Home / Pernikahan / WARISAN YANG DIRAMPAS / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of WARISAN YANG DIRAMPAS : Chapter 51 - Chapter 60

82 Chapters

51. Silakan Pergi

"Oh, jadi Mbak Ira belum tahu perihal uang itu? Jangan-jangan digunakan untuk kawin lagi dan menafkahi istri mudanya.""Apa?!" Mbak Ira menegakkan badannya seraya menatap tajam ke arah Bang Usman yang membeliak.Kakak tertuaku itu mengalihkan pandangan padaku. Sejenak aku pun salah tingkah namun segera bisa menguasai diri."Apa benar yang dikatakan oleh Nurma?!" Mbak Ira mengulang pertanyaannya. Tatapannya lekat pada wajah suaminya sementara telunjuknya terarah padaku."Tentu saja tidak benar. Nurma itu hanya sok tahu. Nur, kamu jangan sembarangan kalau ngomong, nanti jadi fitnah!" Bang Usman beralih padaku."Lalu dikemanakan uang itu?!" tanya Mbak Ira lagi dengan nada tinggi."Tenang Ma, uang itu ada. Nanti sepulang dari sini kita bahas, ya." Bang Usman meraih tangan mbak Ira meski wanita berpenampilan glamor itu menariknya perlahan."Jangan lupa, Bang. Itu uang milikku!" Aku menegaskan sekali lagi. "Nur, bukankah sudah Abang katakan kalau kamu tidak .... " Bang Usman menjeda kalima
last updateLast Updated : 2023-07-08
Read more

52. Lepas dan Ikhlaskan

"Baru punya rumah segini saja sudah sombong, apalagi kalau sudah punya istana!""Tidak apa-apa sombong. Rumah ini dibeli menggunakan uangku, warisan dari orang tuaku. Daripada menyombongkan harta yang didapat dari hasil merampas warisan saudara sendiri.""Kurang ajar kamu!" Bang Usman bergerak mendekat ke arah Mas Fikri, tangannya terangkat ke atas. Namun bersamaan dengan itu Mbak Ira segera meraih tubuhnya."Sudah Pa, lebih baik kita pulang saja," bujuk Mbak Ira."Kalau mau, aku bisa memanggil satpam," lanjut Mas Fikri datar.Untuk beberapa saat Bang Usman hanya berdiri menatap kami secara bergantian, lalu beralih pada anak mereka. Sementara di sampingnya, Mbak Ira berdiri sambil memegangi tangan suaminya. Dada Bang Usman naik turun, menandakan emosinya sedang tidak stabil. Detik berikutnya pria itu pun berbalik ke arah pintu lalu keluar dengan langkah tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun. Tapi sepertinya amarahnya kian memuncak, terbukti dia membanting pintu dengan sangat keras lalu
last updateLast Updated : 2023-07-09
Read more

53. Teguran dari Allah

Pagi harinya kesibukan dimulai lagi. Rumah ini pun kembali ramai. Aku sibuk di dapur sementara Emak mengurus cucu-cucunya. Beruntung Rani dan Reno tidak se-manja ketika mereka di rumahnya. Reno dengan sigap mengurus kakaknya yang masih aku larang untuk jangan terlalu banyak beraktivitas. "Dek, ponselmu bunyi terus." Mas Fikri muncul di belakangku."Dari Mbak Ira 'kan?" tanyaku tanpa menoleh."Iya, sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab.""Biarkan saja, Mas. Dari aku bangun tidur itu. Palingan juga mau ngajak ribut." "Ya, sudah. Saran Mas, angkat saja, kalau dia ngajak ribut tinggal tutup teleponnya." Setelah itu Mas Fikri pun berlalu sementara ponselku ia letakkan di dekat dispenser."Bi, Bibi!" Baru saja beberapa detik, Reno datang tergopoh-gopoh. Seketika aku menoleh pada pemuda yang sedang mengacungkan ponselnya itu."Kenapa, Ren?""Mama barusan telepon, kalau Papa masuk rumah sakit. Katanya semalam tak sadarkan diri dan terkena stroke."Ya Allah, mungkin tadi Mbak Ira mengh
last updateLast Updated : 2023-07-10
Read more

54. Pov Ira

Kusimpan ponsel sembarang di atas sofa. Nurma tidak mau mengangkat telepon dariku. Padahal aku tahu jam segini dia sudah bangun. Sengaja aku menghubunginya setelah subuh, padahal Mas Usman dibawa ke rumah sakit masih sore. Suamiku itu terkena stroke dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Semua ini gara-gara Nurma menahan dua anakku. Aku yakin, Rani dan Reno mau kuajak pulang seandainya Nurma dan suaminya tidak ikut campur.Kemarin Mas Usman memang menyuruh Rani pulang ke rumah Andre, bukan minggat ke rumahnya Nurma. Tapi anak itu malah pergi ke rumah barunya si Nurma, ditambah lagi dia mengajak Reno. Aku juga sempat heran ketika membuntuti Reno dari sekolah dan berhenti di sebuah perumahan mewah. Kupikir dia ke rumah temannya, tapi ternyata bukan. Lalu dari mana Nurma dan Fikri punya uang untuk membeli rumah se-mewah ini. Bengkel baru saja buka beberapa bulan, apalagi toko sembako. Tidak mungkin kalau punya tabungan dari itu. Atau jangan-jangan mereka meminjam bank. Aku yakin itu.
last updateLast Updated : 2023-07-11
Read more

55. Kabar dari Bi Rahmi

Aku tak habis pikir dengan isi kepala Mbak Ira. Entah harus dengan cara apa untuk membuatnya sadar. Padahal aku dan anak-anaknya datang baik-baik, tapi sikap Mbak Ira tetap saja tidak bersahabat. Bukannya menarik simpati malah membuat ingin pergi. Entah apa yang dia bicarakan pada anak-anaknya ketika aku berada di luar ruangan bersama Mas Fikri. Yang jelas ketika kami berpamitan, Rani dan Reno memilih untuk pulang bersama kami. Seharusnya mereka menemani Mbak Ira menjaga Bang Usman, terutama Reno yang dalam keadaan sehat. Akan tetapi aku tidak bisa memaksa, keduanya bersikeras ikut pulang. Ketika aku tanya di perjalanan, Reno hanya menjawab kasihan sama Kak Rani. Aku pikir karena Rani memang belum pulih 100 %. Entahlah kalau ada alasan lain, keduanya seperti enggan bicara, aku pun tidak mau mengorek informasi lebih lanjut."Kamu langsung ke sekolah 'kan Ren?""Ini sudah siang, Bi, sudah terlambat. Aku pulang saja.""Terus kamu di rumah mau ngapain? Kita ke sekolah aja, nggak apa-apa
last updateLast Updated : 2023-07-12
Read more

56. Habis Tak Tersisa

"Kalau di kampung, jagung segini banyak tidak usah beli. Tinggal petik di kebun. Emak jadi ingat kampung, Pak. Ingat kebun kacang dan kebun jagung." Emak yang sudah tiga malam berada di sini tiba-tiba teringat kampungnya."Katanya mau seminggu di sini, baru tiga malam sudah rindu kampung," jawab Bapak sambil terkekeh."Aku juga tadi sebenarnya tidak niat beli jagung. Cuma ada kakek-kakek yang nawarin, udah sore dagangannya masih banyak. Akhirnya aku beli semua, kasihan kalau kakek itu harus menjajakan dagangannya hingga sore."Rupanya Mas Fikri membeli jagung ini secara tidak sengaja, hanya karena merasa kasihan saja pada sang pedagang. Suamiku ini memang sering berbuat seperti itu membeli sesuatu bukan karena butuh tapi karena kasihan."Bagus itu, pertahankan sikap seperti itu, Fikri. Bapak selalu mengajarkan kamu untuk bisa berbagi dan meringankan beban orang lain," ucap Bapak bangga dengan anak bungsunya."Insya Allah, Pak. Selagi mampu dan bisa kita harus terus berbuat baik."Mbak
last updateLast Updated : 2023-07-13
Read more

57. Fitnah

Tiba di lokasi rumah Bang Usman, sudah banyak massa berkerumun. Ada garis polisi juga. Karena rumah ini terletak di pemukiman penduduk yang cukup padat, maka api pun merembet ke beberapa rumah tetangga. Beruntung tidak menimbulkan kerusakan yang parah.Setelah aku bertanya pada beberapa tetangga Bang Usman yang ku kenali, ternyata bukan dari konsleting listrik. Kipas angin yang dicurigai Rani tetap menyala di ruang makan pun tidak ditemukan ada benda itu di sana. "Sementara penyebabnya masih diselidiki oleh pihak kepolisian."Mbak Ira juga ada di sini, dia berada tidak jauh dari rumahnya bersama Rendi dan keluarga Bang Halim. Kami pun menghampiri mereka sekedar untuk mengucapkan ikut berduka.Rani berhambur memeluk Mamanya."Apa kamu belum puas juga setelah membuat Mas Usman terbaring sakit? Aku yakin ini pasti ulahmu, Nur! Sengaja ingin membuat kami miskin!" Mbak Ira menunjuk mukaku. Dia tidak memperdulikan Rani yang menangis memeluknya.Astagfirullah lagi-lagi Mbak Ira menuduhku ya
last updateLast Updated : 2023-07-14
Read more

58. Pov Ira

Kedatangan Rani dan Reno beserta Nurma dan suaminya malah menambah ruwet pikiranku. Pasalnya, merekalah penyebab Mas Usman terbaring di ranjang pasien ini. Reno juga sekarang berubah, anak itu seperti bukan Reno biasanya. Bahkan aku sempat terkejut dan hampir tidak mengenali anak keduaku itu. Dulu Reno sangat manja padaku, tapi sekarang terlihat lebih dewasa. Entah apa yang dilakukan oleh Nurma terhadap dua anakku sehingga mereka terasa asing bagiku. Setelah mereka pergi, aku cepat-cepat mengirim pesan pada Rendi, anak bungsuku. Khawatir kalau Nurma menjemput dia juga karena ketahuan Rendi tinggal sendirian di rumah.[Ndi, setelah pulang sekolah nanti kamu ke rumah Om Halim, ya. Untuk sementara, selama Mama di rumah sakit kamu tinggal di sana dulu. Kalau ada Bi Nurma atau kakak-kakakmu mengajak, jangan mau. Mama enggak suka kamu tinggal bersama mereka.]Terkirim tapi centang satu. Rendi sedang di kelas, makanya aku memilih mengirim pesan dari pada menelepon. Tapi hatiku sudah tenang,
last updateLast Updated : 2023-07-15
Read more

59. Pingsan

Uang belanja pun tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Apa mungkin kalau Mas Usman ada main di belakangku? Selama ini aku tidak pernah memikirkan hal itu hingga aku selalu merasa baik-baik saja.Aku dikejutkan oleh suara benda jatuh. Paling juga Bang Usman merusak kursi atau beberapa perabot lain di bawah. Tapi perasaanku tidak enak, akhirnya aku bangkit dan keluar kamar. Biasanya Mas Usman kalau marah memang seperti itu. Merusak beberapa barang sambil berteriak, tapi ada yang aneh kali ini, tidak terdengar suaranya sedikitpun. Karena penasaran akhirnya aku berjalan perlahan, mengendap-ngendap, malu juga kalau ketahuan aku kepo. "Ada apa, Ma?" suara Rendi mengejutkanku dari belakang. Rupanya anak itu pun ikut keluar kamar. "Stt ... Papa sedang marah, sepertinya dia merusak barang lagi. Tapi tidak terdengar suaranya."Mulut Rendi membentuk huruf o tanpa bersuara, kemudian anak itu pun kembali ke kamarnya.Penasaran dengan yang dilakukan Mas Usman, akhirnya aku melanjutkan langkah
last updateLast Updated : 2023-07-16
Read more

60. Masker Siapa?

"Yang sabar, Bu Ira. Semoga Pak Usman cepat sehat. Kami, warga di sini sudah berusaha untuk menyelamatkan rumah Bu Ira. Tapi api cepat sekali menyebar."Aku tidak bisa menjawab, terlalu sesak jika ingat peristiwa ini. Dari beberapa rumah yang terbakar, hanya rumahku yang habis.Sudah hampir tiga jam aku meninggalkan Mas Usman sendirian di rumah sakit. Meskipun sudah aku titipkan pada perawat yang sedang jaga, tetap saja aku khawatir. "Mbaknya Ira kuat nyetir sendiri?" tanya Diah ketika aku masuk ke mobil."Aku usahakan.""Apa perlu aku antar?""Tidak usah."Sebenarnya aku tidak yakin, sebab tadi pun memaksakan diri bisa sampai di sini. Tapi aku harus bisa, daripada merepotkan Diah. Sebenarnya bukan Diah yang direpotkan, tapi aku. Sudah bisa kuduga, pasti nanti setelah mengantarku Diah malah meminta ongkos untuk naik taksi.Kutinggalkan puing-puing rumahku dan kembali menuju rumah sakit. Khawatir kalau Mas Usman membutuhkan aku. Setelah memarkir mobil di tempat yang tak jauh dari ru
last updateLast Updated : 2023-07-17
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status