Hari bergulir cepat, bagai angin yang menyibakkan kabut. Tanpa terasa, kini aku telah menapaki hari penutup kuliahku. Inilah saatnya menerima capai tangan dan canda tawa, membayar kegigihan dalam setiap persahabatan dan perjuangan demi ilmu. Setiap kenangan tercipta di sini, kenangan pahit dan juga manis. Sebentar lagi, ibu dan ayah akan datang menyaksikan kuncup kepala mereka, merasakan bangga akan apa yang telah mereka bina dan mereka cita-citakan.Kebetulan, hari itu, Briana juga akan diwisuda bersamaku. Dan barangkali, kedua orang tuanya juga akan datang. Lantas, apa artinya itu untukku? Ya, aku tak lagi peduli tentang Briana. Wajah cantik dan uniknya, sikap cueknya, semua telah berlalu bagai reruntuhan yang lenyap tersapu badai. Sebuah lubang hampa tiba-tiba mencengkeram hatiku, menguak kekecewaan yang amat dalam. Ku kira, tak ada wanita di dunia ini yang mampu mengalahkan Briana. Namun, ujian takdir menepik sudut-sudut kehidupan dengan begitu kejam. Nyatanya, ada hal lain yan
Hari demi hari berlalu, bulan berganti bulan, dan aku akhirnya kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan semuanya. Tujuanku adalah untuk mengembalikan kejayaan perusahaan Ayah yang kini sedang goyah. Di sisi lain, Dirga juga sudah menyelesaikan kuliahnya di bidang ekonomi, sama seperti yang aku tempuh. Saat aku melihat wajah Dirga, ada perubahan yang sangat mencolok. Kini, ia terlihat lebih garang daripada sebelumnya. Kata Dirga, selama di kampus ia aktif dalam organisasi mahasiswa pecinta alam dan sering melakukan pendakian gunung di berbagai daerah. Sungguh, Dirga saat ini tak lagi mirip dengan sosoknya dulu yang rapi dan perfeksionis. Oma yang kucintai kini sudah sangat renta, bahkan seringkali tak mengenali cucunya sendiri. Aku mulai merasakan bahwa pikun mulai menggerogoti ingatan Oma. Di sisi lain, Ibu Rania masih setia bekerja di rumah ini. Karena kondisi ekonomi Ayah dan Ibu yang tak lagi stabil, hanya Bu Rania yang tetap gigih dalam mencari nafkah. Sayangnya, hubungan A
Pagi menyingsing, aku selesai berpakaian rapi dengan jas dan kemeja putih. Aku menyisir rambutku hingga tampak klimis. Beberapa minggu bekerja di perusahaan Ayah, aku mulai terbiasa. Aku juga berusaha keras belajar bagaimana menjadi CEO yang baik dan cara mengelola perusahaan agar berkembang pesat. Sambil menyemprotkan parfum, pikiran ini membayangi situasi yang akan kutemui hari ini. "Apakah aku sudah cukup baik menjadi pemimpin perusahaan di mata Ayah?" Aku menyambar laptop dan handphone yang tergeletak di atas tempat tidur. Gegas turun ke lantai bawah, bersiap sarapan sebelum bekerja. Melihat Ibu mempersiapkan sarapan membuatku bersyukur, ibuku begitu memperhatikan keluarganya dari dulu, sementara Ayah tampak santai membaca koran. "Apakah mereka bangga padaku?" batinku. Oma yang belum terlihat, mungkin masih di kamarnya. Ia sudah tak kuat untuk berjalan, terkadang harus menggunakan tongkat.Oh iya, anaknya Tante Gendhis, Fara, sepupuku, dia telah mandiri bekerja di perusahaan la
Sebelum ia menyadarai kehadiranku, dengan cepat aku mengenakan kacamata hitam, berharap dengannya ia tidak akan mengenalku, dan akan tetap fokus menyelesaikan wawancaranya hari ini. Keempat karyawanku melirik heran ke arahku, bingung kenapa tiba-tiba aku memakai kacamata hitam di dalam ruangan. "Silahkan duduk," ucapku dengan nada dingin. Mengecewakanku jika aku harus pergi dari ruangan ini. "Baik Pak." Kemudian ia duduk di kursi yang telah disediakan. Setelah ia mengangkat kepalanya, aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan tangan, menghindari segala kemungkinan ia bisa mengenaliku. Wawancara pun dimulai, ia memperkenalkan dirinya, mulai dari nama, pendidikan, hingga pengalaman bekerja. Ternyata Zahra pernah bekerja saat masih kuliah; ia kuliah tak jauh dari sini. Aku merasa penasaran dengan Zahra; dulu dia selalu diantar dengan mobil mewah saat masih bersekolah, tapi sekarang dia justru melamar pekerjaan di kantor ini. Pikiran-pikiran itu menghantui benakku, membuatku semakin p
Hari-hari bergulir, Ayah tak henti-hentinya memantau kinerjaku serta perkembangan perusahaan di kantor ini. Setiap kali mengambil keputusan penting, aku selalu meminta pendapat dan nasihat darinya, takut menapaki jalan yang salah. Saat ini, kami tengah merancang proyek besar yang akan diajukan dalam tender: desain bangunan kantor dan materi presentasinya. Mengikuti saran Ayah, aku membentuk tim yang solid agar pekerjaan menjadi lebih efisien.Tak sekadar menjadi pemimpin, aku pun ikut terjun bersama mereka, menyusun materi presentasi yang menarik. Zahra, salah satu anggota tim, menemuiku dengan rincian kas kantor yang tersisa. Hatiku bergetar, berharap bisa memberikan bonus yang pantas bagi mereka jika tender sukses. "Ini jumlahnya, Pak," ujarnya sambil memperlihatkan hasil print out. "Hmm, baiklah," jawabku, berusaha menahan kecemasan. Di balik kerja keras ini, keyakinan dan kebersamaan kami menjadi perekat semangat dalam menggapai impian bersama. “Sepertinya memang perusahaan ini
Pagi yang cerah, aku telah bangun sejak subuh tadi. Setelah menunaikan sholat subuh, aku berolahraga sejenak di sekitar rumah. Cuaca di pagi ini masih cukup segar, belum tercemar oleh asap kendaraan yang semakin padat seiring berjalannya waktu.Aku bersyukur, perusahaan milik ayah yang kini mulai menunjukkan perkembangan positif. Syukur Alhamdulillah, tender yang baru saja kami kerjakan berhasil tembus. Meskipun skala tender ini tak terlalu besar, namun ini bisa menjadi batu loncatan bagi kami untuk memenangkan tender-tender lebih besar di masa depan. Sementara itu, di rumah, Ibu tampak sibuk di dapur. Sejak tak ada lagi pekerja di rumah, Ibu mengambil alih peran dalam mengurus rumah tangga serta menjaga Oma yang kini tak mampu berjalan akibat penyakitnya yang telah kronis. Memang sudah sepatutnya mengingat usia Oma yang sudah sangat tua. Aku pun segera turun ke lantai bawah, mendapati Ibu tengah membawa sarapan untuk Oma di kamarnya. Dalam kesibukan pagi ini, rasa syukur dan kehan
Tujuh hari setelah kepergian Oma, kesedihan yang mendalam masih menyelimuti hati kami, terutama aku yang baru saja sempat tinggal bersama Oma. Dia begitu menyayangiku, walaupun terkadang ia mengalami demensia, tapi kenangan tentang diriku tetap menghiasi ingatannya saat ia memegang pipiku. Aku bisa merasakan kasih sayang Oma, meskipun terlambat, namun tak mengurangi rasa cinta yang tulus padanya."Kamu Raka kan? Cucu Oma yang paling ganteng, jadi anak Sholeh dan jadi CEO yang lebih sukses dari Opa dan ayahmu," ucapnya. Ucapan itu terus terngiang di telingaku, mengingatkan betapa berharganya sosok Oma dalam hidupku. Tanpa terasa, air mataku pun mengalir, membasahi pipi yang Oma dulu sentuh dengan penuh kasih. Tiba-tiba, bahu ku direngkuh oleh seseorang. “Raka?!” Aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Dirga yang sedang berdiri di belakangku. Sepanjang acara tahlilan Almarhumah Oma, Bu Rania dan Dirga selalu berada di sini, mereka bahkan menginap di rumah ini. Aku mengusap air
Dalam dua hari, Dirga akan mulai bekerja di kantor yang sama denganku. Sejujurnya, aku belum sempat memberitahukan kepadanya tentang keberadaan Zahra di sini. Ah, Zahra… kenapa tiba-tiba aku teringat padanya? Gadis manis yang selalu menundukkan kepala, seakan menyimpan banyak rahasia di balik kepolosan wajahnya. Tidak, ini bukan perasaan rindu; aku tidak pernah merasakan cinta selain pada Briana. Saat aku tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. "Masuk!" Aku berseru, tidak menyangka bahwa orang yang masuk ternyata adalah Zahra. Apakah ini suatu kebetulan? Atau justru semesta sengaja menyatukan kami? "Ah, tidak," batin ku, berusaha mengesampingkan perasaan yang mulai menguasai pikiranku. "Pak, ada berkas yang harus Bapak periksa dulu sebelum ditandatangani. Saya takut ada yang keliru," ucap Zahra, seraya meletakkan berkas itu di atas meja. Aku merasa degup jantungku semakin kencang ketika hendak meraih berkas tersebut, namun tidak sengaja menyentuh tangan Zah
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis