Bab 17. Cerita Nizar Abdullah
"Siapa, Ma?"
"Nizar."
Jawaban singkat, tetapi berhasil membuat jantungku dag dig dug tak menentu. "Tunggu sebentar, Ma, bilangin."
Setelah mama pergi, aku langsung melepas gulungan rambut, lalu menjemur handuk putih ukuran kecil itu di dekat jendela. Rambut masih sedikit basah, tetapi sudah mepet kalau harus mengeringkannya dengan hair dryer.
Setelah mengganti pakaian dengan memakai daster rumahan sepanjang gamis, aku menyambar jilbab senada dalam lemari, lalu memakainya langsung tanpa ciput karena rambut tidak akan kelihatan juga.
Beres. Aku keluar kamar setelah lima menit berlalu, tanpa memakai bedak dan handbody. Benar-benar alami dan kuharap Nizar tidak pernah memandang ke arahku.
Menyibak tirai pemisah ruang tamu dan ruang tengah, aku menunduk. Jantung berdegup tidak normal. Jika hal ini berlangsung lama, takutnya bisa bahaya.
"Nizar, ada apa?"
Lelaki itu menunduk. "Tahu nggak, dulu itu
Bab 18. Lebih Baik Berpisah"Mama kenapa narik tangan aku kasar banget? Sakit ini, Ma." Aku berucap lirih—setelah azan berkumandang—sambil memegangi lengan kanan yang sedikit memerah. Bibir pun sedikit manyun sebagai bentuk protes."Abis kamu itu ...." Mama memejamkan matanya, terdengar helaan napas panjang. Aku sendiri memilih duduk di depan kamar, melepas jilbab setelah menyalakan kipas angin. Segar.Mama ikut duduk di depanku. Dia tidak mau kalah, sama-sama memasang wajah cemberut untuk sepersekian detik. Setelah itu, kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. "Kayak nggak ada cowok lain aja. Mending kita malu sekarang, daripada nanti pernikahan kamu seumur jagung. Atau langgeng, tapi malah nggak bahagia. Hidup sebagai bayang-bayang orang lain itu menyesakkan dada, Lia.""Ma, sebenarnya aku juga sangat lelah. Aku kan sudah bilang, mau pisah sama Nizar saja sebelum terlambat. Kan, bisa dijelasin ke keluarga alasan kita putus lamaran
Bab 19. Alasan NizarSejak hari itu, Nizar tidak pernah datang. Ketika aku tanyakan di chat, tetap saja jawabannya ingin memberitahu secara langsung. Namun, sudah tiga hari berlalu, dia tidak juga memunculkan batang hidungnya.Setelah mengembuskan napas kasar, aku bersandar pada kepala ranjang, memejamkan mata dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Kedua kaki aku tekuk, masih menunggu jawaban yang entah kapan aku peroleh.Menunggu adalah sesuatu yang menjemukan, apalagi bila tanpa kepastian. Seperti sekarang, aku khawatir kalau saja Nizar sengaja menghilang demi mengulur waktu dengan alasan sibuk agar pernikahan kami tidak batal.Akan tetapi, aku adalah aku. Nizar tidak akan pernah tenang sebelum mengutarakan alasannya. Sekalipun di hari pernikahan, aku akan menanyai lelaki itu sebelum ijab qabul dimulai.Pintu rumah terketuk pelan, aku terperanjat, kemudian berlari ke luar untuk melihat siapa yang datang setelah menyambar mukenah."Niz
Bab 20. Ini Tentang AinunPoV Nizar________________Aku menunduk menyembunyikan wajah, menghindari tatapan mata Alia. Aku tahu, gadis ini sangat penasaran. Sebenarnya ibu melarangku untuk menceritakan ini pada siapa pun, tetapi jika terus merahasiakannya dari Alia, bisa menyebabkan batalnya pernikahan.Sebab, dia tentu tidak mau menikah dengan lelaki yang dianggap melukai hati wanita lain. Setelah kembali mengangkat wajah, Alia berkata penuh penekanan, "cepat katakan, Nizar. Baik aku atau kamu tidak punya waktu luang yang banyak!"Aku mengangguk, mengingat hari itu, lalu menceritakannya pada Alia.Sore hari ketika melihat ibu sedang duduk santai menonton acara televisi, aku mendekat dengan perasaan ragu. Bersyukur bapak belum pulang dari bekerja.Ada perasaan ragu yang meraja di dalam dada. Namun, demi pujaan hati, aku harus mengumpulkan keberanian. Seorang lelaki memang dianjurkan untuk berani, sekaligus mempertanggungjawabkan
Bab 21. Setidaknya Beri Satu AlasanPukul sepuluh pagi, aku langsung berkunjung ke rumah Ainun. Sebenarnya semalam sudah menolak dengan beberapa alasan karena masih belum sanggup menemuinya, tetapi Ainun selalu mendesak.Menghela napas panjang, aku mengetuk pintu yang setengah terbuka. Setelahnya, Ainun datang, meminta aku masuk dan duduk di kursi. Bu Madinah membuka tirai agar kami masih dalam pantauannya."Kumohon, jangan menangis, Ai!" pintaku memelankan suara begitu melihat matanya berkaca-kaca.Mata indah itu, basah oleh air mata. Aku tidak sanggup untuk melihatnya. Perlahan, tangan kananku merogoh kantong mengambil Fresh Care, lalu mengoles hidung dan pelipis demi menyembunyikan kesedihan.Aku tidak mau Bu Madinah menaruh curiga dan dicap sebagai lelaki tidak bertanggungjawab. Sejujurnya, aku masih sangat mencintai Ainun dan sulit melupakannya, tetapi ibu ... tidak mungkin aku lebih memilih gadis itu daripada dirinya."Nizar, katakan a
Bab 22. Berdamai dengan TakdirPoV Alia_______________Aku sengaja mendekati mereka ketika melihat raut wajah Nizar yang tidak bersahabat. Pak Darsono memang seorang lelaki, tetapi mulutnya pedas seperti wanita. Tidak jarang dia bergabung dengan ibu-ibu tukang gosip, mengajak anaknya serta.Ketika ada Pak Darsono, maka gosip seketika memanas. Apalagi dia selalu mengabadikannya lewat siaran langsung di Face-book tanpa peduli jika ada yang menegur di kolom komentar dan kebiasaan paling tidak bisa dia tinggalkan adalah memuji anak gadis sendiri, menganggapnya mengungguli semua gadis yang ada di negara ini."Bukan pacar, Pak. Tepatnya calon suami Alia." Nizar kemudian memberi jawaban dengan santun.Aku yang tidak tahan langsung memintanya pulang saja daripada masalah semakin runyam. Biasanya jika tetangga sudah ikut campur, maka kita akan kesulitan menemukan jalan keluar karena mereka pintar bicara saja. Selebihnya mencari kekurangan untuk dija
Bab 23. Aku bukan Perebut"Maksud kamu apa, Ainun?"Gadis itu tersenyum sangat manis, tetapi menurutku memiliki makna tertentu."Orang yang tidak tahu masalah kita, pasti menganggap aku sebagai orang ketiga jika aku mendesak Nizar untuk memberiku sebuah alasan paling logis, sementara kamu adalah korban. Padahal pada kenyataanya kamu lah yang hadir merusak segalanya. Aku yang hampir menikah dengan Nizar harus gagal karena dirimu. Aku yakin, kalian memiliki hubungan di belakang aku sejak beberapa minggu yang lalu, betul? Karena tidak mungkin seorang lelaki tiba-tiba melamar orang lain jika sebelumnya tidak selingkuh."Aku menggelengkan kepala. Memang pernah ada kasus di mana seorang wanita diputus lamarannya secara mendadak karena orang ketiga dengan alasan langsung menaruh hati pada pandangan pertama padahal sebenarnya mereka sudah lama memiliki hubungan.Namun, aku tidak sepertinya. Menurut pengakuan Nizar saja, lamaran ini terjadi atas keinginan i
Bab 24. Air MataAku menepikan motor, tidak lama kemudian Diqi ikut melakukan hal yang sama. Aku memutar bola mata malas tidak menduga kalau dia lah yang memanggilku tadi karena suaranya samar terbawa angin.Membasahi bibir dengan lidah, lalu bertanya, "kenapa?""Kenapa, kenapa. Jelasin, tadi bahas apa sih sama Ainun dan Nizar? Jangan-jangan kamu udah nyerah, terus maksa Nizar buat balikan lagi sama Ainun?" tebaknya membuatku semakin malas saja."Nggak. Ainun cuma ngejelasin sesuatu biar Nizar nggak salah paham. Lagian kamu kok bisa ada di sini, bukannya sibuk apa kek. Sengaja mantau apa emang kebetulan lewat doang? Ah, masa sih, lewat doang orang kamu tahu kalau tadi aku ketemu Nizar sama Ainun padahal Nizar sendiri sudah pulang lebih dulu menyusul Ainun." Mataku memicing mencari jawaban.Pasalnya, Diqi itu tipe orang yang selalu mencari tahu apa pun yang membuatnya penasaran dan aku yakin kalau saat ini dia sedang memantau demi sebuah jawaban yan
Bab 25. Alasan yang LainAku memarkir motor di depan rumah Ainun, sengaja menjemputnya karena malu berangkat sendirian. Memang sudah lama ikut pengajian di rumah Ustazah Halimah, tetap saja malu kalau tidak sengaja bertemu santri yang lain. Sementara Ainun, dia orangnya super pede.Kadang-kadang, hehe.Cuaca hari ini cukup terang, mentari menampilkan senyum terindahnya di sisi awan tebal serupa kapas bercahaya. Kurasa, hari ini akan ada kabar baik. Semoga itu nyata."Alia, masuk dulu!" panggil Ainun ramah.Kaki melangkah panjang melewati pintu rumahnya, duduk di sebuah kursi dengan nyaman. Aku tidak mengerti kenapa perasaan senang itu datang di dalam hati, padahal tidak ada kabar baik pagi ini dari siapa pun.Berselang lima menit, Ainun kembali, memintaku duduk duduk dulu karena dia harus mengantar kue pesanan orang. Sementara itu, umi menyusul, duduk di depanku masih dengan senyum ramah seperti kemarin."Umi sudah dengar cerita dari
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s