Nafas Dewi tersengal-sengal ketika telah tiba di depan istana Kerajaan Sanggabumi. Menempuh jarak lima hari dengan jeda yang tak terlalu lama, bersama kuda Jalu. Mata Dewi Rukmini berkaca-kaca. Sebagian tembok istana Kerajaan Sanggabumi hampir runtuh. Beberapa pekerja tampak sedang memperbaiki tembok tersebut. Bibir Dewi Rukmini bergetar. Apa yang telah terjadi dengan Sanggabumi? Namun, pintu gerbang istana masih berdiri dengan tegak. Setidaknya kehormatan istana masih terjaga. "Hendak bertemu siapa, Kisanak?" tanya salah satu dari dua pengawal yang bertugas di depan pintu gerbang istana. Dewi Rukmini menatap tajam kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu. Tanpa membuka penutup wajahnya, dia berujar pelan. "Lupakah kalian dengan saya?" tanya Dewi Rukmini. Suara yang khas. Suara yang lembut, tapi penuh kewibawaan. Dan suara indah itu tak akan pernah hilang dari setiap warga istana Kerajaan Sanggabumi. "Hatur sembah bekti dalem, Gusti Ratu,
"Rukmini!" Suara panggilan itu menghentakkan kesenduan Patih dua Dimas Bagus Penggalih dan Dewi Rukmini. Rupanya Sang Prabu tengah berdiri di depan pintu gerbang istana. "Masuklah kalian ke dalam istana. Kita tidak akan pernah tahu bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu." "Duli, Romo," jawab Dewi Rukmini yang segera bergegas menghampiri Prabu Arya Pamenang. Disusul oleh Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Beruntung rimbunnya pepohonan dan semak belukar menghalangi pandang Prabu Arya Pamenang, hingga tidak mampu seutuhnya melihat kebersamaan Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan Dewi Rukmini. Melihat putri semata wayangnya itu data g mendekat, Prabu Arya Pamenang merentangkan kedua lengannya selebar mungkin. Siap menyambut kedatangan putrinya itu dalam dekapannya yang hangat. "Hampir satu tahun Saka kita tidak bersama, Cah Ayu," ucap Sang Prabu sembari mendekap erat tubuh Dewi Rukmini. "Bukankah saya pergi untuk mencari ilmu, Romo? Bekal saya kelak jika telah me
Mata indah Dewi Rukmini nanar menyapu setiap punggawa istana yang hadir malam itu. Dan sejurus kemudian dia berdiri dan menyuruh seluruh punggawa untuk mendekat. Dia memaparkan keseluruhan strategi yang dia rencanakan dengan menggambarkannya di atas beberapa daun lontar yang telah disambung menjadi selembar kertas besar. Daun-daun lontar memang telah ada dan dipersiapkan di sebuah meja kecil di samping meja besar ruang balairung. Patih satu Diro Menggolo mengernyitkan dahi setelah mendengar semua paparan rencana Sang Ratu. Dia berpikir keras untuk berusaha memahami. Karena strategi ini tidak pernah dipergunakan dalam sistem peperangan di Kerajaan Sanggabumi. "Apakah ada hal yang ingin kamu sampaikan, Paman Patih satu Diro Menggolo?" Dewi Rukmini menangkap kegelisahan yang tergambsr jelas di raut wajah Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menarik nafas panjang. Tangannya mengelus jenggot panjang yang telah hampir memutih seluruhnya. Tatapannya m
Sebagai ratu yang dikenal bijaksana dan peduli terhadap rakyatnya, maka ketika mendengar tentang pemberontakan yang sering dilakukan oleh warga desa Lemah Dhuwur, Dewi Rukmini segera merencanakan sebuah strategi baru untuk mengatasi masalah ini. Dewi Rukmini sengaja memilih Patih tiga Rangga Aditya sebagai pendampingnya karena sesuai dengan tugasnya sebagai patih yang menangani pengembangan setiap desa yang ada di wilayah Kerajaan Sanggabumi. "Berikan laporanmu tentang masalah yang terjadi di desa Lemah Dhuwur, Kangmas Patih," perintah Dewi Rukmini pagi hari itu sebelum mereka melakukan perjalanan menuju ke desa Sanggabumi. "Kondisi alam yang kurang baik dalam beberapa bulan ini mengakibatkan warga desa Lemah Dhuwur banyak mengalami kelaparan, Gusti Ratu. Kekeringan, gagal panen, dan kemarau panjang yang ditunjang pula oleh bencana alam berupa gempa bumi dan gunung meletus, mengakibatkan desa Lemah Dhuwur seakan tengah ditimpa kutukan. Mereka menganggap ba
Malam itu Dewi Rukmini duduk berbincang dengan Ki Bagas Sakti di bawah suasana malam yang cerah. Saat itu, mereka sedang membicarakan keadaan desa yang akhir-akhir ini mengalami penurunan kesejahteraan. "Ki Bagas Sakti, aku mendengar kabar yang kurang menyenangkan tentang desa ini. Aku harap bisa mendapatkan informasi dari panjenengan. Selama ini setiap bulan, utusan dari desa Lemah Dhuwur selalu rutin mengambil jatah hasil bumi dan sedikit ketip uang untuk pembangunan desa. Tapi mengapa yang saya dengar, kemakmuran di desa Lemah Dhuwur malah makin turun? Siapa saja sebenarnya yang selalu mendapat tugas untuk mengambil jatah bantuan ke istana?" Dewi Rukmini bertanya dengan suara lirih. Hanya mereka berdua yang berbincang di malam itu. Tak ada satu orang pun yang mendampingi. Semua tengah sibuk bercengkerama di pendopo kelurahan sembari menikmati aneka pentas tari dan suguhan yang memabukkan. Ironis. Dewi Rukmini melihat ada ketimpangan dalam kehidupan di desa Lem
Matahari belum lagi membuka hari di pagi itu. Kabut pun baru mulai turun memekati bumi. Dingin menusuk bahkan hingga ke sumsum tulang. Suara langkah kaki kuda rombongan Dewi Rukmini berderap membawa mereka kembali ke Kerajaan Sanggabumi. Dewi Rukmini menuju pulang kembali ke istana dengan harapan baru bahwa keadaan tanah Sanggabumi akan menjadi lebih baik ke depannya nanti. Perjalanan yang hanya memakan waktu lebih kurang dua jam dari desa Lemah Dhuwur ke istana Sanggabumi,membuat perjalanan Dewi Rukmini dan rombongannya terasa cepat berlalu. Dan tepat saat matahari telah muncul, bersamaan dengan turunnya embun pagi hari, rombongan Dewi Rukmini telah tiba kembali di istana. Prajurit pengawal pintu gerbang segera membuka dan meniup sangkakala, sebagai pertanda bahwa penyambutan harus dilakukan karena pimpinan kerajaan telah tiba. Prabu Arya Pamenang yang tengah menikmati kuntum aneka bunga yang mekar di halaman depan istana, tersenyum lebar melihat putri semata wa
Malam selaksa tak bersahabat menemani sang ratu. Dewi Rukmini terpaku dalam kepiluan hati yng teramat dalam. Hatinya yang terbelah seakan menjadi noda bagi setiap harapan dan cita-cita agungnya. Lelaki muda tampan yang sederhana itu masih tetap berdiri mematung di bawah pohon maja. Pohon berbuah besar, hijau, indah, tapi menguarkan aroma dan rasa yang pahit. Dia ingin mendekati sang pujaan hati. Namun, sisi hatinya yang lain menolak. Purnama yang penuh bercak dan tertutup mendung itu tak mampu menerangi tubuh sang patih di bawah kegelapan pohon maja. Hanya menggulirkan sebentuk bayangan yang mengukir panjang hingga tiba di kaki sang ratu. Dewi Rukmini tersenyum. Bayangan panjang itu telah memberitahunya tentang keberadaan sang patih. Kidung sendu yang dilantunkan sang ratu seketika terhenti. Kepala Dewi Rukmini menoleh ke kiri. Melihat ke arah sosok yang terlihat gelap yang ada di bawah pohon maja. Tangannya melambai. Sebuah isyarat perkenan bahwa sang ratu menghendaki kedatangan
"Bagaimana, anakku?" Prabu Arya Pamenang menatap lembut wajah anak gadisnya itu. Berharap dia menemukan jawaban dari sosok yang sangat disayanginya itu.Dewi Rukmini hanya diam menunduk. Tak berani membalas tatapan mata sang ayah. Sambil berucap lirih,"Bagaimana jika aku memilih lelaki selain pilihan Gusti Romo?"Di luar dugaan, Prabu Arya Pamenang tidak menampakkan amarah sama sekali. Dia malah tersenyum seraya mengacak rambut Dewi Rukmini. "Siapa lelaki yang sudah menambat hatimu itu, anakku?""Hanya seorang lelaki biasa, Gusti Romo," ucap sang ratu lirih."Tidak mungkin dia seorang lelaki biasa. Pasti dia adalah seorang lelaki hebat. Karena hanya lelaki hebatlah yang mampu merebut hati anakku." Prabu Arya Pamenang berkata seraya melontarkan sebuah senyuman indah pada Dewi Rukmini. Gadis ayu itu tersipu."Apakah jika saya menolak Pangeran Gagat akan mengakibatkan pertumpahan darah, Gusti Romo? Itu yang saya kuatirkan." Setelah beberapa saat berada dalam pembicaraan bersama, baru saa
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada