Suara gementang gamelan mulai berbunyi sesuai arahan Ki Guru Saloka. Pada awalnya gamelan itu bertempo lambat dan bermain di oktaf yang rendah. Namun, lama kelamaan temponya mulai berjalan cepat ditingkahi nada-nada tinggi. "Siapa sebenarnya yang menanam pohon melati di sana, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Dia menoleh cepat ke arah para niyaga ketika musik yang dimainkan tiba-tiba menghentak keras. "Kenapa mereka bermain gamelan begitu bersemangat?" gumam Dewi Rukmini. "Tidak pernah ada yang tahu, siapa yang menanam pohon-pohon melati di sana. Tanaman melati itu ada, lebih kurang satu tahun setelah kejadian gas beracun itu. Awalnya, Cempluk, anak Mbok Darmi datang dari suatu tempat, katanya bermain. Dengan membawa banyak sekali bunga melati yang diletakkannya dalam tenggok kecil. Dia minta Mbok Darmi untuk merangkai bunga-bunga melati itu menjadi kalung. Mbok Darmi menuruti permintaannya Dan begitulah, begitu kalung itu jadi dan dipakai oleh Cempluk, dia meminta para niy
"Siapa kira-kira itu, Ki Guru?" tanya Dewi Rukmini. Ki Guru Saloka tidak menjawab. Dia masih melihat ke arah Putri Lintang Asih yang masih duduk seraya memijit-mijit pelipisnya. Ki Guru Saloka memutuskan untuk menghentikan pentas tarian itu. Dan pentas dilanjutkan dengan acara campur sari.Kelima putri keraton dari Kerajaan Dimar itu berkumpul di sisi samping pendopo. Wajah mereka terlihat ketakutan. Sedikit pucat. Berulang kali mereka memeluk Putri Lintang Asih dan memberikan support. Karena Putri Lintang Asih terlihat shock dengan apa yang baru dialaminya."Apakah mungkin kelima penari yang membayangi kelima putri keraton Kerajaan Dimar itu adalah para penari dari desa Kemuning?" tanya Dewi Rukmini pada Ki Guru Saloka. Ki Guru Saloka mengernyitkan dahi. "Bisa jadi, Gusti Ratu. Saya memang pernah mendengar cerita tentang lima penari bersaudara yang meninggal dalam kejadian di desa Kemuning itu. Tapi selama ini belum pernah ada kejadian mereka datang saat kita mengadakan pentas kese
Derap kuda membelah kabut pagi yang menyelimuti tanah Sanggabumi. Lima puluh pasukan berkuda, yang mengenakan penutup wajah dan berpakaian serba putih, bergerak makin dekat ke arah Kerajaan Sanggabumi. Lebih kurang lima kilometer sebelum mencapai istana, Dewi Rukmini, pimpinan pasukan bertopeng itu menghentikan gerak laju pasukannya. "Ada apa, Gusti Ratu?" tanya Ki Tirta. "Saya harus memperkirakan kekuatan lawan dulu, Ki Tirta. Dan nampaknya kita harus berpencar di lima titik. Dan penyerangan itu kita lakukan langsung dari atas tembok pagar istana. Semua harus dilakukan dalam gerak cepat. Kita harus menggunakan ilmu bayu segoro seperti yang pernah diajarkan Ki Guru Saloka," ujar Dewi Rukmini. "Siap, Gusti Ratu." Ki Tirta mengangguk mantap. "Baiklah. semua siap?" teriak Dewi Rukmini. Serempak kelima puluh prajurit menjawab, "Siaaaap!" "Seraaaaang!" Teriakan Dewi Rukmini itu membahana seperti genta yang ditabuh dengan keras. Dalam gerap
Kembali lagi ke Karangkitri ternyata belum mampu menenangkan hati Sang Sekar Kedaton Sanggabumi itu. Dia menjalani pembelajaran di padepokan Songgo Langit itu dengan konsentrasi terpecah. Dan Ki Guru Saloka sangat mengetahui dan memahami hal tersebut. "Apakah kiranya yang menjadi beban pikiran panjenengan, Gusti Ratu? Saya melihat Gusti Ratu sering sekali melamun," tanya Ki Guru Saloka pada suatu sore. Saat itu Ki Guru Saloka tengah mengajarkan beberapa ilmu penting terkaitan serangan-serangan telak untuk menghadapi musuh dan cara menghindarinya. Namun, Dewi Rukmini acap kali lalai menghindar dan lalai melakukan serangan balik. "Betul, Ki Guru. Saya tengah resah memikirkan para prajurit Karangkitri yang belum kembali. Sudah lima purnama. Ini masa yang terlalu lama jika hanya urusan menumpas pemberontakan di Sanggabumi. Perjalanan pun hanya menempuh lima hari tanpa jeda. Apa gerangan yang terjadi di Sanggabumi dan para prajurit Karangkitri yang berada di sana?" Dew
Nafas Dewi tersengal-sengal ketika telah tiba di depan istana Kerajaan Sanggabumi. Menempuh jarak lima hari dengan jeda yang tak terlalu lama, bersama kuda Jalu. Mata Dewi Rukmini berkaca-kaca. Sebagian tembok istana Kerajaan Sanggabumi hampir runtuh. Beberapa pekerja tampak sedang memperbaiki tembok tersebut. Bibir Dewi Rukmini bergetar. Apa yang telah terjadi dengan Sanggabumi? Namun, pintu gerbang istana masih berdiri dengan tegak. Setidaknya kehormatan istana masih terjaga. "Hendak bertemu siapa, Kisanak?" tanya salah satu dari dua pengawal yang bertugas di depan pintu gerbang istana. Dewi Rukmini menatap tajam kedua prajurit penjaga pintu gerbang itu. Tanpa membuka penutup wajahnya, dia berujar pelan. "Lupakah kalian dengan saya?" tanya Dewi Rukmini. Suara yang khas. Suara yang lembut, tapi penuh kewibawaan. Dan suara indah itu tak akan pernah hilang dari setiap warga istana Kerajaan Sanggabumi. "Hatur sembah bekti dalem, Gusti Ratu,
"Rukmini!" Suara panggilan itu menghentakkan kesenduan Patih dua Dimas Bagus Penggalih dan Dewi Rukmini. Rupanya Sang Prabu tengah berdiri di depan pintu gerbang istana. "Masuklah kalian ke dalam istana. Kita tidak akan pernah tahu bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu." "Duli, Romo," jawab Dewi Rukmini yang segera bergegas menghampiri Prabu Arya Pamenang. Disusul oleh Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Beruntung rimbunnya pepohonan dan semak belukar menghalangi pandang Prabu Arya Pamenang, hingga tidak mampu seutuhnya melihat kebersamaan Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan Dewi Rukmini. Melihat putri semata wayangnya itu data g mendekat, Prabu Arya Pamenang merentangkan kedua lengannya selebar mungkin. Siap menyambut kedatangan putrinya itu dalam dekapannya yang hangat. "Hampir satu tahun Saka kita tidak bersama, Cah Ayu," ucap Sang Prabu sembari mendekap erat tubuh Dewi Rukmini. "Bukankah saya pergi untuk mencari ilmu, Romo? Bekal saya kelak jika telah me
Mata indah Dewi Rukmini nanar menyapu setiap punggawa istana yang hadir malam itu. Dan sejurus kemudian dia berdiri dan menyuruh seluruh punggawa untuk mendekat. Dia memaparkan keseluruhan strategi yang dia rencanakan dengan menggambarkannya di atas beberapa daun lontar yang telah disambung menjadi selembar kertas besar. Daun-daun lontar memang telah ada dan dipersiapkan di sebuah meja kecil di samping meja besar ruang balairung. Patih satu Diro Menggolo mengernyitkan dahi setelah mendengar semua paparan rencana Sang Ratu. Dia berpikir keras untuk berusaha memahami. Karena strategi ini tidak pernah dipergunakan dalam sistem peperangan di Kerajaan Sanggabumi. "Apakah ada hal yang ingin kamu sampaikan, Paman Patih satu Diro Menggolo?" Dewi Rukmini menangkap kegelisahan yang tergambsr jelas di raut wajah Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menarik nafas panjang. Tangannya mengelus jenggot panjang yang telah hampir memutih seluruhnya. Tatapannya m
Sebagai ratu yang dikenal bijaksana dan peduli terhadap rakyatnya, maka ketika mendengar tentang pemberontakan yang sering dilakukan oleh warga desa Lemah Dhuwur, Dewi Rukmini segera merencanakan sebuah strategi baru untuk mengatasi masalah ini. Dewi Rukmini sengaja memilih Patih tiga Rangga Aditya sebagai pendampingnya karena sesuai dengan tugasnya sebagai patih yang menangani pengembangan setiap desa yang ada di wilayah Kerajaan Sanggabumi. "Berikan laporanmu tentang masalah yang terjadi di desa Lemah Dhuwur, Kangmas Patih," perintah Dewi Rukmini pagi hari itu sebelum mereka melakukan perjalanan menuju ke desa Sanggabumi. "Kondisi alam yang kurang baik dalam beberapa bulan ini mengakibatkan warga desa Lemah Dhuwur banyak mengalami kelaparan, Gusti Ratu. Kekeringan, gagal panen, dan kemarau panjang yang ditunjang pula oleh bencana alam berupa gempa bumi dan gunung meletus, mengakibatkan desa Lemah Dhuwur seakan tengah ditimpa kutukan. Mereka menganggap ba