"Siapa itu tadi, Ki Tirta?" tanya Putri Sekar Galih yang seketika melompat turun dari amben begitu sang pemilik suara lembut itu masuk ke dalam kamar mandi. "Ya itu tadi yang aaya ceritakan, Gusti Putri. Patih ... ah, saya lupa lagi," keluh Ki Tirta. "Dimas Bagus Penggalih," sahut Dewi Sekar. Mata Mbok Darmi dan Ki Tirta seketika membelalak. Lantas mereka berdua saling pandang dan tertawa tergelak. "Kalau nama lelaki tampan saja langsung ingat. Tapi coba kalau disuruh mengingat ajaran-ajaran yang diberikan Ki Guru, mana ingat?" ledek Mbok Darmi. Dewi Sekar mencebik. "Coba saja Ki Guru penampilannya macam Patih Dimas Bagus Penggalih, pasti saya akan cepat mengingat ajaran-ajaran yang diberikan," ujar Dewi Sekar seraya mengerling ke arah Putri Sekar Galih yang kini berdiri di samping Ki Tirta. "Ssstt, jangan berisik. Patih Dimas sudah keluar dari kamar mandi," seru Putri Padmarini. Sontak Putri Sekar Galih dan Dewi Sekar memasang sikap s
Ditemani oleh Ki Guru Saloka, Pangeran Gagat, dan Ki Tirta, Patih dua Dimas Bagus Penggalih dan Senopati Satria Cakra berjalan menuju ke gua tempat pertapaan Dewi Rukmini. Ki Tirta membawa piranti sesaji untuk diletakkan di depan Dewi Rukmini. Hari mulai beranjak gelap saat itu. Sepanjang perjalanan menuju ke gua, Patih dua Dimas Bagus Penggalih sama sekali tidak mengeluarkan kata sepatah pun. Hanya Senopati Satria Cakra yang lebih sering berbincang dengan Ki Guru Saloka dsn Pangeran Gagat. "Bagaimana perkembangan Gusti Ratu Dewi Rukmini selama menimba ilmu di sini, Ki Guru?" tanya Senopati Satria Cakra. "Dia murid istimewa saya, Gusti Senopati. Dua bulan berguru di sini, sudah sejajar dengan yang menimba ilmu selama dua tahun. Keseriusan dan kelapangan hati Gusti Ratu Dewi Rukmini menjadi modal utama cepatnya dia menyerap ilmu. Hampir mirip sifatnya dengan Ibunda Ratu Dyah Gayatri." Ki Guru Saloka menceritakan perkembangan Dewi Rukmini dengan penuh kekaguman.
Ki Guru Saloka berdiri di hadapan Dewi Rukmini. Diam sejenak sembari berkomat kamit mengucapkan do'a. Lantas sedikit membungkukkan badan sebagai sikap takdzim pada Sang Ratu Dewi Rukmini. Perlahan Dewi Rukmini turun dari batu besar datar yang menjadi singgasana pertapaannya selama 40 hari ini. Aura terang memancar makin berkilau dari wajahnya. Tak beraps lama kemudian disusul oleh Patih dua Dimas Bagus Penggalih, yang duduk di atas batu yang berada di samping Dewi Rukmini. "Terima kasih sudah menemani, Kangmas Patih," ujar Dewi Rukmini santun. "Sepertinya kita perlu berbicara mengenai pesan yang disampaikan oleh Gusti Romo Prabu Arya Pamenang." "Kalau begitu, mari kita sekarang ke pendopo," ajak Ki Guru Saloka. Di hadapan Ki Guru Saloka, Patih dua Dimas Bagus Penggalih, Senopati Satria Cakra, dan Ki Tirta, Dewi Rukmini mencabut tombak emas yang menancap lebih kurang jarak sedepa dari batu tempatnya bersemedi. Begitu mudahnya tombak itu dicabut oleh
Selesai sudah masa pertapaan Dewi Rukmini. Dia kini kembali harus berlatih dengan keras. Tanggung jawab memimpin sebuah kerajaan, bukanlah tanggung jawab yang mudah. Dewi Rukmini kini telah mengalami peningkatan secara batiniah. Lebih bisa bersabar, lebih bisa ikhlas, dan mulai bisa menafikan segala keinginan duniawi. Pembersihan jiwa dari segala keangkaramurkaan nafsu manusiawi, bisa dia jalani dengan hampir mendekati kesempurnaan. "Boleh saya membantu di sini, Mbok Darmi?" tanya Dewi Rukmini pada wanita tua, penguasa wilayah dapur padepokan. "Tentu saja, Gusti Ratu. Silakan panjenengan pilih sendiri, pekerjaan mana yang panjenengan kehendaki." Mbok Darmi merentangkan tangannya, menunjuk ke arah Nawang, Wening, Trimbil, Srondok, dan Srining. Dewi Rukmini tersenyum dan menatap satu persatu kelima anak buah Mbok Darmi. Dewi Rukmini memilih pekerjaan mana yang membutuhkan bantuan cepat. "Saya membantu Srining saja ya Mbok. Menguliti buah kelapa," ujar Dewi
"Apa yang terjadi dengan desa Kemuning, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Sore itu dia gagal mendapatkan bunga melati dalam jumlah yang banyak. Karena Srining dan Wening terus memaksanya untuk pulang. Sementara bunga melati yang tumbuh di dekat air terjun, hanya ada sedikit. "Sebenarnya itu bukan desa, Gusti Ratu. Hanya sebuah pedukuhan kecil yang masuk satu desa dengan padepokan ini. Sudah lama pedukuhan itu kosong. Kalau tidak salah sudah 20 tahun tidak berpenghuni." Dahi Ki Guru Saloka mengernyit. Sepertinya dia tengah mengurai bermacam peristiwa yang terjadi 20 tahun yang lalu. "Mengapa pedukuhan itu menjsdi kosong, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. "Malam itu, tepat ketika waktu sudah di tengah malam, tiba-tiba seluruh penduduk kesulitan bernafas. Hanya ada 10 orang yang bisa selamat. Dalam kondisi lemas karena terjatuh, kesepuluh orang itu berjalan merangkak hingga keluar pedukuhan. Hingga tiba di pedukuhan Karanganyar tempat padepokan ini. Dan sepuluh orang yang s
Suara gementang gamelan mulai berbunyi sesuai arahan Ki Guru Saloka. Pada awalnya gamelan itu bertempo lambat dan bermain di oktaf yang rendah. Namun, lama kelamaan temponya mulai berjalan cepat ditingkahi nada-nada tinggi. "Siapa sebenarnya yang menanam pohon melati di sana, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Dia menoleh cepat ke arah para niyaga ketika musik yang dimainkan tiba-tiba menghentak keras. "Kenapa mereka bermain gamelan begitu bersemangat?" gumam Dewi Rukmini. "Tidak pernah ada yang tahu, siapa yang menanam pohon-pohon melati di sana. Tanaman melati itu ada, lebih kurang satu tahun setelah kejadian gas beracun itu. Awalnya, Cempluk, anak Mbok Darmi datang dari suatu tempat, katanya bermain. Dengan membawa banyak sekali bunga melati yang diletakkannya dalam tenggok kecil. Dia minta Mbok Darmi untuk merangkai bunga-bunga melati itu menjadi kalung. Mbok Darmi menuruti permintaannya Dan begitulah, begitu kalung itu jadi dan dipakai oleh Cempluk, dia meminta para niy
"Siapa kira-kira itu, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Ki Guru Saloka tidak menjawab. Dia masih melihat ke arah Putri Lintang Asih yang masih duduk seraya memijit-mijit pelipisnya. Ki Guru Saloka memutuskan untuk menghentikan pentas tarian itu. Dan pentas dilanjutkan dengan acara campur sari.Kelima putri keraton dari Kerajaan Dimar itu berkumpul di sisi samping pendopo. Wajah mereka terlihat ketakutan. Sedikit pucat. Berulang kali mereka memeluk Putri Lintang Asih dan memberikan support. Karena Putri Lintang Asih terlihat shock dengan apa yang baru dialaminya."Apakah mungkin kelima penari yang membayangi kelima putri keraton Kerajaan Dimar itu adalah para penari dari desa Kemuning?" tanya Dewi Rukmini pada Ki Guru Saloka. Ki Guru Saloka mengernyitkan dahi. "Bisa jadi, Gusti Ratu. Saya memang pernah mendengar cerita tentang lima penari bersaudara yang meninggal dalam kejadian di desa Kemuning itu. Tapi selama ini belum pernah ada kejadian mereka datang saat kita mengadakan pentas kese
Derap kuda membelah kabut pagi yang menyelimuti tanah Sanggabumi. Lima puluh pasukan berkuda, yang mengenakan penutup wajah dan berpakaian serba putih, bergerak makin dekat ke arah Kerajaan Sanggabumi. Lebih kurang lima kilometer sebelum mencapai istana, Dewi Rukmini, pimpinan pasukan bertopeng itu menghentikan gerak laju pasukannya. "Ada apa, Gusti Ratu?" tanya Ki Tirta. "Saya harus memperkirakan kekuatan lawan dulu, Ki Tirta. Dan nampaknya kita harus berpencar di lima titik. Dan penyerangan itu kita lakukan langsung dari atas tembok pagar istana. Semua harus dilakukan dalam gerak cepat. Kita harus menggunakan ilmu bayu segoro seperti yang pernah diajarkan Ki Guru Saloka," ujar Dewi Rukmini. "Siap, Gusti Ratu." Ki Tirta mengangguk mantap. "Baiklah. semua siap?" teriak Dewi Rukmini. Serempak kelima puluh prajurit menjawab, "Siaaaap!" "Seraaaaang!" Teriakan Dewi Rukmini itu membahana seperti genta yang ditabuh dengan keras. Dalam gerap
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada