All Chapters of Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi: Chapter 41 - Chapter 50

80 Chapters

Bab 41. Kisah Aneh di Desa Segoro Biru

Sambutan yang diberikan oleh warg desa Segoro Biru sangat luar biasa. Seluruh warga berkumpul di pintu masuk desa sembari membawa sebuah mangkok gerabah yang berisi bunga-bungaan. Yang ditaburkan ke arah Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo. Ki Lurah Rekso berada di tengah-tengah warganya dengan mengenakan pakaian resmi. Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan kepala. "Ini terlalu berlebihan, Ki Lurah. Kami hanya tamu biasa yang sekedar singgah." Dewi Rukmini menerima sekuntum bunga melati yang diulurkan oleh seorang warga perempuan. Disematkannya kuntum melati itu di daun telinga kanan. "Apa yang kami lakukan ini tidak akan sebanding dengan berkah yang bakal kami dapatkan jika kaki-kaki panjenengan telah menginjak desa kami," ujar Ki Lurah Rekso. "Mari singgah ke rumah saya, Gusti Pangeran, Gusti Ratu, dan Ki Bejo." Ki Lurah Rekso mempersilakan ketiga tamunya itu untuk mengikuti langkahnya. Ternyata rumah Ki Lurah Rekso tidak jauh dari pintu gerba
Read more

Bab 42. Ratu Ayu dari Laut

Ki Lurah terdiam sesaat sembari melihat-lihat batu hijau itu. Lantas pandangannya menerawang. "Waktu hujan keras dan angin badai itu, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Ombak yang sangat besar datang hampir mencapai desa kami. Ada dua rumah paling belakang yang tergulung oleh ombak itu. Semua warga panik. Sekuat tenaga saya berusaha menenangkan mereka." Ki Lurah menunduk dalam-dalam. Masih tetap dengan memutar-mutar batu hijau itu. "Bolehkah saya melihat batu itu, Ki Lurah?" tanya Dewi Rukmini. Ki Lurah Rekso mengangguk, dan mengulurkan batu hiju itu pada Sang Ratu. "Berapa lama ombak besar itu datang?" tanya Pangeran Gagat. Matanya tak lekat menatap wajah Ki Lurah Rekso. "Tidak lama, Gusti Pangeran. Hanya terdengar beberapa saat. Tapi tak lama setelah bunyi ombak itu menghilang, ada kereta kencana memasuki jalan desa kami. Warna keretanya keemasan berkilau sangat terang. Di dalamnya terdapat seorang ratu yang sangat ayu. Saya melihatnya sekilas m
Read more

Bab 43. Tarian di Bulan Kartika

Dewi Rukmini menari dengan begitu gemulai. Tarian itu hasil olah ciptanya sendiri, di mana setiap gerakannya dia sesuaikan dengan tempo dan irama dari musik gamelan yang berada di belakangnya. Terkadang gerakannya begitu cepat, melompat ke sana kemari, tapi terladang juga begitu pelan dan bergerak dengan beringsut perlahan. Para warga yang tengah membuat hiasan sesaji untuk dilarung esok hari, tak bisa lagi memusatkan perhatian pada kesibukannya. Karena mata mereka seluruhnya tertuju pada setiap gerakan tarian yang dilakukan Dewi Rukmini. "Gusti Ratu memang luar biasa. Pandai menyesuaikan gerak dengan musik. Di sini belum ada penari yang bisa melakukan gerakan mandiri seperti itu. Andaikan Gusti Ratu berkenan bertahan beberapa waktu lagi di desa kami, akan saya minta bantuannya untuk mengajari menari para gadis di desa kami. Agar kesenian daerah seperti ini tidak pupus oleh waktu dan masa." Ki Lurah Rekso berujar dengan pandangan mata yang tak lepas dari geraka
Read more

Bab 44. Kesetiaan Tak Terucap

Kabut masih tebal menggayut saat kuda-kuda milik Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo menderap memecah hening di pagi buta itu. Tak ada kata yang terucap, karena waktu yang harus diburu cepat. Perjalanan mereka yang semula hendak singgah di desa Tasik Anyar, akhirnya terlewati karena telah meluangkan waktu singgah di desa Segoro Biru. Dan perjalanan mereka masih diliputi oleh aroma air laut yang berbau menyengat dan iringan debur ombak yang sesekali terdengar menghentak keras. Membentur karang hitam yang tersebar di tepian pantai. Hingga tengah hari, ketiga insan itu masih tetap duduk di atas kuda tunggangannya masing-masing. Nafas mereka mulai terdengar keras. Terengah-engah karena panas yang mulai menerik menggigit kulit. Dewi Rukmini yang berada di posisi paling depan saat itu, mengangkat tangan dan memperlambat laju kuda Jalu, dengan menarik tali kekangnya kuat-kuat. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat yang kini berada di samping Dewi Rukmin
Read more

Bab 45. Desa Karangkitri

Menjelang petang. Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo telah sampai di pintu masuk desa Karangkitri. Desa yang sangat luas dengan lahan pertanian yang sangat subur. Lokasinya berada di kaki bukit, sedikit menanjak hampir memasuki wilayah lereng. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara orang-orang yang tengah berlatih ilmu kanuragan. Suara teriakan dan hentakan kaki begitu ramai terdengar. Tiba-tiba Dewi Rukmini berhenti. Ada rasa gamang ketika hendak melanjutkan langkah. Terlihat perguruan yang dipimpin oleh Ki Guru Saloka ini sangat besar dan begitu berpengaruh. "Kenapa berhenti, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Tangannya memegang tali kendali kuda Jalu, dan menuntunnya agar maju. Meski perlahan. "Apakah saya pantas menjadi murid di sini?" tanya Dewi Rukmini ragu-ragu. Pangeran Gagat tertawa lepas. "Setiap orang pantas menjadi nurid di sini. Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan belajar. Ayo, Nimas Ayu.
Read more

Bab 46. Kecemburuan Tertahan

"Sudah lama aku tidak melihatmu, Nimas Ayu," sapa Pangeran Gagat sore itu, ketika melihat Dewi Rukmini sendirian berlatih di atas sebuah batu besar, di samping air terjun. Dewi Rukmini hanya menoleh sekilas, tapi tidak menjawab sepatah katapun. Dia tetap meneruskan latihannya tanpa mengindahkan kehadiran dan pertanyaan Pangeran Gagat. Dahi Pangeran Gagat seketika membentuk kerutan-kerutan dalam. Dia paham bahwa Dewi Rukmini tengah menyimpan amarah dalam hatinya, tapi Pangeran Gagat tidak mengetahui penyebabnya. Sebulan berada di padepokan Songgo Langit, membuat banyak perubahan dalam diri Dewi Rukmini. Dia menjadi jauh lebih pendiam. Bahkan terhadap Ki Guru Saloka pun, dia tidak banyak bicara. Hanya mengeluarkan suara jika Sang Guru bertanya. Dan hal ini dikeluhkan Ki Guru Saloka pada Pangeran Gagat. Karena komunikasi batin dengan Dewi Rukmini menjadi sangat terhambat. "Gusti Ratu mengalami banyak kemajuan dalam latihannya. Dia memiliki kemampuan yang l
Read more

Bab 47. Kelalaian Pangeran Gagat

Dewi Rukmini tersenyum masam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Ki Guru Saloka. Putri ayu itu membutuhkan waktu beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawabnya secara diplomatis. "Tidak ada yang perlu saya pertimbangkan dan tidak perlu ada yang haeus saya putuskan, Ki Guru. Biarkan angin yang akan mengantarkan jalan hidup saya." Dewi Rukmini menjawab lirih. "Apakah tidak ada sedikit pun keinginan dalam hatimu untuk melawan keadaan?" Ki Guru Saloka menatap lekat wajah murid istimewanya itu. Dewi Rukmini menggelengkan kepala. "Tidak, Ki Guru. Saya telah terdidik menjadi pribadi yang tuhu. Bekti pada setiap tatanan yang sudah diatur oleh istana. Saya tidak boleh melawan tatanan, karena nanti akan mengakibatkan kehidupan pemerintahan menjadi carut marut. Akan mengakibatkan kesengsaraan buat rakyat," jawab Dewi Rukmini pelan. Ki Guru Saloka mengambil tempat di depan Dewi Rukmini. Duduk bersila menghadap ke barat. Diikuti pula oleh Dewi Rukmin
Read more

Bab 48. Dalam Gua Pertapaan

Pangeran Gagat mengitari setiap sudut dalam gua itu dan masih tetap tidak menemukan Dewi Rukmini. Berulang kali dia mendesah. Hingga akhirnya dia menyerah dan keluar dari gua. Tidak dipedulikannya teriakan kelima putri Dimar yang memanggil-manggil namanya. Pangeran Gagat berjalan memasuki hutan kecil yang ada di samping gua, menyusuri jalan setapaknya, dan kembali ke padepokan Songgo Langit. Kembali berlatih, bergabung bersama teman-temannya. Sementara itu kelima putri Dimar bagaikan ayam yang kehilangan indunya. Mereka celingukan tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Hingga saat petang terus bergulir dan sebagian langit sudah mulai berwarna kehitaman. "Apa yang kalian lakukan di sini? Cepat kembali ke padepokan!" perintah Ki Tirta yang tiba-tiba saja muncul di hadapan kelima putri itu. "Baik, Ki," jawab Putri Padmarini, mewakili adik-adiknya. Kelima putri Dimar itu lantas berjalan lunglai kembali ke padepokan. Dengan wajah muram dan bibir manyun. Selama 40 h
Read more

Bab 49. Lima Putri yang Nakal

"Ki Tirta, sudah selesai. Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Ki Guru Saloka pada Ki Tirta yang terlihat mulai gelisah. Sontak Ki Tirta membuka matanya dan melihat Ki Guru Saloka yang sudah turun dari batu pertapaannya. Dilihatnya sebuah tombak keemasan dengan hiasan berupa lilitan ular yang juga berwarna keemasan terdapat di sepanjang tombak itu. Sinar memancar begitu terang dari pangkal tombak emas tersebut. Tombak emas itu dipegang Ki Guru Saloka dengan gagahnya. Sembari pandangannya lekat mengarah pada Dewi Rukmini yang tetap duduk bersila di atas batu besar datar itu dengan sejuta tatap kekaguman. "Ternyata muridku ini bukan murid sembarangan," gumam Ki Guru Saloka. "Tombak ini berasal dari mana, Ki Guru?" tanya Ki Tirta. Tangannya mengelus badan tombak itu penuh kekaguman. "Saya belum pernah melihat tombak seindah ini." Ki Guru Saloka terkekeh melihat tingkah Ki Tirta. "Tombak ini keluar dari hati emas Dewi Rukmini," jawab Ki Guru Saloka. "Cobalah
Read more

Bab 50. Dapur Mbok Darmi

Ki Tirta dan teman-temannya memaksa kelima putri dari Kerajaan Dimar itu untuk masuk ke dalam ruang dapur padepokan. Ruangan yang sangat luas, dengan aroma asap yang sangat menyengat. Mbok Darmi, Sang Juru Masak padepokan melihat kelima putri yang dibawa paksa masuk ke ruang dapur itu dengan tatapan heran. Begitu pula dengan kelima anak buahnya. "Kenapa mereka, Kang?" tanya Mbok Darmi. Tangannya berhenti sejenak dari gerakannya mengulek aneka bahan bumbu yang diletakkan dalam sebuah cobek batu besar. Sudah tengah malam, tapi Mbok Darmi dan anak buahnya belum juga berhenti bekerja. Dan hal itu terlihat bagai sesuatu yang sangat mengerikan bagi kelima putri dari Kerajaan Dimar itu. "Nitip mereka selama 40 hari ya Mbok. Perintah dari Ki Guru seperti itu. Ajari mereka memasak dan membersihkan dapur. Mbok Darmi menyeringai lebar. "Wah, lumayan, Kang Tirta. Saya memiliki mainan baru," ujar Mbok Darmi sambil tertawa keras. "Nikmati saja, Mbok," seru Ki Tirta yang
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status