Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai di rumah Bi Rahmi. Wanita yang sudah semakin tua itu menyambut kedatangan kami dengan gembira. Selain bapak dan Ibu, Bi Rahmi memang cukup dekat denganku. Hanya sayangnya beliau tinggal agak jauh karena ikut suaminya. Setelah suaminya tiada pun beliau masih menetap di sini."Bagaimana kabar kalian, kenapa lama tidak berkunjung ke sini?""Maafkan kami, Bi. Setelah kepergian Ibu, memang kami sibuk mengurus tahlilan. Dan setelah itu aku sibuk pindah rumah.""Pindah rumah? Kalian pindah ke mana? Bukankah itu rumah untukmu?"Lalu aku menceritakan pada Bibi perihal rumah yang dijual oleh Bang Usman dan sampai saat ini uang itu belum sampai ke tanganku. Bahkan kemarin aku mendapatkan berita yang sangat mengejutkan."Maksud kedatanganku ke sini untuk menanyakan pada Bibi. Apa benar yang dikatakan oleh Bang Usman itu?"Bi Rahmi terdiam, sepertinya ia juga tidak siap menceritakan sesuatu padaku."Tolong katakan saja, Bi. Aku ingi
"Makan dulu, Dek. Kamu jangan terlalu larut dalam masalah ini. Nanti kalau mobil kita sudah datang, Mas janji kita akan mencari ibu Nuning."Mendengar itu sontak aku menoleh ke arah suamiku."Beneran, Mas?""Walau bagaimana dia adalah ibu yang mengandung dan melahirkanmu. Meskipun tidak mengurusmu, dia tetap Ibumu. Kita harus menemukan beliau entah itu orangnya ataupun pusarannya."Tak terasa air mataku pecah lagi, bagaimana kalau saat ini Bu Nuning sudah meninggal? Aku belum sempat berterima kasih pada beliau karena perjuangan yang mengandung dan melahirkan aku. Aku juga ingin tahu apa alasannya hingga beliau tidak merawatku. "Menurut Mas Fikri, kira-kira kenapa Bu Nuning tidak mau merawatku? Apa mungkin beliau tidak menginginkan aku!""Kita jangan berburuk sangka dulu, Dek. Siapa tahu ada alasan yang membuat kalian harus berjauhan. Mas pikir tidak ada Ibu yang tidak mau merawat anaknya.""Atau ... jangan-jangan Ibu sudah tiada, hingga ayah membawaku pulang ke sini lalu kembali pada
Hmm, rupanya bang Halim mengira kami membeli mobil dengan cara kredit. Padahal hampir semua orang sudah tahu jika Mas Fikri tidak pernah mau mengambil kreditan."Alhamdulillah, Bang. Sudah engga betah berdesakan dalam satu motor." Sengaja aku menunjuk motor baruku yang terparkir tidak jauh. Ternyata itu berhasil membuat bang Halim menoleh. "Motor kamu baru juga?""Iya, Bang. Motor lama sudah sering mogok."Untuk beberapa saat, Bang Halim hanya mangut-manggut."Berani sekali kalian, ngambil cicilan dua kendaraan sekaligus," cibirnya kemudian yang membuat aku tersenyum kaku."Motor yang lama dijual?" Ya ampun kenapa pertanyaan Bang Usman detail sekali?"Enggak kok, Bang, masih ada. Lumayan buat saya kemana-mana kalau ada kerjaan mendadak," jawab Mas Fikri sambil tersenyum. Dulu sewaktu di tempat lama, memang kerap ada yang memanggil untuk membetulkan kendaraan. Meski semenjak kami pindah dari tempat itu belum pernah ada yang membutuhkan jasa Mas Fikri melalui panggilan."Kalian 'kan s
Ternyata dugaanku benar, ini mobilnya Bang Halim. Rupanya sebelum mampir ke ruko, tadi Bang Halim juga sempat mampir ke toko sembako milikku. Tapi Fitri bilang yang turun itu seorang wanita. Apa mungkin tadi di dalam mobil Bang Halim itu ada Mbak Diah? Hanya saja dia tidak turun. Bisa jadi karena dia malu padaku lantaran ketahuan terlibat pinjaman online."Sebentar ...." Aku mengambil ponsel untuk memastikan apakah wanita yang datang ke toko itu adalah Mbak Diah. Kucari kontak Mbak Diah lalu kutunjukkan foto profilnya pada Fitri."Orangnya yang ini, bukan, Fit?""Ah iya, Mbak Nurma kenal?""Eum ... dia kakak iparku. Tapi kami tidak begitu dekat. Jadi aku minta tolong jangan bilang-bilang padanya kalau toko ini milikku, jika suatu saat dia datang lagi ke sini.""Baik Mbak, sepertinya hubungan kalian tidak harmonis, ya."Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban untuk Fitri, males sekali membahas kakak iparku itu. Jadi benar, tadi Mbak Diah tidak turun dari mobil ketika mereka mampir k
Aku menjatuhkan bahu. Hilang harapanku untuk memiliki surat itu sebagai bukti kuat bahwa rumah dan bengkel itu adalah milikku."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Terima kasih informasinya. Semoga cepat sembuh ya, Pak.""Maaf, Nak Nurma. Bapak tidak biasa banyak membantu. Bapak sudah mendengar semuanya. Yang sabar, ya. Rezeki itu tidak akan kemana."Aku urung berdiri, jika Pak RT--lebih tepatnya mantan ketua RT--mengetahui hal ini, tentu berita tentang penjualan rumah itu sudah menyebar. Tapi tak mengapa, toh yang menjualnya kedua kakakku. Bukan aku."Terima kasih, Pak. Mohon doanya, semoga ada rezeki untuk daya dan keluarga.""Pasti, Nak. Rezeki itu sudah diatur oleh yang di atas. Tenang saja. Bisa jadi Allah sedang menyelamatkan kami dari rezeki yang tidak halal."Sejenak aku berpikir, sepertinya mantan Pak RT ini tahu sesuatu. Mengingat usianya yang seumuran Bapak. Apa aku tanya dia saja, ya?"Eum ... sebelumnya maaf, Pak. Saya gak jadi pamitan, deh. Apa Bapak mengetahui sesuatu
Jadi para tetangga juga selama ini pandai menyembunyikan masalah ini dariku. Bukan hanya orang-orang terdekatku yang menjaga rahasia ini ternyata para tetangga sekelilingku sepakat tidak menceritakan aib kedua orang tuaku. Semula aku memang tidak enak mendengar ucapan Bu Sarif, tapi sepertinya dia bisa memberikan informasi yang tidak aku dapatkan dari Pak Suratno tadi."Bu Sarif tahu dengan siapa dulu Bu Farida berselingkuh?""Ya tahu lah. Orang sekampung dulu geger kalau Farida main gila dengan Suratno.""Apa? Pak Suratno?!"Ya Tuhan, entah apa lagi ini? Pantas saja barusan Pak Suratno tak mau menyebut nama. Rupanya dia sendiri pelakunya."Pak Suratno yang mantan ketua RT itu?" Aku memastikan sebelum mengambil kesimpulan."Siapa lagi, yang namanya Suratno itu 'kan cuma dia. Dulu Pak Suratno itu dikenal sebagai playboy. Gonta ganti pacar meskipun dia punya istri. Kedua istrinya meninggal karena sakit tekanan batin lantaran seringnya diselingkuhi.""Jadi tidak benar kalau Bu Farida ber
Seperti usulan Mas Fikri kemarin, hari ini aku sudah berada di depan rumah Mbak Ira dengan menenteng sebuah rantang berisi makanan yang tadi kumasak sebelum berangkat ke sini. Menurut Mas Fikri, ini pasti akan membuat Mbak Ira senang, pasalnya kakak iparku itu jarang-jarang masak. Sekalinya masak pasti menyuruhku. Beberapa hari ini aku memang tidak pernah lagi datang ke rumah ini. Setelah tempo hari mengetahui fakta bahwa aku bukan anak kandung Ibu Farida. Bahkan Bang Usman mengatakan aku anak haram.Kuhela napas sebelum melangkah mendekati pintu. Mobil Bang Usman sudah tidak ada, pasti dia sudah berangkat ke kantor, sebab ini sudah jam 9 pagi. Kuperhatikan keadaan rumah yang tampaknya lengang. Anak-anak Mbak Ira juga pasti sedang sekolah. Sepi sekali.Apa Mbak Ira ada di rumah? Seperti biasa, aku menuju pintu samping, lalu mengetuk sambil mengucap salam. Meski ada bel di samping pintu, tapi sepertinya belum diperbaiki. Tempo hari kutahu bel itu rusak."Assalamu'alaikum." Hening. K
"Loh, kok, sudah pulang?" Mas Fikri menyambutku dengan pertanyaan. Pria yang tangannya penuh oli itu sejenak menghentikan aktivitasnya. "Nisa mana, Mas?" Bukannya menjawab aki malah celingukan mencari anak bungsuku yang tidak kelihatan."Lagi asyik nonton kartun di atas.""Oh, kalaupun begitu aku lihat dulu ke sana.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Dek.""Oh iya, aku lupa."Urung melangkah, lalu aku menceritakan yang baru saja terjadi di rumahnya Mbak Ira."Ya sudah, kalau begitu besok kamu balik lagi ke sana, pura-pura mengambil rantang!""Iya Mas, rencanaku juga seperti itu."Setelah itu aku melanjutkan langkah menaiki anak tangga, bermaksud menemui Nisa dan menemaninya nonton film kesukaannya. Sambil menunggu kabar dari Fitri tentang Mbak Ira. Tadi aku berpesan jika Mbak Ira sudah pulang, aku akan ke toko. Satu jam kemudian Fitri mengirimkan sebuah foto dengan caption, apakah ini orang yang maksud?. Terlihat foto Mbak Ira sedang berdiri di depan rak pajangan minyak goreng, sat
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan