Seperti usulan Mas Fikri kemarin, hari ini aku sudah berada di depan rumah Mbak Ira dengan menenteng sebuah rantang berisi makanan yang tadi kumasak sebelum berangkat ke sini. Menurut Mas Fikri, ini pasti akan membuat Mbak Ira senang, pasalnya kakak iparku itu jarang-jarang masak. Sekalinya masak pasti menyuruhku. Beberapa hari ini aku memang tidak pernah lagi datang ke rumah ini. Setelah tempo hari mengetahui fakta bahwa aku bukan anak kandung Ibu Farida. Bahkan Bang Usman mengatakan aku anak haram.Kuhela napas sebelum melangkah mendekati pintu. Mobil Bang Usman sudah tidak ada, pasti dia sudah berangkat ke kantor, sebab ini sudah jam 9 pagi. Kuperhatikan keadaan rumah yang tampaknya lengang. Anak-anak Mbak Ira juga pasti sedang sekolah. Sepi sekali.Apa Mbak Ira ada di rumah? Seperti biasa, aku menuju pintu samping, lalu mengetuk sambil mengucap salam. Meski ada bel di samping pintu, tapi sepertinya belum diperbaiki. Tempo hari kutahu bel itu rusak."Assalamu'alaikum." Hening. K
"Loh, kok, sudah pulang?" Mas Fikri menyambutku dengan pertanyaan. Pria yang tangannya penuh oli itu sejenak menghentikan aktivitasnya. "Nisa mana, Mas?" Bukannya menjawab aki malah celingukan mencari anak bungsuku yang tidak kelihatan."Lagi asyik nonton kartun di atas.""Oh, kalaupun begitu aku lihat dulu ke sana.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Dek.""Oh iya, aku lupa."Urung melangkah, lalu aku menceritakan yang baru saja terjadi di rumahnya Mbak Ira."Ya sudah, kalau begitu besok kamu balik lagi ke sana, pura-pura mengambil rantang!""Iya Mas, rencanaku juga seperti itu."Setelah itu aku melanjutkan langkah menaiki anak tangga, bermaksud menemui Nisa dan menemaninya nonton film kesukaannya. Sambil menunggu kabar dari Fitri tentang Mbak Ira. Tadi aku berpesan jika Mbak Ira sudah pulang, aku akan ke toko. Satu jam kemudian Fitri mengirimkan sebuah foto dengan caption, apakah ini orang yang maksud?. Terlihat foto Mbak Ira sedang berdiri di depan rak pajangan minyak goreng, sat
Sedang asyik mengobrol dengan Emak, tiba-tiba ponsel Mas Fikri berbunyi. Akhirnya aku pun menyudahi panggilan dari Emak lantaran melihat kontak Mbak Diah di layar ponsel milik Mas Fikri."Mbak Diah menelepon, Dek. Angkat saja!" Aku pun menerima ponsel yang disodorkan oleh Mas Fikri sambil menautkan kedua alis sebab Mbak Diah itu tidak akan menghubungi kalau tidak ada keperluan darurat."Ada apa ya, Mbak Diah telepon?""Sudah, terima saja. Daripada bertanya-tanya dan menduga-duga." Akhirnya aku menggeser tanda hijau di layar ponsel Mas Fikri."Assalamu'alaikum, Mbak.""Salam. Kamu kok, susah banget dihubungi, Nur? Dari tadi ponselmu sibuk melulu, kayak orang penting saja." Sudah menjawab salam dengan tidak benar, Mbak Diah langsung memarahiku. Pantas saja dia menghubungan ponsel Mas Fikri, rupanya tadi dia sempat menghubungiku ketika aku sedang menelepon Emak."Maaf, Mbak, tadi aku sedang bicara dengan Emak. Memangnya ada perlu apa Mbak Diah menghubungiku?""Kamu itu kenapa pilih ka
Satu jam kemudian aku sudah menyelesaikan pekerjaan di dapur dan mencuci. Lalu beralih ke lantai atas untuk membersihkannya. Ketika melintasi ruang tengah di mana tangga berada, aku mendengar Mbak Ira sedang asyik menelepon. Entah dengan siapa, yang jelas sesekali tawanya terdengar sangat keras. Ini kesempatan bagiku untuk menggeledah kamar Mba Ira.Tanpa membuang waktu aku pun segera masuk kamarnya. Perlahan mulai mencari surat itu di tempat yang aku perkirakan menjadi penyimpanan benda itu. Pertama kali aku memeriksa lemari Mbak Ira yang terdiri dari lima pintu. Ini memang mungkin makan waktu cukup lama, maka aku hanya membuka laci, dimana biasanya orang-orang menyimpan surat berharga. Namun tak juga ketemu temukan, lalu beralih pada dua buah nakas yang berada di samping tempat tidur, di situ pun nihil. Hingga mataku tertuju pada meja rias, ada tiga buah laci di sana dan mungkin mereka menyimpan surat-surat itu di dalam laci meja rias.Namun sayangnya hanya satu laci saja yang bisa
"Ini kejadiannya sudah lama. Datanya mungkin sudah tidak ada di sini." Seorang pria berkacamata tebal membolak-balik poto yang kuberikan.Aku terdiam lalu saling tatap dengan Mas Fikri. Pernyataan yang barusan diucapkan oleh petugas KUA membuat harapanku memudar."Namanya sudah jelas, Nuning dan Rahman." Aku tak mau tinggal diam.Aku yakin petugas KUA ini bukan kesulitan mencari data pernikahan tersebut, namun sepertinya dia malas. Meskipun di zaman itu segalanya belum serba digital, tapi aku yakin ada arsip yang tersimpan."Alamat ini benar 'kan?" Aku menunjuk kota kecamatan yang tertulis dibalik poto itu."Benar. Ini alamat kantor KUA di sini.""Tolonglah Pak, saya sedang mencari keberadaan Ibu saya," pintaku sekali lagi."Baiklah, nanti kalian datang lagi setelah jam istirahat. Karena data yang tersimpan di dalam internet kami adalah beberapa tahun setelah tanggal pernikahan ini. Jadi kami harus mencarinya secara manual." Baru mendengar kesanggupan petugas KUA itu aku sudah bahagi
"Dari beberapa motor yang diupload dan mengalami kerusakan, bahkan ada yang dibakar. Itu salah satunya milik Reno, Mas hapal betul plat nomornya.""Mudah-mudahan hanya motornya saja yang rusak.""Coba lihat ini, banyak yang upload di status WA." Mas Fikri menyodorkan ponselnya.Tanpa membuang waktu aku pun menerima lalu membuka aplikasi WA di ponsel Mas Fikri. Langsung membuka status WA temen-temen suamiku itu. Benar saja, berbagai video tentang kerusuhan tawuran di dekat pasar itu terekam jelas dan salah satu motor yang terbakar aku yakin itu punya Reno.Dan setelah kubuka, status lainnya menampilkan banyak korban yang sedang dirawat di rumah sakit. Salah satunya aku yakin adalah Reno, terlihat dari gelang yang dipakainya."Aku juga yakin kalau ini adalah Reno. Ya ampun, tapi kenapa Bang Usman dan Mbak Ira tidak menghubungiku? Malah Rendi sendiri yang menelepon?""Mungkin mereka sedang sibuk."Melihat musibah itu seharusnya Aku senang, lantaran ini bisa saja karena hukuman yang diber
Tak kuhiraukan suara Bang Usman yang memanggilku. "Nur!" Namun langkahku terhenti ketika Bang Usman meraih dan mencekal lenganku. "Jangan dengarkan ucapan Mbakmu. Abang yang memanggilmu ke sini karena dari tadi Reno terus memanggilmu." Runtuh keegoisanku mendengar Bang Usman berkata seperti itu. Masuk di akal jika Reno lebih membutuhkan aku dari pada Ibunya. Anak itu lahir ketika aku masih duduk di bangku SMP. Sejak bayi Reno sering dititipkan pada Ibu, yang otomatis aku pun ikut mengurusnya. Maka tidak heran jika Reno dekat denganku. Hanya saja kalau masalah didikan, Mbak Ira memang dominan. "Begitu dia sadar dari kritisnya, kata pertama yang Reno ucapkan adalah namamu, Nur. Bukan Abang ataupun Mamanya."Karena aku masih terdiam, Bang Usman melanjutkan kalimatnya."Tinggallah, Dek. Biar Mas pulang bersama anak-anak. Tidak baik jika mereka berlama-lama di rumah sakit." Mas Fikri menghampiri lalu memberikan sejumlah uang padaku, katanya untuk bekal selama aku di rumah sakit. Aku i
Selama 8 hari aku menemani Reno di rumah sakit, itu pun hanya dua malam saja aku minta izin pada Bang Usman untuk menginap di rumah. Kasihan anak-anak jika terus menerus aku tinggalkan. Selain itu, sebagai istri aku punya kewajiban untuk suamiku. Aku juga harus membujuk Reno dengan susah payah ketika aku izin pulang dulu. Anak itu benar-benar tidak mau jauh dariku, membuatku bingung harus bagaimana mengambil sikap. Aku kasihan pada Reno, tapi aku juga punya tanggung jawab pada keluargaku. Selama delapan hari itu pula aku harus menunda pencarian Bu Nuning. Padahal aku ingin segera kembali ke Cirebon untuk mendatangi KUA dan bertanya pada Ibu pemilik warung."Reno tidak mau aku tinggal, Mas. Bahkan dia memintaku untuk tinggal di rumah Bang Usman selama dia belum sembuh." Aku mengadukan hal itu pada Mas Fikri. Selain minta pendapat juga minta izin. "Ikut saja, Dek. Bawa Nisa sekalian. Biar Naya Mas yang urus di sini." Tak kusangka Mas Fikri mengizinkan aku."Tapi ... ""Mas tidak apa-a
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan