Ki Guru Saloka berdiri di hadapan Dewi Rukmini. Diam sejenak sembari berkomat kamit mengucapkan do'a. Lantas sedikit membungkukkan badan sebagai sikap takdzim pada Sang Ratu Dewi Rukmini. Perlahan Dewi Rukmini turun dari batu besar datar yang menjadi singgasana pertapaannya selama 40 hari ini. Aura terang memancar makin berkilau dari wajahnya. Tak beraps lama kemudian disusul oleh Patih dua Dimas Bagus Penggalih, yang duduk di atas batu yang berada di samping Dewi Rukmini. "Terima kasih sudah menemani, Kangmas Patih," ujar Dewi Rukmini santun. "Sepertinya kita perlu berbicara mengenai pesan yang disampaikan oleh Gusti Romo Prabu Arya Pamenang." "Kalau begitu, mari kita sekarang ke pendopo," ajak Ki Guru Saloka. Di hadapan Ki Guru Saloka, Patih dua Dimas Bagus Penggalih, Senopati Satria Cakra, dan Ki Tirta, Dewi Rukmini mencabut tombak emas yang menancap lebih kurang jarak sedepa dari batu tempatnya bersemedi. Begitu mudahnya tombak itu dicabut oleh
Selesai sudah masa pertapaan Dewi Rukmini. Dia kini kembali harus berlatih dengan keras. Tanggung jawab memimpin sebuah kerajaan, bukanlah tanggung jawab yang mudah. Dewi Rukmini kini telah mengalami peningkatan secara batiniah. Lebih bisa bersabar, lebih bisa ikhlas, dan mulai bisa menafikan segala keinginan duniawi. Pembersihan jiwa dari segala keangkaramurkaan nafsu manusiawi, bisa dia jalani dengan hampir mendekati kesempurnaan. "Boleh saya membantu di sini, Mbok Darmi?" tanya Dewi Rukmini pada wanita tua, penguasa wilayah dapur padepokan. "Tentu saja, Gusti Ratu. Silakan panjenengan pilih sendiri, pekerjaan mana yang panjenengan kehendaki." Mbok Darmi merentangkan tangannya, menunjuk ke arah Nawang, Wening, Trimbil, Srondok, dan Srining. Dewi Rukmini tersenyum dan menatap satu persatu kelima anak buah Mbok Darmi. Dewi Rukmini memilih pekerjaan mana yang membutuhkan bantuan cepat. "Saya membantu Srining saja ya Mbok. Menguliti buah kelapa," ujar Dewi
"Apa yang terjadi dengan desa Kemuning, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Sore itu dia gagal mendapatkan bunga melati dalam jumlah yang banyak. Karena Srining dan Wening terus memaksanya untuk pulang. Sementara bunga melati yang tumbuh di dekat air terjun, hanya ada sedikit. "Sebenarnya itu bukan desa, Gusti Ratu. Hanya sebuah pedukuhan kecil yang masuk satu desa dengan padepokan ini. Sudah lama pedukuhan itu kosong. Kalau tidak salah sudah 20 tahun tidak berpenghuni." Dahi Ki Guru Saloka mengernyit. Sepertinya dia tengah mengurai bermacam peristiwa yang terjadi 20 tahun yang lalu. "Mengapa pedukuhan itu menjsdi kosong, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. "Malam itu, tepat ketika waktu sudah di tengah malam, tiba-tiba seluruh penduduk kesulitan bernafas. Hanya ada 10 orang yang bisa selamat. Dalam kondisi lemas karena terjatuh, kesepuluh orang itu berjalan merangkak hingga keluar pedukuhan. Hingga tiba di pedukuhan Karanganyar tempat padepokan ini. Dan sepuluh orang yang s
Suara gementang gamelan mulai berbunyi sesuai arahan Ki Guru Saloka. Pada awalnya gamelan itu bertempo lambat dan bermain di oktaf yang rendah. Namun, lama kelamaan temponya mulai berjalan cepat ditingkahi nada-nada tinggi. "Siapa sebenarnya yang menanam pohon melati di sana, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Dia menoleh cepat ke arah para niyaga ketika musik yang dimainkan tiba-tiba menghentak keras. "Kenapa mereka bermain gamelan begitu bersemangat?" gumam Dewi Rukmini. "Tidak pernah ada yang tahu, siapa yang menanam pohon-pohon melati di sana. Tanaman melati itu ada, lebih kurang satu tahun setelah kejadian gas beracun itu. Awalnya, Cempluk, anak Mbok Darmi datang dari suatu tempat, katanya bermain. Dengan membawa banyak sekali bunga melati yang diletakkannya dalam tenggok kecil. Dia minta Mbok Darmi untuk merangkai bunga-bunga melati itu menjadi kalung. Mbok Darmi menuruti permintaannya Dan begitulah, begitu kalung itu jadi dan dipakai oleh Cempluk, dia meminta para niy
"Siapa kira-kira itu, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Ki Guru Saloka tidak menjawab. Dia masih melihat ke arah Putri Lintang Asih yang masih duduk seraya memijit-mijit pelipisnya. Ki Guru Saloka memutuskan untuk menghentikan pentas tarian itu. Dan pentas dilanjutkan dengan acara campur sari.Kelima putri keraton dari Kerajaan Dimar itu berkumpul di sisi samping pendopo. Wajah mereka terlihat ketakutan. Sedikit pucat. Berulang kali mereka memeluk Putri Lintang Asih dan memberikan support. Karena Putri Lintang Asih terlihat shock dengan apa yang baru dialaminya."Apakah mungkin kelima penari yang membayangi kelima putri keraton Kerajaan Dimar itu adalah para penari dari desa Kemuning?" tanya Dewi Rukmini pada Ki Guru Saloka. Ki Guru Saloka mengernyitkan dahi. "Bisa jadi, Gusti Ratu. Saya memang pernah mendengar cerita tentang lima penari bersaudara yang meninggal dalam kejadian di desa Kemuning itu. Tapi selama ini belum pernah ada kejadian mereka datang saat kita mengadakan pentas kese
Derap kuda membelah kabut pagi yang menyelimuti tanah Sanggabumi. Lima puluh pasukan berkuda, yang mengenakan penutup wajah dan berpakaian serba putih, bergerak makin dekat ke arah Kerajaan Sanggabumi. Lebih kurang lima kilometer sebelum mencapai istana, Dewi Rukmini, pimpinan pasukan bertopeng itu menghentikan gerak laju pasukannya. "Ada apa, Gusti Ratu?" tanya Ki Tirta. "Saya harus memperkirakan kekuatan lawan dulu, Ki Tirta. Dan nampaknya kita harus berpencar di lima titik. Dan penyerangan itu kita lakukan langsung dari atas tembok pagar istana. Semua harus dilakukan dalam gerak cepat. Kita harus menggunakan ilmu bayu segoro seperti yang pernah diajarkan Ki Guru Saloka," ujar Dewi Rukmini. "Siap, Gusti Ratu." Ki Tirta mengangguk mantap. "Baiklah. semua siap?" teriak Dewi Rukmini. Serempak kelima puluh prajurit menjawab, "Siaaaap!" "Seraaaaang!" Teriakan Dewi Rukmini itu membahana seperti genta yang ditabuh dengan keras. Dalam gerap
Kembali lagi ke Karangkitri ternyata belum mampu menenangkan hati Sang Sekar Kedaton Sanggabumi itu. Dia menjalani pembelajaran di padepokan Songgo Langit itu dengan konsentrasi terpecah. Dan Ki Guru Saloka sangat mengetahui dan memahami hal tersebut. "Apakah kiranya yang menjadi beban pikiran panjenengan, Gusti Ratu? Saya melihat Gusti Ratu sering sekali melamun," tanya Ki Guru Saloka pada suatu sore. Saat itu Ki Guru Saloka tengah mengajarkan beberapa ilmu penting terkaitan serangan-serangan telak untuk menghadapi musuh dan cara menghindarinya. Namun, Dewi Rukmini acap kali lalai menghindar dan lalai melakukan serangan balik. "Betul, Ki Guru. Saya tengah resah memikirkan para prajurit Karangkitri yang belum kembali. Sudah lima purnama. Ini masa yang terlalu lama jika hanya urusan menumpas pemberontakan di Sanggabumi. Perjalanan pun hanya menempuh lima hari tanpa jeda. Apa gerangan yang terjadi di Sanggabumi dan para prajurit Karangkitri yang berada di sana?" Dew
Nafas Dewi tersengal-sengal ketika telah tiba di depan istana Kerajaan Sanggabumi. Menempuh jarak lima hari dengan jeda yang tak terlalu lama, bersama kuda Jalu. Mata Dewi Rukmini berkaca-kaca. Sebagian tembok istana Kerajaan Sanggabumi hampir runtuh. Beberapa pekerja tampak sedang memperbaiki tembok tersebut. Bibir Dewi Rukmini bergetar. Apa yang telah terjadi dengan Sanggabumi? Namun, pintu gerbang istana masih berdiri dengan tegak. Setidaknya kehormatan istana masih terjaga. "Hendak bertemu siapa, Kisanak?" tanya salah satu dari dua pengawal yang bertugas di depan pintu gerbang istana. Dewi Rukmini menatap tajam kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu. Tanpa membuka penutup wajahnya, dia berujar pelan. "Lupakah kalian dengan saya?" tanya Dewi Rukmini. Suara yang khas. Suara yang lembut, tapi penuh kewibawaan. Dan suara indah itu tak akan pernah hilang dari setiap warga istana Kerajaan Sanggabumi. "Hatur sembah bekti dalem, Gusti Ratu,