Beranda / Pernikahan / WARISAN YANG DIRAMPAS / 4. Rezeki Tak Terduga

Share

4. Rezeki Tak Terduga

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Bapak kehilangan sawah .... "

"Apa?!"

Aku dan Mas Fikri saling pandang.

"Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya.

"Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... "

"Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.

Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya.

"Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"

Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas.

"Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya.

"Memangnya ada pembangunan apa?"

"Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."

Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran tentu ada nominal yang diterima. Sementara Bapak hanya memiliki dua anak laki-laki. Mas Fikri dan kakaknya, Mas Fahmi. Ingin rasanya segera kutanyakan perihal uang pembebas lahan itu, tapi urung aku lakukan. Tidak pantas rasanya, sebagai menantu, aku tidak boleh ikut campur. Apalagi ini soal harta keluarga mereka. Memangnya Mbak Ira dan Mbak Diah, yang selalu gercep pada harta peninggalan Bapak dan Ibuku.

"Terus dari mana Bapak makan kalau sawah itu sekarang tidak ada?" Wajar kalau Mas Fikri mengkhawatirkan orang tuanya.

"Bapak dan Emakmu ini sudah tua, makan juga cuma sedikit-sedikit, langsung kenyang. Beras itu bisa dibeli, toh kami masih punya hasil dari kebun yang bisa dijual untuk membeli beras." Emak yang sedari tadi hanya jadi pendengar, kini bersuara.

"Uang dari hasil gusuran itu lumayan besar. Itu sebabnya Bapak menyuruhmu ke sini. Bapak ini sudah tua, sudah tidak punya keinginan untuk membeli apapun. Asal ada nasi, itu sudah cukup. Uang dari pembebasan lahan itu sudah Bapak bagi dua, buat kamu dan kakakmu, Fahmi."

Mendengar penuturan Bapak barusan, rasanya aku ingin bersorak. Di saat kedua kakak laki-lakiku menguasai harta peninggalan orang tua kami, yang jelas-jelas sudah menjadi bagianku. Ternyata Allah memberikan kami rezeki dari jalan yang berbeda. Ini benar-benar rezeki yang tidak disangka-sangka, meskipun mertuaku harus kehilangan sawah milik mereka.

"Jujur saja, Pak. Saat ini kami memang sedang membutuhkan uang banyak, tapi bukankah lebih baik uang itu Bapak belikan lagi sawah. Supaya Bapak punya padi, punya beras untuk makan." Namun jawaban yang tidak kusangka keluar dari mulut Mas Fikri. Secara tidak langsung suamiku itu menolak uang tersebut. Hatiku kembali menciut, jika Mas Fikri benar-benar menolak uang itu maka aku harus berlapang dada menjalani hidup seperti sekarang.

Bapak terkekeh kemudian kembali menghisap tembakaunya.

"Ambil uang itu, Mak. Kita lihat saja, apakah si Fikri masih mau menolak kalau dia sudah melihat wujudnya." Bapak kembali terbahak.

Emak yang mendapat perintah dari suaminya segera bangkit lalu berjalan menuju ke kamar mereka. Tak lama kemudian wanita yang sudah berumur namun masih terlihat gesit itu  pun keluar sambil menenteng sebuah kantong kresek berwarna hitam yang dibungkus dengan kain taplak meja. Aku hampir terbelalak lantaran benda yang ditenteng Emak itu cukup besar, itu artinya uangnya memang tidak main-main.

"Ini," kata emak sambil menaruh bungkusan itu di hadapan Mas Fikri.

"Apa kamu masih menolak melihat uang sebanyak itu?" Bapak menatap anak bungsunya.

"Utamakan dulu kesejahteraan Bapak dan Emak di sini. Aku ini masih muda, masih kuat untuk bekerja keras. Sementara Bapak sudah tua, sudah seharusnya beristirahat." Mas Fikri belum juga mau menerima uang itu. Terkadang aku kesal juga pada prinsip suamiku ini. Pantang baginya menerima belas kasihan orang lain, ia lebih suka bekerja keras ketimbang mendapat bantuan. Tapi ini kan pemberian orang tuanya. Apa masih mau ditolak juga?

"Ini adalah uang setelah dibagi dua dengan kakakmu. Bapak sudah mengambil bagian untuk membeli sepetak sawah di dekat milik Haji Sobari. Juga dua ekor kambing dan dua ekor sapi. Itu cukup buat Bapak." Bapak kemudian menggeser kantong kresek itu agar lebih mendekat ke arah Mas Fikri. Bukannya menerima Mas Fikri malah menoreh ke arahku, seakan meminta persetujuanku.

"Itu bagianmu, Fikri. Jangan ditolak lagi." Emak menegaskan. Akhirnya aku pun mengangguk samar.

"Uang itu bisa kamu gunakan untuk memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya Nurma, juga memperbesar usahamu. Belilah kendaraan yang layak supaya anak dan istrimu tidak kehujanan dan kepanasan. Bapak rasa uang itu cukup."

"Sebenarnya ... kami sudah tidak tinggal di rumah peninggalan orang tuanya Nurma lagi, Pak." Mas Fikri sepertinya ragu memberitahu Bapak perihal rumah itu. Kami memang belum sempat bercerita tentang rumah dan bengkel yang dijual oleh kedua Abangku.

"Maksud kamu apa?" Bapak dan Emak terperangah.

Mas Fikri kemudian menceritakan kejadian yang baru saja kami alami beberapa minggu yang lalu. Bapak terlihat manggut-manggut, sementara Emak beberapa kali membuang nafas berat.

"Kamu yang sabar, ya, Nur. Rezeki itu tidak akan tertukar, buktinya ini. Di saat kamu kehilangan harta peninggalan orang tuamu. Allah mengirimkannya lewat kami. Sebenarnya wacana pembebasan lahan ini sudah lama terdengar, namun tidak juga terjadi. Ternyata Allah sedang menunggu momen yang tepat untuk kalian." Emak mengusap tanganku membuatku seketika menjatuhkan diri di pelukannya.

"Itu hakmu, Nurma. Kalau bisa kamu perjuangkan. Tapi kalau kedua Kakakmu bersikeras, sudah ikhlaskan saja. Gunakan uang ini untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha kalian." Bapak menimpali.

Mendengar kalimat itu terucap dari bibir Bapak mertuaku aku tidak bisa berkata-kata. Yang kulakukan saat ini hanya terdiam sampai terisak dipelukan Emak. Jika teringat pada kedzoliman kedua kakak laki-lakiku, hatiku terasa perih. Tapi memang ternyata benar, bahwa Allah tidak pernah tidur. Di saat aku kehilangan banyak, kami mendapatkan ganti yang lebih banyak lagi.

"Bismillah, Dek. Dengan uang ini kita akan membuktikan ada Bang Usman dan Bang Halim, bahwa sekuat apapun mereka menahan rezeki kita, jika Allah yang memberi maka akan didatangkan dari jalan yang lain." Ucapan Mas Fikri membuat aku semakin terisak lagi, namun sesaat setelah itu aku menjauhkan diri dari pelukan Emak, lalu mengusap pipiku. Setelah ini aku harus memikirkan cara supaya kedua kakakku itu jera.

Bab terkait

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    5. Makin Berani

    Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol. "Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum."Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah. Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gay

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    6. Aku Juga Butuh Uang

    Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak."Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi."Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi.""Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ika

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    7. Tak diberi Seragam

    "Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku."Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku."Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kak

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    8. Dikira Imitasi

    Hari pernikahan Rani pun tiba. Sebuah pesta yang mewah digelar di rumahnya Bang Usman. Dari tiga hari yang lalu aku sudah sibuk membantu persiapan acara. Tak satupun kerabatnya Mbak Ira yang membantu. Tapi hari ini aku tidak mau tahu lagi urusan belakang.Aku datang pagi-pagi sekali, bersama Mas Fikri dan dua putriku yang cantik-cantik dengan dress berwarna lilac yang sama denganku. Lima hari yang lalu Mas Fikri mengajak kami berbelanja baju couple untuk dipakai hari ini. "Pilih yang terbaik, Dek. Kalian harus tampil maksimal besok.""Tapi yang bagus itu mahal, Mas.""Ya, enggak apa-apa. Beli aja!" Akhirnya aku menurut, kupilih baju yang paling mahal yang kebetulan tersedia juga ukuran untuk dua putriku. Untuk Mas Fikri juga kupilihkan atasan batik dengan warna senada. Tak lupa juga sepatu dengan hak tinggi untuk menunjang penampilanku supaya lebih sempurna."Habis ini kita mampir ke toko perhiasan, Dek.""Untuk apa, Mas?""Ya, untuk beli perhiasan, Dek. Masa beli pecel lele," jawab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    9. Menolak Kerja Bakti

    "Mas, kalau aku pikir-pikir, mungkin lebih baik kita beli mobil sekarang.""Kenapa kemarin Dek Nurma mengangguk ketika Mas bilang beli mobilnya nanti saja. Kok, sekarang berubah pikiran?" Mas Fikri menautkan alis ketika malam ini, sebelum kami tidur, aku mengutarakan keinginanku untuk cepat-cepat membeli mobil."Anak-anak sudah semakin besar, tadi saja waktu ke pestanya Bang Usman motor hampir nggak muat. Belum lagi kalau salah satu dari mereka tidur, makin berabe saja." Aku beralasan, padahal yang sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan hinaan kakak-kakakku dan istri-istrinya."Jadi, yakin nih, sekarang pengen beli mobil?" Mas Fikri kembali bertanya sambil tertawa geli meledekku."Yakin, Mas.""Nanti kita malah dikira ngepet. Pakai baju bagus dan perhiasan saja, disangka minjem, melihat uang di dompet banyak, disangka pinjol," lanjut Mas Fikri karena sebelumnya aku sudah menceritakan reaksi Mbak Diah dan Mbak Ira ketika melihat penampilanku tadi siang."Ya, nggak apa-apa, Mas. Dikira

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    10. Anak Haram

    Meski baru lima hari aku membuka toko sembako di pasar, tapi alhamdulillah sudah punya pelanggan. Sengaja aku memasang harga sedikit lebih murah untuk menarik pembeli, yang penting ada sedikit sisa dari modal. Aku pernah mendengar bahwa rezeki itu tertakar dan tidak mungkin tertukar. Jadi meskipun banyak toko serupa di pasar, jika sudah rezeki maka pelangganku akan datang sendiri. Aku pun punya banyak waktu untuk keluarga, sebab jualan hanya rame sampai jam 15.00 saja.Sebenarnya Mas Fikri sempat ragu untuk mengizinkan aku berjualan. Dia bilang urusan mencari nafkah itu tanggung jawabnya. Tapi setelah aku membujuknya, akhirnya dia mengizinkan juga dengan syarat aku tidak boleh terlalu cape dan tentu saja aku tidak boleh lalai pada tanggung jawabku sebagai seorang istri dan juga ibu. Selain itu, aku punya alasan sendiri sebelum memutuskan untuk mencari kesibukan dengan cara berjualan. Disamping ingin merubah perekonomian keluargaku, aku juga ingin menghindari pekerjaan di rumah Mbak Ir

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    11. Bukan Rahim Ibu

    "Ap-apa?! Abang bilang aku anak haram?" Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Bagaimana tidak, kalimat yang tidak pernah aku duga itu terucap dari mulut Bang Usman dalam keadaan sangat marah.Mendapat pertanyaan seperti itu, Bang Usman seperti menyadari sesuatu. Kakak tertuaku itu, sejenak hanya tertegun kemudian saling tatap dengan Bang Halim. Mbak Ira pun sontak menutup mulutnya sementara matanya membelalak. Aku beralih pada Mbak Diah yang tadi menunduk dan terisak, bahkan sempat histeris, kini wanita itu pun terdiam seperti menahan nafas."Ada apa sebenarnya, Bang? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?!" Nafasku memburu, aku berusaha menguasai diri.Bang Usman masih diam. Tak ada penjelasan apapun dari mulut kedua kakakku. Mereka hanya saling pandang lalu masing-masing berpaling sambil membuang napas kasar."Bukankah aku juga anak Bapak dan Ibu? Kalau aku anak haram, tolong jelaskan padaku!" Aku bertanya lagi dengan nada meninggi.Tapi keduanya masih bungkam, hanya mata Mbak I

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    12. Jejak Ibu

    Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai di rumah Bi Rahmi. Wanita yang sudah semakin tua itu menyambut kedatangan kami dengan gembira. Selain bapak dan Ibu, Bi Rahmi memang cukup dekat denganku. Hanya sayangnya beliau tinggal agak jauh karena ikut suaminya. Setelah suaminya tiada pun beliau masih menetap di sini."Bagaimana kabar kalian, kenapa lama tidak berkunjung ke sini?""Maafkan kami, Bi. Setelah kepergian Ibu, memang kami sibuk mengurus tahlilan. Dan setelah itu aku sibuk pindah rumah.""Pindah rumah? Kalian pindah ke mana? Bukankah itu rumah untukmu?"Lalu aku menceritakan pada Bibi perihal rumah yang dijual oleh Bang Usman dan sampai saat ini uang itu belum sampai ke tanganku. Bahkan kemarin aku mendapatkan berita yang sangat mengejutkan."Maksud kedatanganku ke sini untuk menanyakan pada Bibi. Apa benar yang dikatakan oleh Bang Usman itu?"Bi Rahmi terdiam, sepertinya ia juga tidak siap menceritakan sesuatu padaku."Tolong katakan saja, Bi. Aku ingi

Bab terbaru

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    76. Sepakat

    Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    75. Fakta Suamiku

    Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    74. Membalas

    Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan

DMCA.com Protection Status