"Baru punya rumah segini saja sudah sombong, apalagi kalau sudah punya istana!""Tidak apa-apa sombong. Rumah ini dibeli menggunakan uangku, warisan dari orang tuaku. Daripada menyombongkan harta yang didapat dari hasil merampas warisan saudara sendiri.""Kurang ajar kamu!" Bang Usman bergerak mendekat ke arah Mas Fikri, tangannya terangkat ke atas. Namun bersamaan dengan itu Mbak Ira segera meraih tubuhnya."Sudah Pa, lebih baik kita pulang saja," bujuk Mbak Ira."Kalau mau, aku bisa memanggil satpam," lanjut Mas Fikri datar.Untuk beberapa saat Bang Usman hanya berdiri menatap kami secara bergantian, lalu beralih pada anak mereka. Sementara di sampingnya, Mbak Ira berdiri sambil memegangi tangan suaminya. Dada Bang Usman naik turun, menandakan emosinya sedang tidak stabil. Detik berikutnya pria itu pun berbalik ke arah pintu lalu keluar dengan langkah tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun. Tapi sepertinya amarahnya kian memuncak, terbukti dia membanting pintu dengan sangat keras lalu
Pagi harinya kesibukan dimulai lagi. Rumah ini pun kembali ramai. Aku sibuk di dapur sementara Emak mengurus cucu-cucunya. Beruntung Rani dan Reno tidak se-manja ketika mereka di rumahnya. Reno dengan sigap mengurus kakaknya yang masih aku larang untuk jangan terlalu banyak beraktivitas. "Dek, ponselmu bunyi terus." Mas Fikri muncul di belakangku."Dari Mbak Ira 'kan?" tanyaku tanpa menoleh."Iya, sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab.""Biarkan saja, Mas. Dari aku bangun tidur itu. Palingan juga mau ngajak ribut." "Ya, sudah. Saran Mas, angkat saja, kalau dia ngajak ribut tinggal tutup teleponnya." Setelah itu Mas Fikri pun berlalu sementara ponselku ia letakkan di dekat dispenser."Bi, Bibi!" Baru saja beberapa detik, Reno datang tergopoh-gopoh. Seketika aku menoleh pada pemuda yang sedang mengacungkan ponselnya itu."Kenapa, Ren?""Mama barusan telepon, kalau Papa masuk rumah sakit. Katanya semalam tak sadarkan diri dan terkena stroke."Ya Allah, mungkin tadi Mbak Ira mengh
Kusimpan ponsel sembarang di atas sofa. Nurma tidak mau mengangkat telepon dariku. Padahal aku tahu jam segini dia sudah bangun. Sengaja aku menghubunginya setelah subuh, padahal Mas Usman dibawa ke rumah sakit masih sore. Suamiku itu terkena stroke dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Semua ini gara-gara Nurma menahan dua anakku. Aku yakin, Rani dan Reno mau kuajak pulang seandainya Nurma dan suaminya tidak ikut campur.Kemarin Mas Usman memang menyuruh Rani pulang ke rumah Andre, bukan minggat ke rumahnya Nurma. Tapi anak itu malah pergi ke rumah barunya si Nurma, ditambah lagi dia mengajak Reno. Aku juga sempat heran ketika membuntuti Reno dari sekolah dan berhenti di sebuah perumahan mewah. Kupikir dia ke rumah temannya, tapi ternyata bukan. Lalu dari mana Nurma dan Fikri punya uang untuk membeli rumah se-mewah ini. Bengkel baru saja buka beberapa bulan, apalagi toko sembako. Tidak mungkin kalau punya tabungan dari itu. Atau jangan-jangan mereka meminjam bank. Aku yakin itu.
Aku tak habis pikir dengan isi kepala Mbak Ira. Entah harus dengan cara apa untuk membuatnya sadar. Padahal aku dan anak-anaknya datang baik-baik, tapi sikap Mbak Ira tetap saja tidak bersahabat. Bukannya menarik simpati malah membuat ingin pergi. Entah apa yang dia bicarakan pada anak-anaknya ketika aku berada di luar ruangan bersama Mas Fikri. Yang jelas ketika kami berpamitan, Rani dan Reno memilih untuk pulang bersama kami. Seharusnya mereka menemani Mbak Ira menjaga Bang Usman, terutama Reno yang dalam keadaan sehat. Akan tetapi aku tidak bisa memaksa, keduanya bersikeras ikut pulang. Ketika aku tanya di perjalanan, Reno hanya menjawab kasihan sama Kak Rani. Aku pikir karena Rani memang belum pulih 100 %. Entahlah kalau ada alasan lain, keduanya seperti enggan bicara, aku pun tidak mau mengorek informasi lebih lanjut."Kamu langsung ke sekolah 'kan Ren?""Ini sudah siang, Bi, sudah terlambat. Aku pulang saja.""Terus kamu di rumah mau ngapain? Kita ke sekolah aja, nggak apa-apa
"Kalau di kampung, jagung segini banyak tidak usah beli. Tinggal petik di kebun. Emak jadi ingat kampung, Pak. Ingat kebun kacang dan kebun jagung." Emak yang sudah tiga malam berada di sini tiba-tiba teringat kampungnya."Katanya mau seminggu di sini, baru tiga malam sudah rindu kampung," jawab Bapak sambil terkekeh."Aku juga tadi sebenarnya tidak niat beli jagung. Cuma ada kakek-kakek yang nawarin, udah sore dagangannya masih banyak. Akhirnya aku beli semua, kasihan kalau kakek itu harus menjajakan dagangannya hingga sore."Rupanya Mas Fikri membeli jagung ini secara tidak sengaja, hanya karena merasa kasihan saja pada sang pedagang. Suamiku ini memang sering berbuat seperti itu membeli sesuatu bukan karena butuh tapi karena kasihan."Bagus itu, pertahankan sikap seperti itu, Fikri. Bapak selalu mengajarkan kamu untuk bisa berbagi dan meringankan beban orang lain," ucap Bapak bangga dengan anak bungsunya."Insya Allah, Pak. Selagi mampu dan bisa kita harus terus berbuat baik."Mbak
Tiba di lokasi rumah Bang Usman, sudah banyak massa berkerumun. Ada garis polisi juga. Karena rumah ini terletak di pemukiman penduduk yang cukup padat, maka api pun merembet ke beberapa rumah tetangga. Beruntung tidak menimbulkan kerusakan yang parah.Setelah aku bertanya pada beberapa tetangga Bang Usman yang ku kenali, ternyata bukan dari konsleting listrik. Kipas angin yang dicurigai Rani tetap menyala di ruang makan pun tidak ditemukan ada benda itu di sana. "Sementara penyebabnya masih diselidiki oleh pihak kepolisian."Mbak Ira juga ada di sini, dia berada tidak jauh dari rumahnya bersama Rendi dan keluarga Bang Halim. Kami pun menghampiri mereka sekedar untuk mengucapkan ikut berduka.Rani berhambur memeluk Mamanya."Apa kamu belum puas juga setelah membuat Mas Usman terbaring sakit? Aku yakin ini pasti ulahmu, Nur! Sengaja ingin membuat kami miskin!" Mbak Ira menunjuk mukaku. Dia tidak memperdulikan Rani yang menangis memeluknya.Astagfirullah lagi-lagi Mbak Ira menuduhku ya
Kedatangan Rani dan Reno beserta Nurma dan suaminya malah menambah ruwet pikiranku. Pasalnya, merekalah penyebab Mas Usman terbaring di ranjang pasien ini. Reno juga sekarang berubah, anak itu seperti bukan Reno biasanya. Bahkan aku sempat terkejut dan hampir tidak mengenali anak keduaku itu. Dulu Reno sangat manja padaku, tapi sekarang terlihat lebih dewasa. Entah apa yang dilakukan oleh Nurma terhadap dua anakku sehingga mereka terasa asing bagiku. Setelah mereka pergi, aku cepat-cepat mengirim pesan pada Rendi, anak bungsuku. Khawatir kalau Nurma menjemput dia juga karena ketahuan Rendi tinggal sendirian di rumah.[Ndi, setelah pulang sekolah nanti kamu ke rumah Om Halim, ya. Untuk sementara, selama Mama di rumah sakit kamu tinggal di sana dulu. Kalau ada Bi Nurma atau kakak-kakakmu mengajak, jangan mau. Mama enggak suka kamu tinggal bersama mereka.]Terkirim tapi centang satu. Rendi sedang di kelas, makanya aku memilih mengirim pesan dari pada menelepon. Tapi hatiku sudah tenang,
Uang belanja pun tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Apa mungkin kalau Mas Usman ada main di belakangku? Selama ini aku tidak pernah memikirkan hal itu hingga aku selalu merasa baik-baik saja.Aku dikejutkan oleh suara benda jatuh. Paling juga Bang Usman merusak kursi atau beberapa perabot lain di bawah. Tapi perasaanku tidak enak, akhirnya aku bangkit dan keluar kamar. Biasanya Mas Usman kalau marah memang seperti itu. Merusak beberapa barang sambil berteriak, tapi ada yang aneh kali ini, tidak terdengar suaranya sedikitpun. Karena penasaran akhirnya aku berjalan perlahan, mengendap-ngendap, malu juga kalau ketahuan aku kepo. "Ada apa, Ma?" suara Rendi mengejutkanku dari belakang. Rupanya anak itu pun ikut keluar kamar. "Stt ... Papa sedang marah, sepertinya dia merusak barang lagi. Tapi tidak terdengar suaranya."Mulut Rendi membentuk huruf o tanpa bersuara, kemudian anak itu pun kembali ke kamarnya.Penasaran dengan yang dilakukan Mas Usman, akhirnya aku melanjutkan langkah
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan