Dewi Rukmini menari dengan begitu gemulai. Tarian itu hasil olah ciptanya sendiri, di mana setiap gerakannya dia sesuaikan dengan tempo dan irama dari musik gamelan yang berada di belakangnya. Terkadang gerakannya begitu cepat, melompat ke sana kemari, tapi terladang juga begitu pelan dan bergerak dengan beringsut perlahan. Para warga yang tengah membuat hiasan sesaji untuk dilarung esok hari, tak bisa lagi memusatkan perhatian pada kesibukannya. Karena mata mereka seluruhnya tertuju pada setiap gerakan tarian yang dilakukan Dewi Rukmini. "Gusti Ratu memang luar biasa. Pandai menyesuaikan gerak dengan musik. Di sini belum ada penari yang bisa melakukan gerakan mandiri seperti itu. Andaikan Gusti Ratu berkenan bertahan beberapa waktu lagi di desa kami, akan saya minta bantuannya untuk mengajari menari para gadis di desa kami. Agar kesenian daerah seperti ini tidak pupus oleh waktu dan masa." Ki Lurah Rekso berujar dengan pandangan mata yang tak lepas dari geraka
Kabut masih tebal menggayut saat kuda-kuda milik Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo menderap memecah hening di pagi buta itu. Tak ada kata yang terucap, karena waktu yang harus diburu cepat. Perjalanan mereka yang semula hendak singgah di desa Tasik Anyar, akhirnya terlewati karena telah meluangkan waktu singgah di desa Segoro Biru. Dan perjalanan mereka masih diliputi oleh aroma air laut yang berbau menyengat dan iringan debur ombak yang sesekali terdengar menghentak keras. Membentur karang hitam yang tersebar di tepian pantai. Hingga tengah hari, ketiga insan itu masih tetap duduk di atas kuda tunggangannya masing-masing. Nafas mereka mulai terdengar keras. Terengah-engah karena panas yang mulai menerik menggigit kulit. Dewi Rukmini yang berada di posisi paling depan saat itu, mengangkat tangan dan memperlambat laju kuda Jalu, dengan menarik tali kekangnya kuat-kuat. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat yang kini berada di samping Dewi Rukmin
Menjelang petang. Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo telah sampai di pintu masuk desa Karangkitri. Desa yang sangat luas dengan lahan pertanian yang sangat subur. Lokasinya berada di kaki bukit, sedikit menanjak hampir memasuki wilayah lereng. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara orang-orang yang tengah berlatih ilmu kanuragan. Suara teriakan dan hentakan kaki begitu ramai terdengar. Tiba-tiba Dewi Rukmini berhenti. Ada rasa gamang ketika hendak melanjutkan langkah. Terlihat perguruan yang dipimpin oleh Ki Guru Saloka ini sangat besar dan begitu berpengaruh. "Kenapa berhenti, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Tangannya memegang tali kendali kuda Jalu, dan menuntunnya agar maju. Meski perlahan. "Apakah saya pantas menjadi murid di sini?" tanya Dewi Rukmini ragu-ragu. Pangeran Gagat tertawa lepas. "Setiap orang pantas menjadi nurid di sini. Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan belajar. Ayo, Nimas Ayu.
"Sudah lama aku tidak melihatmu, Nimas Ayu," sapa Pangeran Gagat sore itu, ketika melihat Dewi Rukmini sendirian berlatih di atas sebuah batu besar, di samping air terjun. Dewi Rukmini hanya menoleh sekilas, tapi tidak menjawab sepatah katapun. Dia tetap meneruskan latihannya tanpa mengindahkan kehadiran dan pertanyaan Pangeran Gagat. Dahi Pangeran Gagat seketika membentuk kerutan-kerutan dalam. Dia paham bahwa Dewi Rukmini tengah menyimpan amarah dalam hatinya, tapi Pangeran Gagat tidak mengetahui penyebabnya. Sebulan berada di padepokan Songgo Langit, membuat banyak perubahan dalam diri Dewi Rukmini. Dia menjadi jauh lebih pendiam. Bahkan terhadap Ki Guru Saloka pun, dia tidak banyak bicara. Hanya mengeluarkan suara jika Sang Guru bertanya. Dan hal ini dikeluhkan Ki Guru Saloka pada Pangeran Gagat. Karena komunikasi batin dengan Dewi Rukmini menjadi sangat terhambat. "Gusti Ratu mengalami banyak kemajuan dalam latihannya. Dia memiliki kemampuan yang l
Dewi Rukmini tersenyum masam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Ki Guru Saloka. Putri ayu itu membutuhkan waktu beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawabnya secara diplomatis. "Tidak ada yang perlu saya pertimbangkan dan tidak perlu ada yang haeus saya putuskan, Ki Guru. Biarkan angin yang akan mengantarkan jalan hidup saya." Dewi Rukmini menjawab lirih. "Apakah tidak ada sedikit pun keinginan dalam hatimu untuk melawan keadaan?" Ki Guru Saloka menatap lekat wajah murid istimewanya itu. Dewi Rukmini menggelengkan kepala. "Tidak, Ki Guru. Saya telah terdidik menjadi pribadi yang tuhu. Bekti pada setiap tatanan yang sudah diatur oleh istana. Saya tidak boleh melawan tatanan, karena nanti akan mengakibatkan kehidupan pemerintahan menjadi carut marut. Akan mengakibatkan kesengsaraan buat rakyat," jawab Dewi Rukmini pelan. Ki Guru Saloka mengambil tempat di depan Dewi Rukmini. Duduk bersila menghadap ke barat. Diikuti pula oleh Dewi Rukmin
Pangeran Gagat mengitari setiap sudut dalam gua itu dan masih tetap tidak menemukan Dewi Rukmini. Berulang kali dia mendesah. Hingga akhirnya dia menyerah dan keluar dari gua. Tidak dipedulikannya teriakan kelima putri Dimar yang memanggil-manggil namanya. Pangeran Gagat berjalan memasuki hutan kecil yang ada di samping gua, menyusuri jalan setapaknya, dan kembali ke padepokan Songgo Langit. Kembali berlatih, bergabung bersama teman-temannya. Sementara itu kelima putri Dimar bagaikan ayam yang kehilangan indunya. Mereka celingukan tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Hingga saat petang terus bergulir dan sebagian langit sudah mulai berwarna kehitaman. "Apa yang kalian lakukan di sini? Cepat kembali ke padepokan!" perintah Ki Tirta yang tiba-tiba saja muncul di hadapan kelima putri itu. "Baik, Ki," jawab Putri Padmarini, mewakili adik-adiknya. Kelima putri Dimar itu lantas berjalan lunglai kembali ke padepokan. Dengan wajah muram dan bibir manyun. Selama 40 h
"Ki Tirta, sudah selesai. Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Ki Guru Saloka pada Ki Tirta yang terlihat mulai gelisah. Sontak Ki Tirta membuka matanya dan melihat Ki Guru Saloka yang sudah turun dari batu pertapaannya. Dilihatnya sebuah tombak keemasan dengan hiasan berupa lilitan ular yang juga berwarna keemasan terdapat di sepanjang tombak itu. Sinar memancar begitu terang dari pangkal tombak emas tersebut. Tombak emas itu dipegang Ki Guru Saloka dengan gagahnya. Sembari pandangannya lekat mengarah pada Dewi Rukmini yang tetap duduk bersila di atas batu besar datar itu dengan sejuta tatap kekaguman. "Ternyata muridku ini bukan murid sembarangan," gumam Ki Guru Saloka. "Tombak ini berasal dari mana, Ki Guru?" tanya Ki Tirta. Tangannya mengelus badan tombak itu penuh kekaguman. "Saya belum pernah melihat tombak seindah ini." Ki Guru Saloka terkekeh melihat tingkah Ki Tirta. "Tombak ini keluar dari hati emas Dewi Rukmini," jawab Ki Guru Saloka. "Cobalah
Ki Tirta dan teman-temannya memaksa kelima putri dari Kerajaan Dimar itu untuk masuk ke dalam ruang dapur padepokan. Ruangan yang sangat luas, dengan aroma asap yang sangat menyengat. Mbok Darmi, Sang Juru Masak padepokan melihat kelima putri yang dibawa paksa masuk ke ruang dapur itu dengan tatapan heran. Begitu pula dengan kelima anak buahnya. "Kenapa mereka, Kang?" tanya Mbok Darmi. Tangannya berhenti sejenak dari gerakannya mengulek aneka bahan bumbu yang diletakkan dalam sebuah cobek batu besar. Sudah tengah malam, tapi Mbok Darmi dan anak buahnya belum juga berhenti bekerja. Dan hal itu terlihat bagai sesuatu yang sangat mengerikan bagi kelima putri dari Kerajaan Dimar itu. "Nitip mereka selama 40 hari ya Mbok. Perintah dari Ki Guru seperti itu. Ajari mereka memasak dan membersihkan dapur. Mbok Darmi menyeringai lebar. "Wah, lumayan, Kang Tirta. Saya memiliki mainan baru," ujar Mbok Darmi sambil tertawa keras. "Nikmati saja, Mbok," seru Ki Tirta yang
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada