"Abang kasih waktu dua hari untuk mengosongkan rumah itu, sebab akan segera ada pembeli yang datang untuk melihat-lihat." Suara Bang Usman di ujung telepon seperti menghentikan nafasku. Bagaimana tidak, baru saja 40 hari kepergian Ibu, kedua kakak laki-lakiku sudah bermaksud menjual rumah peninggalan orang tua kami yang sebenarnya menurut wasiat Bapak dan Ibu, rumah itu adalah bagianku. Aku tidak sekolah ke perguruan tinggi, sementara dua Abangku itu masing-masing lulus S2. Kata Bapak dulu, anak laki-laki harus punya pekerjaan yang layak untuk menafkahi anak istrinya, maka dari itu mereka harus sekolah tinggi. Bang Usman dan Bang Halim masing-masing menghabiskan beberapa bidang tanah dan sawah milik Bapak di kampung untuk menyelesaikan sekolah mereka.Sementara anak perempuan, meskipun sekolah tinggi, akhirnya mereka akan diam di rumah, itu kata Bapak. Kedua orang tuaku memang memiliki pikiran yang kolot hingga aku tidak mendapat izin untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan ti
Satu minggu kemudian.Anak keduaku malam ini badannya panas. Seharusnya tadi sore sudah dibawa ke dokter, tapi aku tak ada simpanan. Uang yang didapatkan Mas Fikri dari kerja serabutan di pasar hanya cukup untuk makan.Mas Fikri menyarankan supaya aku menghubungi Bang Usman untuk meminjam uang, toh nanti aku bakalan punya uang bagian dari penjualan rumah dan bengkel."Nanti bayarnya memotong uang bagianku saja, Bang, dari hasil penjualan rumah dan bengkel," ucapku setelah berbasa-basi."Dua minggu lagi pesta pernikahan Rani akan digelar. Kamu pikir aja, uang mau dipakai, kok dipinjam. Bagianmu juga mau Abang pinjam dulu," jawab Bang Usman tanpa ada beban. Padahal di awal aku sudah mengatakan bahwa anakku tengah sakit."Tapi aku butuh banget, Bang. Seratus ribu aja, untuk berobat Nisa.""Aku juga butuh untuk biaya pesta yang semakin dekat. Uang 100.000 itu kamu jual saja dulu yang ada!"Setelah itu panggilan berakhir, aku mengusap dada dengan sedikit menekan-rekannya. Rasanya sesak sek
Alhamdulillah kemarin Mas Fikri dapat uang lebih di pasar. Katanya ada Bos sayur yang karyawannya tidak masuk, jadi Mas Fikri menggantikannya. Meski kerjanya berat tapi bapak dari anak-anakku itu tidak pernah mengeluh."Kamu sudah izin ke sekolah Naya?" tanya Mas Fikri sambil membereskan pakaian ke dalam tas. Naya adalah anak pertama kami yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar."Sudah, Mas. Untuk dua hari saja, 'kan?""Iya, kalau lama-lama di kampung, kasihan juga Naya, nanti ketinggalan pelajaran."Karena khawatir Nisa rewel, akhirnya Mas Fikri memutuskan untuk ikut naik bus saja. Kedua anakku itu sebenarnya senang akan bertemu Nenek dan Kakeknya, lantaran sudah cukup lama kami tidak berkunjung ke sana. Bukan karena apa-apa, keuangan kami akhir-akhir ini memang sedang diuji."Ponselku sepertinya berbunyi, Mas." Aku memberikan isyarat pada Mas Fikri untuk membantu mengambilnya lantaran aku kesulitan. Belum ada satu jam perjalanan, Nisa sudah terlelap di pangkuanku."Siapa yang
"Bapak kehilangan sawah .... ""Apa?!"Aku dan Mas Fikri saling pandang."Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya."Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... ""Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya."Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas."Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya."Memangnya ada pembangunan apa?""Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran te
Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol. "Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum."Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah. Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gay
Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak."Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi."Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi.""Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ika
"Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku."Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku."Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kak
Hari pernikahan Rani pun tiba. Sebuah pesta yang mewah digelar di rumahnya Bang Usman. Dari tiga hari yang lalu aku sudah sibuk membantu persiapan acara. Tak satupun kerabatnya Mbak Ira yang membantu. Tapi hari ini aku tidak mau tahu lagi urusan belakang.Aku datang pagi-pagi sekali, bersama Mas Fikri dan dua putriku yang cantik-cantik dengan dress berwarna lilac yang sama denganku. Lima hari yang lalu Mas Fikri mengajak kami berbelanja baju couple untuk dipakai hari ini. "Pilih yang terbaik, Dek. Kalian harus tampil maksimal besok.""Tapi yang bagus itu mahal, Mas.""Ya, enggak apa-apa. Beli aja!" Akhirnya aku menurut, kupilih baju yang paling mahal yang kebetulan tersedia juga ukuran untuk dua putriku. Untuk Mas Fikri juga kupilihkan atasan batik dengan warna senada. Tak lupa juga sepatu dengan hak tinggi untuk menunjang penampilanku supaya lebih sempurna."Habis ini kita mampir ke toko perhiasan, Dek.""Untuk apa, Mas?""Ya, untuk beli perhiasan, Dek. Masa beli pecel lele," jawab
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan