketika, ingatan semalam pun langsung terlintas di benaknya.Dia memejamkan matanya, karena tiba-tiba dia merasakan desiran di dadanya ini.“Tidak papa, aku sudah baik-baik saja. Aku akan tetap bekerja,” jawabnya kemudian. Dia pun melanjutkan langkahnya menuju pintu.“Jika Anda sudah baik-baik saja, seharusnya Anda sudah meng
Aara saat ini tengah berada dalam perjalanan untuk menemui Zayden. Bibirnya tak henti-hentinya menunjukkan sebuah senyuman karena rasa bahagia yang saat ini dia rasakan.Dia lalu menunduk, melihat pada perut buncitnya itu.Aara mengelusnya, dengan lembut penuh kasih sayang. “Sayang, sekarang kita akan bertemu papa. Kita akan makan siang bersama. Papa bilang, dia akan berusaha untuk mengingat kita. Sekarang mama yakin, mulai hari ini semuanya pasti akan baik-baik saja,” ucapnya.Aara menghela nafasnya lega, dia lalu menoleh ke arah luar jendela mobil. Melihat jalanan yang saat ini tengah dilewatinya.Aara membuka sedikit kaca jendelanya, dan merasakan embusan angin yang masuk melalui jendela itu.Rasanya sangat sejuk, dan membuat perasaannya semakin membaik.Hingga setelah 20 menit perjalanan, dia pun akhirnya tiba di sebuah restoran.Tampak Sam yang turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil di samping Aara. “Silakan Nyonya.”Dengan senang hati, Aara pun keluar. Sam lalu meman
Zayden yang awalnya marah pun ikut terdiam saat melihat siapa pelayan itu.“Kau ....” pekiknya.Dia seketika berdiri, lalu menatap lekat pelayan wanita di depannya itu yang kini juga terus menatapnya.Di sana, Aara yang sebenarnya juga terkejut juga ikut berdiri. Dia memandang dengan bingung Zayden juga pelayan itu yang saling menatap satu sama lain.Seketika, Aara pun terdiam. Kini, tatapannya itu hanya fokus pada Zayden. Ekspresi wajahnya berubah, dan kenapa tiba-tiba bertanya ini memanas.Kenapa hatinya berdebar keras, hingga terasa begitu sakit. Perasaan khawatir apa ini.“Naura,” ujar Zayden.“Ternyata benar, itu kau Zay.” Bruk! Tiba-tiba Naura memeluk Zayden, dan berhasil membuat Aara terkejut begitu pun dengan Zayden.Dia mematung, tanpa membalas pelukan Naura padanya.“Hiks, aku tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi.” Naura semakin mengeratkan pelukannya, dia bahkan seperti tidak peduli bahwa ada banyak orang yang saat ini melihatnya.Clakkk! Di sisi lain, air
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 19.15. malam. Zayden yang awalnya hendak pulang itu akhirnya ter-urung kala dia melihat papanya yang datang ke ruangannya.“Zay,” ucapnya.Zayden pun keluar dari meja kerjanya dan berjalan ke arah sofa. “Duduklah Pa,” ujarnya.Dengan senang hati, Zion pun menghampiri dan duduk di sana. Begitu pun dengan Zayden, kini posisi mereka saling berhadapan satu sama lain dan hanya terhalang oleh meja yang ada di depan mereka.“Apa yang mau Papa bicarakan?” tanyanya to the point.“Kau ingat, Aland yang sudah menyerangmu saat di rumah sakit?” tanya balik Zion.Mendengar itu, Zayden pun mengangguk. “Kenapa? Bukankah sekarang dia sudah di penjara?”Kali ini, giliran Zion yang mengangguk. Namun, ekspresi wajahnya itu masih terlihat janggal. Tampak jelas, sesuatu yang saat ini sangat ingin dia katakan.“Benar, Aland sudah mendapatkan hukumannya sekarang. Tapi meskipun begitu, perasaan papa masih tetap tidak merasa tenang.”Alis Zayden mengerut, dia mas