Semua Bab Menerima Lamaran Kekasih Sahabatku: Bab 11 - Bab 20

88 Bab

Bab 11. Pembelaan

Bab 11. PembelaanPertanyaan Ustazah Halimah membuat kami semua menunduk. Aku merasa seperti mendapat malaikat penolong. Dengan hadirnya beliau sudah cukup untuk membuat mereka bungkam.Jika tahu aku dianggap perebut, ustazah pasti kembali menasihati kami semua untuk selalu menjaga lisan karena menyakiti hati sesama manusia adalah perbuatan yang tidak dibenarkan."Kenapa tidak ada yang menjawab? Siapa yang merebut siapa?" Kembali Ustazah Halimah menegaskan, ketika sudah duduk di tempatnya menghadap kami semua yang berbaris rapi di depan bangku kecil memanjang ke samping."Ayu, tadi aku dengar suara kamu ketawa. Sekarang jelaskan, siapa yang merebut siapa? Dan kenapa dagu Alia merah begitu?"Bisa kulihat raut wajah Ayu menunjukkan kekesalannya ketika menatapku. Dia juga mengepalkan sebelah tangan seolah menjadi sebuah isyarat kalau aku akan dipukul sepulang pengajian nanti.Gadis itu tersentak, lalu menunduk ketika Ustazah Halimah kembali menyebut namanya."Aku sudah sering mengingatka
Baca selengkapnya

Bab 12. Jangan Membahasnya Lagi

Bab 12. Jangan Membahasnya Lagi"Ainun, jangan pergi dulu!"Ainun menghentikan langkahnya, segera Diqi menghampiri gadis itu sesaat setelah memintaku menunggu sebentar. Sementara Ayu dan teman-temannya dipaksa pulang.Jarak kami terlampau tiga meter. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan. Sekalipun sering usil, tetapi Diqi selalu bisa menengahi pertengkaran.Ini kali pertamanya aku bermasalah dengan Ainun. Sejak dulu aku selalu mengalah demi menjaga hubungan baik kami agar tidak renggang. Namun, dalam keadaan sekarang, apakah masih pantas untuk mengalah?"Kita ke rumah Ainun dulu. Tidak baik menyelesaikan masalah seperti ini di jalanan. Takut orang-orang pada mengira kalian memperebutkan aku."Aku menanggapi dengan anggukan kecil serta senyum samar, sedangkan Ainun malah mendelik kesal pada Diqi. Dan untuk pertama kalinya, gadis berkerudung hijau muda itu lebih memilih pulang bersama Diqi daripada aku.Sesampainya di
Baca selengkapnya

Bab 13. Sahabat yang Baik?

Bab 13. Sahabat yang Baik?"Ainun, jangan begitu. Apa kamu lupa kalau Alia itu sahabat terbaik kamu? Disaat susah dan senangmu dia selalu ada. Coba pikir, jika ada masalah di antara kalian, siapa yang selalu mengaku salah, selalu mengalah meskipun dirinya benar? Hanya Lia. Sementara Ayu, dia kerap menggunjingmu, mengataimu tidak punya abi. Siapa yang membelamu? Hanya Alia."Mata Ainun seketika mengeluarkan bulir bening. Dia berdiri dengan gerak cepat, lalu mengikis jarak denganku. Detik selanjutnya, Ainun menghamburkan diri dalam pelukanku.Air mataku mengalir deras. Luka Ainun semakin terasa sakitnya di dalam dada. Bahunya terguncang, aku mengusap punggungnya pelan."Nah, kalau akur gitu kan enak. Jadi nggak ada kesalahpahaman lagi. Pokoknya kita hidup itu santai aja. Kalau baik syukuri, kalau bikin sedih tetap syukuri. Alhamdulillah ala kulli haalin, yakni di setiap keadaan. Jangan mencari kebahagiaan, tetapi ciptakan kebahagiaan itu.""Ini adala
Baca selengkapnya

Bab 14. Tertangkap Basah

Bab 14. Tertangkap Basah"Te-teman yang mana, Ma?"Suara Diqi terdengar gugup. Ah, kami salah karena tidak memikirkan hal ini tadi. Bu Ruqayyah tentu saja bertanya karena kami tiba-tiba hilang sementara dirinya bilang ingin menyiapkan minuman. Semua karena tanpa rencana yang matang dan semoga saja Diqi mampu memberi alasan logis.Pasalnya, Nizar bukan lelaki bodoh. Dia bisa saja membaca raut wajah Diqi jika mencoba berbohong. Bingung, aku dan Ainun hanya bisa terpaku menunggu jawaban Diqi."Oh, Rania? Dia sudah pulang, Ma, sejak tadi.""Rania? Emang tadi itu Rania? Mama kira–""Mama ini kan nggak sering ketemu teman aku, pasti lupa-lupa ingat lah sama wajah mereka. Udah, Mama jangan mikirin si Rania itu. Sini minumannya biar buat aku sama Nizar saja."Setelahnya, tidak terdengar suara Bu Ruqayyah lagi membuatku bernapas lega. Mungkin mereka sedang minum, padahal kami juga kehausan di sini."Kok, ada tiga gelas? Emang Rani
Baca selengkapnya

Bab 15. Kurasa Dia Bukan Ainun

Bab 15. Kurasa Dia bukan AinunPukul depan pagi, aku kembali tiba di rumah Ustazah Halimah untuk melanjutkan pengajian yang diawali dengan salawatan bersama khusus untuk hari selasa. Aku menghela napas panjang, baru juga tiba sudah langsung bertemu pandang dengan Ayu dan teman-teman lainnya.Mereka baru keluar dari majlis. Terpaksa aku menghampiri karena dilanda rasa penasaran. "Kok, udah pulang aja?""Libur," jawab Ayu ketus."Kenapa?""Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Biar aku kasih tahu ya, kita libur karena ustazah yang bilang!" Aku sedikit ilfeel mendengarnya meniru gaya bicara laki-laki viral yang rambut model cepak mekar itu.Tanpa mau menanggapi, aku memilih kembali ke motor. Terkadang dalam sepekan memang diliburkan karena Ustazah Halimah juga punya urusan. Aku tidak berani menanyakan lebih detail pada beliau, hanya menurut sebagai murid.Namun, di tempat yang sama dengan kemarin, Ayu kembali menghadang. Kali ini mereka berti
Baca selengkapnya

Bab 16. Nasihat Ustazah Halimah

Bab 16. Nasihat Ustazah Halimah"Alia, kamu dipanggil Ustazah Halimah," kata seorang lelaki yang tidak aku kenal saat suasana sudah semakin tegang. "Sekarang!" lanjutnya lagi melihat aku yang terpaku di tempat."Emang ustazah ada di mana, kenapa manggil aku?""Aku tidak tahu. Tadi senior nyuruh aku buat nyariin kamu, katanya dipanggil Ustazah Halimah."Tanpa menoleh pada Ainun, aku langsung menyalakan mesin motor, kembali ke rumah Ustazah Halimah dengan rasa penasaran yang begitu mendera. Namun, aku tidak tahu kenapa lelaki itu tahu aku sedang berada di tempat tadi padahal ada bangunan baru yang melindungi jika dia melihat dari rumah ustazah.Selesai memarkir motor di bawah pohon yang lumayan teduh, aku langsung melangkah panjang menuju pintu bernuansa hitam itu. Ponsel berdering, aku tidak mengindahkannya karena khawatir itu adalah pesan dari Ainun yang memberi ancaman lagi, sehingga bisa merusak mood.Pintu terketuk tiga kali, aku tersenyu
Baca selengkapnya

Bab 17. Cerita Nizar Abdullah

Bab 17. Cerita Nizar Abdullah"Siapa, Ma?""Nizar."Jawaban singkat, tetapi berhasil membuat jantungku dag dig dug tak menentu. "Tunggu sebentar, Ma, bilangin."Setelah mama pergi, aku langsung melepas gulungan rambut, lalu menjemur handuk putih ukuran kecil itu di dekat jendela. Rambut masih sedikit basah, tetapi sudah mepet kalau harus mengeringkannya dengan hair dryer.Setelah mengganti pakaian dengan memakai daster rumahan sepanjang gamis, aku menyambar jilbab senada dalam lemari, lalu memakainya langsung tanpa ciput karena rambut tidak akan kelihatan juga.Beres. Aku keluar kamar setelah lima menit berlalu, tanpa memakai bedak dan handbody. Benar-benar alami dan kuharap Nizar tidak pernah memandang ke arahku.Menyibak tirai pemisah ruang tamu dan ruang tengah, aku menunduk. Jantung berdegup tidak normal. Jika hal ini berlangsung lama, takutnya bisa bahaya."Nizar, ada apa?"Lelaki itu menunduk. "Tahu nggak, dulu itu
Baca selengkapnya

Bab 18. Lebih Baik Berpisah

Bab 18. Lebih Baik Berpisah"Mama kenapa narik tangan aku kasar banget? Sakit ini, Ma." Aku berucap lirih—setelah azan berkumandang—sambil memegangi lengan kanan yang sedikit memerah. Bibir pun sedikit manyun sebagai bentuk protes."Abis kamu itu ...." Mama memejamkan matanya, terdengar helaan napas panjang. Aku sendiri memilih duduk di depan kamar, melepas jilbab setelah menyalakan kipas angin. Segar.Mama ikut duduk di depanku. Dia tidak mau kalah, sama-sama memasang wajah cemberut untuk sepersekian detik. Setelah itu, kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. "Kayak nggak ada cowok lain aja. Mending kita malu sekarang, daripada nanti pernikahan kamu seumur jagung. Atau langgeng, tapi malah nggak bahagia. Hidup sebagai bayang-bayang orang lain itu menyesakkan dada, Lia.""Ma, sebenarnya aku juga sangat lelah. Aku kan sudah bilang, mau pisah sama Nizar saja sebelum terlambat. Kan, bisa dijelasin ke keluarga alasan kita putus lamaran
Baca selengkapnya

Bab 19. Alasan Nizar

Bab 19. Alasan NizarSejak hari itu, Nizar tidak pernah datang. Ketika aku tanyakan di chat, tetap saja jawabannya ingin memberitahu secara langsung. Namun, sudah tiga hari berlalu, dia tidak juga memunculkan batang hidungnya.Setelah mengembuskan napas kasar, aku bersandar pada kepala ranjang, memejamkan mata dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Kedua kaki aku tekuk, masih menunggu jawaban yang entah kapan aku peroleh.Menunggu adalah sesuatu yang menjemukan, apalagi bila tanpa kepastian. Seperti sekarang, aku khawatir kalau saja Nizar sengaja menghilang demi mengulur waktu dengan alasan sibuk agar pernikahan kami tidak batal.Akan tetapi, aku adalah aku. Nizar tidak akan pernah tenang sebelum mengutarakan alasannya. Sekalipun di hari pernikahan, aku akan menanyai lelaki itu sebelum ijab qabul dimulai.Pintu rumah terketuk pelan, aku terperanjat, kemudian berlari ke luar untuk melihat siapa yang datang setelah menyambar mukenah."Niz
Baca selengkapnya

Bab 20. Ini Tentang Ainun

Bab 20. Ini Tentang AinunPoV Nizar________________Aku menunduk menyembunyikan wajah, menghindari tatapan mata Alia. Aku tahu, gadis ini sangat penasaran. Sebenarnya ibu melarangku untuk menceritakan ini pada siapa pun, tetapi jika terus merahasiakannya dari Alia, bisa menyebabkan batalnya pernikahan.Sebab, dia tentu tidak mau menikah dengan lelaki yang dianggap melukai hati wanita lain. Setelah kembali mengangkat wajah, Alia berkata penuh penekanan, "cepat katakan, Nizar. Baik aku atau kamu tidak punya waktu luang yang banyak!"Aku mengangguk, mengingat hari itu, lalu menceritakannya pada Alia.Sore hari ketika melihat ibu sedang duduk santai menonton acara televisi, aku mendekat dengan perasaan ragu. Bersyukur bapak belum pulang dari bekerja.Ada perasaan ragu yang meraja di dalam dada. Namun, demi pujaan hati, aku harus mengumpulkan keberanian. Seorang lelaki memang dianjurkan untuk berani, sekaligus mempertanggungjawabkan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status