Menjelang petang. Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo telah sampai di pintu masuk desa Karangkitri. Desa yang sangat luas dengan lahan pertanian yang sangat subur. Lokasinya berada di kaki bukit, sedikit menanjak hampir memasuki wilayah lereng. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara orang-orang yang tengah berlatih ilmu kanuragan. Suara teriakan dan hentakan kaki begitu ramai terdengar. Tiba-tiba Dewi Rukmini berhenti. Ada rasa gamang ketika hendak melanjutkan langkah. Terlihat perguruan yang dipimpin oleh Ki Guru Saloka ini sangat besar dan begitu berpengaruh. "Kenapa berhenti, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Tangannya memegang tali kendali kuda Jalu, dan menuntunnya agar maju. Meski perlahan. "Apakah saya pantas menjadi murid di sini?" tanya Dewi Rukmini ragu-ragu. Pangeran Gagat tertawa lepas. "Setiap orang pantas menjadi nurid di sini. Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan belajar. Ayo, Nimas Ayu.
"Sudah lama aku tidak melihatmu, Nimas Ayu," sapa Pangeran Gagat sore itu, ketika melihat Dewi Rukmini sendirian berlatih di atas sebuah batu besar, di samping air terjun. Dewi Rukmini hanya menoleh sekilas, tapi tidak menjawab sepatah katapun. Dia tetap meneruskan latihannya tanpa mengindahkan kehadiran dan pertanyaan Pangeran Gagat. Dahi Pangeran Gagat seketika membentuk kerutan-kerutan dalam. Dia paham bahwa Dewi Rukmini tengah menyimpan amarah dalam hatinya, tapi Pangeran Gagat tidak mengetahui penyebabnya. Sebulan berada di padepokan Songgo Langit, membuat banyak perubahan dalam diri Dewi Rukmini. Dia menjadi jauh lebih pendiam. Bahkan terhadap Ki Guru Saloka pun, dia tidak banyak bicara. Hanya mengeluarkan suara jika Sang Guru bertanya. Dan hal ini dikeluhkan Ki Guru Saloka pada Pangeran Gagat. Karena komunikasi batin dengan Dewi Rukmini menjadi sangat terhambat. "Gusti Ratu mengalami banyak kemajuan dalam latihannya. Dia memiliki kemampuan yang l
Dewi Rukmini tersenyum masam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Ki Guru Saloka. Putri ayu itu membutuhkan waktu beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawabnya secara diplomatis. "Tidak ada yang perlu saya pertimbangkan dan tidak perlu ada yang haeus saya putuskan, Ki Guru. Biarkan angin yang akan mengantarkan jalan hidup saya." Dewi Rukmini menjawab lirih. "Apakah tidak ada sedikit pun keinginan dalam hatimu untuk melawan keadaan?" Ki Guru Saloka menatap lekat wajah murid istimewanya itu. Dewi Rukmini menggelengkan kepala. "Tidak, Ki Guru. Saya telah terdidik menjadi pribadi yang tuhu. Bekti pada setiap tatanan yang sudah diatur oleh istana. Saya tidak boleh melawan tatanan, karena nanti akan mengakibatkan kehidupan pemerintahan menjadi carut marut. Akan mengakibatkan kesengsaraan buat rakyat," jawab Dewi Rukmini pelan. Ki Guru Saloka mengambil tempat di depan Dewi Rukmini. Duduk bersila menghadap ke barat. Diikuti pula oleh Dewi Rukmin
Pangeran Gagat mengitari setiap sudut dalam gua itu dan masih tetap tidak menemukan Dewi Rukmini. Berulang kali dia mendesah. Hingga akhirnya dia menyerah dan keluar dari gua. Tidak dipedulikannya teriakan kelima putri Dimar yang memanggil-manggil namanya. Pangeran Gagat berjalan memasuki hutan kecil yang ada di samping gua, menyusuri jalan setapaknya, dan kembali ke padepokan Songgo Langit. Kembali berlatih, bergabung bersama teman-temannya. Sementara itu kelima putri Dimar bagaikan ayam yang kehilangan indunya. Mereka celingukan tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Hingga saat petang terus bergulir dan sebagian langit sudah mulai berwarna kehitaman. "Apa yang kalian lakukan di sini? Cepat kembali ke padepokan!" perintah Ki Tirta yang tiba-tiba saja muncul di hadapan kelima putri itu. "Baik, Ki," jawab Putri Padmarini, mewakili adik-adiknya. Kelima putri Dimar itu lantas berjalan lunglai kembali ke padepokan. Dengan wajah muram dan bibir manyun. Selama 40 h
"Ki Tirta, sudah selesai. Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Ki Guru Saloka pada Ki Tirta yang terlihat mulai gelisah. Sontak Ki Tirta membuka matanya dan melihat Ki Guru Saloka yang sudah turun dari batu pertapaannya. Dilihatnya sebuah tombak keemasan dengan hiasan berupa lilitan ular yang juga berwarna keemasan terdapat di sepanjang tombak itu. Sinar memancar begitu terang dari pangkal tombak emas tersebut. Tombak emas itu dipegang Ki Guru Saloka dengan gagahnya. Sembari pandangannya lekat mengarah pada Dewi Rukmini yang tetap duduk bersila di atas batu besar datar itu dengan sejuta tatap kekaguman. "Ternyata muridku ini bukan murid sembarangan," gumam Ki Guru Saloka. "Tombak ini berasal dari mana, Ki Guru?" tanya Ki Tirta. Tangannya mengelus badan tombak itu penuh kekaguman. "Saya belum pernah melihat tombak seindah ini." Ki Guru Saloka terkekeh melihat tingkah Ki Tirta. "Tombak ini keluar dari hati emas Dewi Rukmini," jawab Ki Guru Saloka. "Cobalah
Ki Tirta dan teman-temannya memaksa kelima putri dari Kerajaan Dimar itu untuk masuk ke dalam ruang dapur padepokan. Ruangan yang sangat luas, dengan aroma asap yang sangat menyengat. Mbok Darmi, Sang Juru Masak padepokan melihat kelima putri yang dibawa paksa masuk ke ruang dapur itu dengan tatapan heran. Begitu pula dengan kelima anak buahnya. "Kenapa mereka, Kang?" tanya Mbok Darmi. Tangannya berhenti sejenak dari gerakannya mengulek aneka bahan bumbu yang diletakkan dalam sebuah cobek batu besar. Sudah tengah malam, tapi Mbok Darmi dan anak buahnya belum juga berhenti bekerja. Dan hal itu terlihat bagai sesuatu yang sangat mengerikan bagi kelima putri dari Kerajaan Dimar itu. "Nitip mereka selama 40 hari ya Mbok. Perintah dari Ki Guru seperti itu. Ajari mereka memasak dan membersihkan dapur. Mbok Darmi menyeringai lebar. "Wah, lumayan, Kang Tirta. Saya memiliki mainan baru," ujar Mbok Darmi sambil tertawa keras. "Nikmati saja, Mbok," seru Ki Tirta yang
Bertiga mereka berjalan beriringan. Mbok Darmi, Srondok, dan Putri Padmarini. Memecah kegelapan malam dengan menggunakan obor. Nyala api obor melenggak lenggok macam pinggul penari tayub. Sedikit waktu melewati tengah malam. Suasana sangat sepi. Hanya suara gesekan dedaunan dan rerantingan yang membelai pendengaran. Berulang kali Putri Padmarini menengok ke belakang, karena merasa ada yang membuntutinya. Dia tidak mengetahui bahwa sukma Dewi Rukmini yang tengah mengekorinya. Suara air terjun yang mengguyur keras dari atas tebing terdengar bagai tetabuhan musik malam yang tak bertempo. Diseling dengan percikan air yang membasahi alam di sekitarnya. "Hati-hati kalian melangkah. Licin sekali tanah di sini," ujar Mbok Darmi lirih, memperingatkan Srondok dan Putri Padmarini. Meskipun suara Mbok Darmi sudah berada dalam volume terkecil, tapi gaungnya masih tetap terdengar. Bertiga mereka memasuki gua yang gelap dan lembab itu. Mbok Darmi mengarahkan nyala ob
Kelima putri keraton dsri Kerajaan Dimar itu tengah berkumpul di atas amben. Melakukan aneka kegiatan memasak yang semula wnggan mereka lakukan. Mengupas bumbu-bumbu, memetiki dedaunan, dan mengiris banyak jantung pisang. Semua mereka lakukan di atas amben. Sementara itu Nawang, Srondok, Trimbil, Wening, dan Srining berpencar dalam berbagai sudut ruang dapur. Srondok dan Trimbil tengah merebus irisan jantung pisang, Nawang dan Wening memarut kelapa, serta Srining mengaduk santan kental. "Ini gula merahnya sudah jadi, Mbil. Kamu letakkan di lemari bumbon sana," perintah Mbok Darmi seraya mengulurkan tenggok besar berisi gula merah berbentuk bulat. "Siapa kali ini yang membuat gula merahnya, Mbok? Kok bentuk dan warnanya bagus. Tidak seperti kemarin. Bentuk bulatnya kemarin itu kurang rapi." Trimbil mengambil satu bongkahan gula merah yang ada dalam tenggok dan melihatnya dengan seksama. "Walah, Nduk. Aku ya gak ngerti siapa yang bikin kemarin. Tahunya kan s