Beranda / CEO / Sekretarisku Jilbaber / Bab 191 - Bab 200

Semua Bab Sekretarisku Jilbaber : Bab 191 - Bab 200

214 Bab

Bab 191

Setelah insiden di perpustakaan, hatiku memberanikan diri untuk berasumsi bahwa Briana memang seorang muslimah. Sejumput harapan mulai tumbuh di dada, sembari meyakinkan diri bahwa mungkin Oma akan merestui pilihan hatiku kali ini. Siapa tahu suatu hari nanti, Briana bersedia mengenakan hijab dan ibu pun akan luluh padanya. Sementara itu, di kampus, Jean yang dulunya selalu bersamaku, masih saja enggan merelakan hatinya. Bahkan, ia berani mengungkapkan perasaannya secara langsung. "Ka, kenapa kamu menolakku? Aku benar-benar menyukai orang Indonesia, dan kamu adalah tipeku," kata Jean. "Maaf, Jean. Aku tak bisa," jawabku singkat. "Tapi kenapa? Apa karena cewek itu? Briana?" suara Jean tertahan. Aku terdiam. Semakin berusaha kuatirkan hati. "Dia itu cewek yang nggak benar, Ka! Percayalah padaku!" Jean berteriak, mencoba meyakinkanku dengan kesungguhan di matanya."Jangan asal menuduh sembarangan, kamu Jean!" "Dia itu aneh, sadarlah!" Apa yang aneh dari Briana? Menurutku, dia begitu uni
Baca selengkapnya

Bab 192

Hari demi hari terlewati, rentetan tugas dari dosen menggempurku tanpa henti. Kesibukanku kian meruncing, seiring mendekati akhir semester yang selalu penuh ujian dan tugas kampus. Apabila SKS-ku mencukupi dan aku lulus ujian kali ini, mungkin aku bisa merayakan wisuda tahun ini. Kemarin, Ibu menyampaikan bahwa perusahaan sedang menghadapi kondisi sulit. Namun, Ia memintaku untuk terus fokus pada studiku. Ibu tak mau membahasnya lebih jauh, dan aku pun enggan untuk mengejar penjelasan. Perubahan juga terjadi dalam pergaulanku. Briana, gadis yang telah kusembarangi perasaan, terasa semakin menjauh sejak aku mengungkapkan isi hati. Namun yang aneh, Vanya—sepupu Briana—justru semakin mendekat. Tak jarang dia datang ke rumahku dan mengantarkan makanan di hari-hari liburnya. Meski demikian, hatiku masih mengejar bayang-bayang Briana. Oh, waktu, mengapa tak kunjung menuntaskan pertarungan batin yang menghantam hatiku ini?Hari Minggu ini, mahasiswa Indonesia berencana mengadakan pertemuan
Baca selengkapnya

Bab 193

Begitu sampai di apartemenku, aku langsung meletakkan tas dan melepaskan jaket tanpa berpikir panjang. Namun, pikiran tetap saja menerawang tentang apa yang baru saja kukatakan oleh Vanya, sepupu Briana, tentang gadis yang selama ini kusukai. Aku merasa kecewa dan bingung mendengar berita itu. Bagaimana mungkin Briana ternyata... tidak normal? Apakah benar dia adalah kaum belok? Anehnya, aku tidak pernah melihatnya akrab bersama perempuan lain, atau mungkin aku hanya tidak tahu? Pikiranku berkecamuk, mencoba mencari tahu apakah Vanya benar atau hanya karena dia suka padaku dan tidak ingin aku bersama Briana. Apakah ini semacam permainan yang dibuat oleh Vanya? Semua pertanyaan ini berkelebat di benakku saat aku menuju apartemen Briana, yang terletak di lantai tiga.Begitu sampai di depan pintu apartemennya, aku segera menekan bel dan menunggu dengan harap-harap cemas. Tak lama, pintu terbuka dan Briana muncul sambil mengernyitkan dahinya. "Raka?" katanya, terlihat gugup sambil menole
Baca selengkapnya

Bab 194

Hari bergulir cepat, bagai angin yang menyibakkan kabut. Tanpa terasa, kini aku telah menapaki hari penutup kuliahku. Inilah saatnya menerima capai tangan dan canda tawa, membayar kegigihan dalam setiap persahabatan dan perjuangan demi ilmu. Setiap kenangan tercipta di sini, kenangan pahit dan juga manis. Sebentar lagi, ibu dan ayah akan datang menyaksikan kuncup kepala mereka, merasakan bangga akan apa yang telah mereka bina dan mereka cita-citakan.Kebetulan, hari itu, Briana juga akan diwisuda bersamaku. Dan barangkali, kedua orang tuanya juga akan datang. Lantas, apa artinya itu untukku? Ya, aku tak lagi peduli tentang Briana. Wajah cantik dan uniknya, sikap cueknya, semua telah berlalu bagai reruntuhan yang lenyap tersapu badai. Sebuah lubang hampa tiba-tiba mencengkeram hatiku, menguak kekecewaan yang amat dalam. Ku kira, tak ada wanita di dunia ini yang mampu mengalahkan Briana. Namun, ujian takdir menepik sudut-sudut kehidupan dengan begitu kejam. Nyatanya, ada hal lain yan
Baca selengkapnya

Bab 195

Hari demi hari berlalu, bulan berganti bulan, dan aku akhirnya kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan semuanya. Tujuanku adalah untuk mengembalikan kejayaan perusahaan Ayah yang kini sedang goyah. Di sisi lain, Dirga juga sudah menyelesaikan kuliahnya di bidang ekonomi, sama seperti yang aku tempuh. Saat aku melihat wajah Dirga, ada perubahan yang sangat mencolok. Kini, ia terlihat lebih garang daripada sebelumnya. Kata Dirga, selama di kampus ia aktif dalam organisasi mahasiswa pecinta alam dan sering melakukan pendakian gunung di berbagai daerah. Sungguh, Dirga saat ini tak lagi mirip dengan sosoknya dulu yang rapi dan perfeksionis. Oma yang kucintai kini sudah sangat renta, bahkan seringkali tak mengenali cucunya sendiri. Aku mulai merasakan bahwa pikun mulai menggerogoti ingatan Oma. Di sisi lain, Ibu Rania masih setia bekerja di rumah ini. Karena kondisi ekonomi Ayah dan Ibu yang tak lagi stabil, hanya Bu Rania yang tetap gigih dalam mencari nafkah. Sayangnya, hubungan A
Baca selengkapnya

Bab 195

Pagi menyingsing, aku selesai berpakaian rapi dengan jas dan kemeja putih. Aku menyisir rambutku hingga tampak klimis. Beberapa minggu bekerja di perusahaan Ayah, aku mulai terbiasa. Aku juga berusaha keras belajar bagaimana menjadi CEO yang baik dan cara mengelola perusahaan agar berkembang pesat. Sambil menyemprotkan parfum, pikiran ini membayangi situasi yang akan kutemui hari ini. "Apakah aku sudah cukup baik menjadi pemimpin perusahaan di mata Ayah?" Aku menyambar laptop dan handphone yang tergeletak di atas tempat tidur. Gegas turun ke lantai bawah, bersiap sarapan sebelum bekerja. Melihat Ibu mempersiapkan sarapan membuatku bersyukur, ibuku begitu memperhatikan keluarganya dari dulu, sementara Ayah tampak santai membaca koran. "Apakah mereka bangga padaku?" batinku. Oma yang belum terlihat, mungkin masih di kamarnya. Ia sudah tak kuat untuk berjalan, terkadang harus menggunakan tongkat.Oh iya, anaknya Tante Gendhis, Fara, sepupuku, dia telah mandiri bekerja di perusahaan la
Baca selengkapnya

Bab 197

Sebelum ia menyadarai kehadiranku, dengan cepat aku mengenakan kacamata hitam, berharap dengannya ia tidak akan mengenalku, dan akan tetap fokus menyelesaikan wawancaranya hari ini. Keempat karyawanku melirik heran ke arahku, bingung kenapa tiba-tiba aku memakai kacamata hitam di dalam ruangan. "Silahkan duduk," ucapku dengan nada dingin. Mengecewakanku jika aku harus pergi dari ruangan ini. "Baik Pak." Kemudian ia duduk di kursi yang telah disediakan. Setelah ia mengangkat kepalanya, aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan tangan, menghindari segala kemungkinan ia bisa mengenaliku. Wawancara pun dimulai, ia memperkenalkan dirinya, mulai dari nama, pendidikan, hingga pengalaman bekerja. Ternyata Zahra pernah bekerja saat masih kuliah; ia kuliah tak jauh dari sini. Aku merasa penasaran dengan Zahra; dulu dia selalu diantar dengan mobil mewah saat masih bersekolah, tapi sekarang dia justru melamar pekerjaan di kantor ini. Pikiran-pikiran itu menghantui benakku, membuatku semakin p
Baca selengkapnya

Bab 198

Hari-hari bergulir, Ayah tak henti-hentinya memantau kinerjaku serta perkembangan perusahaan di kantor ini. Setiap kali mengambil keputusan penting, aku selalu meminta pendapat dan nasihat darinya, takut menapaki jalan yang salah. Saat ini, kami tengah merancang proyek besar yang akan diajukan dalam tender: desain bangunan kantor dan materi presentasinya. Mengikuti saran Ayah, aku membentuk tim yang solid agar pekerjaan menjadi lebih efisien.Tak sekadar menjadi pemimpin, aku pun ikut terjun bersama mereka, menyusun materi presentasi yang menarik. Zahra, salah satu anggota tim, menemuiku dengan rincian kas kantor yang tersisa. Hatiku bergetar, berharap bisa memberikan bonus yang pantas bagi mereka jika tender sukses. "Ini jumlahnya, Pak," ujarnya sambil memperlihatkan hasil print out. "Hmm, baiklah," jawabku, berusaha menahan kecemasan. Di balik kerja keras ini, keyakinan dan kebersamaan kami menjadi perekat semangat dalam menggapai impian bersama. “Sepertinya memang perusahaan ini
Baca selengkapnya

Bab 199

Pagi yang cerah, aku telah bangun sejak subuh tadi. Setelah menunaikan sholat subuh, aku berolahraga sejenak di sekitar rumah. Cuaca di pagi ini masih cukup segar, belum tercemar oleh asap kendaraan yang semakin padat seiring berjalannya waktu.Aku bersyukur, perusahaan milik ayah yang kini mulai menunjukkan perkembangan positif. Syukur Alhamdulillah, tender yang baru saja kami kerjakan berhasil tembus. Meskipun skala tender ini tak terlalu besar, namun ini bisa menjadi batu loncatan bagi kami untuk memenangkan tender-tender lebih besar di masa depan. Sementara itu, di rumah, Ibu tampak sibuk di dapur. Sejak tak ada lagi pekerja di rumah, Ibu mengambil alih peran dalam mengurus rumah tangga serta menjaga Oma yang kini tak mampu berjalan akibat penyakitnya yang telah kronis. Memang sudah sepatutnya mengingat usia Oma yang sudah sangat tua. Aku pun segera turun ke lantai bawah, mendapati Ibu tengah membawa sarapan untuk Oma di kamarnya. Dalam kesibukan pagi ini, rasa syukur dan kehan
Baca selengkapnya

Bab 200

Tujuh hari setelah kepergian Oma, kesedihan yang mendalam masih menyelimuti hati kami, terutama aku yang baru saja sempat tinggal bersama Oma. Dia begitu menyayangiku, walaupun terkadang ia mengalami demensia, tapi kenangan tentang diriku tetap menghiasi ingatannya saat ia memegang pipiku. Aku bisa merasakan kasih sayang Oma, meskipun terlambat, namun tak mengurangi rasa cinta yang tulus padanya."Kamu Raka kan? Cucu Oma yang paling ganteng, jadi anak Sholeh dan jadi CEO yang lebih sukses dari Opa dan ayahmu," ucapnya. Ucapan itu terus terngiang di telingaku, mengingatkan betapa berharganya sosok Oma dalam hidupku. Tanpa terasa, air mataku pun mengalir, membasahi pipi yang Oma dulu sentuh dengan penuh kasih. Tiba-tiba, bahu ku direngkuh oleh seseorang. “Raka?!” Aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Dirga yang sedang berdiri di belakangku. Sepanjang acara tahlilan Almarhumah Oma, Bu Rania dan Dirga selalu berada di sini, mereka bahkan menginap di rumah ini. Aku mengusap air
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
171819202122
DMCA.com Protection Status