Share

5. Makin Berani

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol.

"Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum.

"Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah.

Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gaya hidup kedua kakak iparku yang selangit. Meskipun Bang Usman dan Bang Halim memiliki pekerjaan yang bagus di perusahaan ternama, tapi itu tidak membuat mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tiba di rumah kontrakan, aku langsung membersihkan diri. Sementara dua anakku yang nampaknya kelelahan sudah tertidur pulas.

Setelah beberapa menit aku membereskan tempat tinggalku dan berniat untuk beristirahat, Mbak Ira kembali menghubungiku.

"Kamu sudah pulang 'kan, Nur?"

Sebelum menjawab, aku melirik Mas Fikri yang duduk tidak jauh dariku. Pria itu pun mengangguk, awalnya aku mau berbohong dengan mengatakan kalau aku masih di kampung. Lantaran sudah dapat kuduga maksud kakak iparku itu menghubungi.

"Iya Mbak, baru saja sampai. Belum ada satu jam." Sengaja aku berkata seperti itu mengharap Mbak Ira mengerti bahwa kami harus beristirahat.

"Kebetulan sekali, kalau begitu kamu langsung saja ke sini, ya, Nur!"

"Besok saja, Mbak. Sekarang aku capek! Lagian ini sudah sore, pekerjaannya tidak mungkin selesai sekarang." Aku menolak karena memang badan rasanya sekali.

"Besok itu beres-beres dan membersihkan rumah Mbak."

"Lalu sekarang untuk apa, Mbak?"

"Udah ah, kamu jangan banyak tanya. Pokoknya kamu ke sini sekarang juga!"

"Maaf Mbak, sepertinya aku tidak bisa."

"Eh, kamu sudah berani melawan, ya? Atau kamu mau, hasil penjualan rumah dan bengkel itu tidak Bang Usman berikan?!"

Rupanya kakak iparku itu memanfaatkan uang itu untuk mengancamku. Aku pun berpikir sejenak, khawatir kalau ucapan Mbak Ira akan menjadi kenyataan. Bisa saja ia membujuk suaminya agar menahan uang itu. Benar-benar licik!

"Cepetan! Mbak tunggu, ya!" Mbak Ira mengakhiri panggilannya, setelah itu aku pun melirik Mas Fikri yang menatapku penasaran.

"Ada apa, Dek?"

"Biasa Mas, Nyonya besar memanggilku ke rumahnya," jawabku malas.

"Bukankah ini sudah sore? Kalau mau beres-beres ruangan tidak akan cukup waktunya."

"Beres-beres itu besok, Mas. Sekarang ada pekerjaan lain katanya. Palingan juga aku disuruh masak. Biasanya juga seperti itu."

"Ya sudah, kamu pergi saja!"

"Sebenarnya aku capek, tapi barusan Mbak Ira mengancamku. Kalau aku tidak mau, nanti uang bagianku mau ditahan."

"Kalau masalah uang, kita 'kan sudah punya pemberian Bapak dan Emak. Lakukan saja ini sebagai perhatian pada saudara. Siapa tahu lama-lama hati mereka akan luluh melihat kebaikanmu." Selalu kalimat itu yang diucapkan oleh Mas Fikri. Suamiku itu selalu memintaku untuk bersabar dan bersabar.

"Kalau begitu, aku titip anak-anak dulu, ya, Mas. Nanti aku usahakan untuk pulang sebelum malam."

"Iya, pergi saja, Dek. Pakai saja motor biar nggak capek. Mas juga tidak akan kemana-mana."

Aku mengangguk karena biasanya aku menggunakan sepeda untuk pergi ke rumah Mbak Ira. Apalagi sekarang jaraknya lebih jauh lagi lantaran tempat tinggalku yang bergeser.

***

Benar saja, tiba di rumah Mbak Ira aku melihat ember yang penuh dengan ikan dan aku sudah tahu apa yang harus kukerjakan.

"Nanti malam ada teman-temannya Reno, mau makan-makan di sini. Kamu bersihkan dan sekalian siapkan semuanya!" Mbak Ira langsung memerintah.

"Kenapa Mbak Ira tidak pesen saja ke rumah makan. Itu bisa lebih hemat waktu."

"Jadi kamu tidak mau mengerjakan ini?!"

"Buka seperti itu, Mbak. Zaman sekarang ini, makanan apapun bisa dipesan dan yang jualan pun banyak."

"Kamu pikir itu tidak membutuhkan uang yang banyak?"

Aku terdiam lantaran mengerti jika pesan makanan itu butuh uang banyak. Sementara Mbak Ira bisa menggunakan tenagaku secara gratis. Jika dibayar pun jauh dari kata layak.

Tak membuang waktu aku pun langsung membersihkan ikan-ikan yang penuh satu ember, maksudnya supaya aku tidak pulang kemalaman.

"Habis ini sekalian dibakar, ya, Nur!"

"Sepertinya waktunya tidak cukup, Mbak. Aku harus segera pulang sebelum gelap soalnya tadi waktu ke sini aku tidak pamitan sama anak-anakku, mereka sedang tidur dan takutnya begitu bangun dia nyariin aku."

"Kan ada suamimu, lagi pula kamu juga kerja di sini nggak gratis."

Aku membuang napas kasar, tidak gratis tapi tidak layak juga. Tenagaku hanya bernilai tak lebih dari lima puluh ribu. Hanya cukup untuk membeli satu macam sayur dan tempe mendoan.

Tunggu saja, Mbak. Sebentar lagi kamu tidak akan bisa menyuruh-nyuruh aku seperti ini lagi. Setelah aku punya tempat tinggal yang layak, aku berencana untuk membuka usaha sendiri. Dengan begitu aku harap kakak-kakak iparku tidak akan bisa semena-mena lagi memeras tenagaku.

Belum juga selesai pekerjaanku, Mas Fikri menghubungiku. Tidak salah lagi, anak-anak pasti bangun dan mencariku.

"Sebentar lagi aku selesai, tolong tenangkan dulu mereka, ya."

"Iya, Dek, tapi Nisa tidak mau tenang."

"Sebentar lagi ya, Mas, ini hampir selesai, kok."

Setelah aku mengakhiri panggilan, cepat-cepat kuselesaikan pekerjaan. Sebenarnya masih banyak, namun hatiku tidak tenang pada anak-anak yang sedang mencariku. Lalu aku berinisiatif untuk menemui Mbak Ira yang duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel.

"Aku izin pulang sekarang, ya, Mbak."

"Memangnya sudah selesai?" tanpa menoleh ke arahku, Mbak Ira berkata dengan nada datar.

"Tinggal sedikit lagi, tapi barusan Mas Fikri menelepon, katanya Nisa rewel dan mencariku."

"Kalau kamu pulang, lalu siapa yang akan mengerjakan sisanya?"

"Mbak 'kan bisa? Atau anak-anak Mbak. Mereka 'kan sudah besar-besar, masak bakar ikan saja nggak bisa."

"Kalau aku yang mengerjakan, nanti kuku Mbak pada rusak. Mana sebentar lagi mau ada pesta. Sudah, pokoknya Mbak nggak mau tahu sebelum kamu pulang pekerjaan kamu harus sudah selesai!"

Ternyata apa yang aku pikirkan benar juga, sia-sia aku menemui Mbak Ira untuk meminta izin pulang lebih cepat. Akhirnya aku pergi lagi ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan, masih ada beberapa ikan yang belum dibakar. Cepat-cepat kau selesaikan, tak peduli meskipun sebagian gosong. Kuakali dengan menaruh ikan-ikan gosong itu di bagian bawah, jadinya ketika Mbak Ira nanti memeriksa tidak akan kelihatan.

"Sudah, Mbak. Aku akan pulang tapi aku minta ikan untuk makan nanti di rumah." Kutatap Mbak Ira yang sedikit melebarkan matanya. Mungkin kakak iparku itu heran karena sekarang aku berani meminta ikan.

"Kenapa! Mbak tidak mau ngasih? Ya sudah, kalau begitu aku ambil sendiri, yang penting aku sudah izin." Aku pun bergerak untuk mengambil ikan dan memindahkannya ke dalam kantong plastik.

"Eh, tunggu! Biar Mbak yang ambil." Mbak Ira melangkah cepat lalu merebut sendok dan plastik yang ada di tanganku.

"Kamu bawa yang kecil-kecil aja, lagi pula anak-anakmu 'kan masih kecil-kecil." Mbak Ira memasukkan 2 buah ikan yang kecil-kecil.

"Di rumahku 'kan ada 4 orang, Mbak. Masak ikannya cuma dua?!"

"Ini untuk anakmu saja, kamu 'kan sudah gede. Makan durinya aja bisa." Mbak Ira menyerahkan plastik yang sudah berisi dua buah ikan bakar. Aku hanya bisa menghela panjang sambil menerimanya.

"Ya sudah, aku permisi. Tapi aku minta bayaranku sekarang, soalnya di rumah lagi tidak punya bumbu."

"Eh, sekarang kamu sudah berani minta bayaran?"

"Kalau Mbak Ita tidak mau membayar, aku ambil lagi ikannya, deh." Kemudian aku berlagak untuk mengambil ikan.

"Jangan! Ini ambil!" Mbak Ira mengambil uang di saku celananya lalu memberikan tiga lembar uang puluhan padaku.

"Cuma segini, Mbak? Yang tempo hari aku masakin buat teman kantornya Bang Usman malah sama sekali belum dibayar. Mbak ingat 'kan?"

"Halah, itu nanti lagi. Sekarang kamu cerewet, ya?!"

Kuayunkan langkah meninggalkan rumah Mbak Ira sambil tersenyum. Sekarang mungkin aku masih cerewet, Mbak. Kedepannya Aku bahkan akan berani membantah.

Related chapters

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    6. Aku Juga Butuh Uang

    Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak."Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi."Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi.""Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ika

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    7. Tak diberi Seragam

    "Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku."Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku."Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kak

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    8. Dikira Imitasi

    Hari pernikahan Rani pun tiba. Sebuah pesta yang mewah digelar di rumahnya Bang Usman. Dari tiga hari yang lalu aku sudah sibuk membantu persiapan acara. Tak satupun kerabatnya Mbak Ira yang membantu. Tapi hari ini aku tidak mau tahu lagi urusan belakang.Aku datang pagi-pagi sekali, bersama Mas Fikri dan dua putriku yang cantik-cantik dengan dress berwarna lilac yang sama denganku. Lima hari yang lalu Mas Fikri mengajak kami berbelanja baju couple untuk dipakai hari ini. "Pilih yang terbaik, Dek. Kalian harus tampil maksimal besok.""Tapi yang bagus itu mahal, Mas.""Ya, enggak apa-apa. Beli aja!" Akhirnya aku menurut, kupilih baju yang paling mahal yang kebetulan tersedia juga ukuran untuk dua putriku. Untuk Mas Fikri juga kupilihkan atasan batik dengan warna senada. Tak lupa juga sepatu dengan hak tinggi untuk menunjang penampilanku supaya lebih sempurna."Habis ini kita mampir ke toko perhiasan, Dek.""Untuk apa, Mas?""Ya, untuk beli perhiasan, Dek. Masa beli pecel lele," jawab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    9. Menolak Kerja Bakti

    "Mas, kalau aku pikir-pikir, mungkin lebih baik kita beli mobil sekarang.""Kenapa kemarin Dek Nurma mengangguk ketika Mas bilang beli mobilnya nanti saja. Kok, sekarang berubah pikiran?" Mas Fikri menautkan alis ketika malam ini, sebelum kami tidur, aku mengutarakan keinginanku untuk cepat-cepat membeli mobil."Anak-anak sudah semakin besar, tadi saja waktu ke pestanya Bang Usman motor hampir nggak muat. Belum lagi kalau salah satu dari mereka tidur, makin berabe saja." Aku beralasan, padahal yang sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan hinaan kakak-kakakku dan istri-istrinya."Jadi, yakin nih, sekarang pengen beli mobil?" Mas Fikri kembali bertanya sambil tertawa geli meledekku."Yakin, Mas.""Nanti kita malah dikira ngepet. Pakai baju bagus dan perhiasan saja, disangka minjem, melihat uang di dompet banyak, disangka pinjol," lanjut Mas Fikri karena sebelumnya aku sudah menceritakan reaksi Mbak Diah dan Mbak Ira ketika melihat penampilanku tadi siang."Ya, nggak apa-apa, Mas. Dikira

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    10. Anak Haram

    Meski baru lima hari aku membuka toko sembako di pasar, tapi alhamdulillah sudah punya pelanggan. Sengaja aku memasang harga sedikit lebih murah untuk menarik pembeli, yang penting ada sedikit sisa dari modal. Aku pernah mendengar bahwa rezeki itu tertakar dan tidak mungkin tertukar. Jadi meskipun banyak toko serupa di pasar, jika sudah rezeki maka pelangganku akan datang sendiri. Aku pun punya banyak waktu untuk keluarga, sebab jualan hanya rame sampai jam 15.00 saja.Sebenarnya Mas Fikri sempat ragu untuk mengizinkan aku berjualan. Dia bilang urusan mencari nafkah itu tanggung jawabnya. Tapi setelah aku membujuknya, akhirnya dia mengizinkan juga dengan syarat aku tidak boleh terlalu cape dan tentu saja aku tidak boleh lalai pada tanggung jawabku sebagai seorang istri dan juga ibu. Selain itu, aku punya alasan sendiri sebelum memutuskan untuk mencari kesibukan dengan cara berjualan. Disamping ingin merubah perekonomian keluargaku, aku juga ingin menghindari pekerjaan di rumah Mbak Ir

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    11. Bukan Rahim Ibu

    "Ap-apa?! Abang bilang aku anak haram?" Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Bagaimana tidak, kalimat yang tidak pernah aku duga itu terucap dari mulut Bang Usman dalam keadaan sangat marah.Mendapat pertanyaan seperti itu, Bang Usman seperti menyadari sesuatu. Kakak tertuaku itu, sejenak hanya tertegun kemudian saling tatap dengan Bang Halim. Mbak Ira pun sontak menutup mulutnya sementara matanya membelalak. Aku beralih pada Mbak Diah yang tadi menunduk dan terisak, bahkan sempat histeris, kini wanita itu pun terdiam seperti menahan nafas."Ada apa sebenarnya, Bang? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?!" Nafasku memburu, aku berusaha menguasai diri.Bang Usman masih diam. Tak ada penjelasan apapun dari mulut kedua kakakku. Mereka hanya saling pandang lalu masing-masing berpaling sambil membuang napas kasar."Bukankah aku juga anak Bapak dan Ibu? Kalau aku anak haram, tolong jelaskan padaku!" Aku bertanya lagi dengan nada meninggi.Tapi keduanya masih bungkam, hanya mata Mbak I

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    12. Jejak Ibu

    Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai di rumah Bi Rahmi. Wanita yang sudah semakin tua itu menyambut kedatangan kami dengan gembira. Selain bapak dan Ibu, Bi Rahmi memang cukup dekat denganku. Hanya sayangnya beliau tinggal agak jauh karena ikut suaminya. Setelah suaminya tiada pun beliau masih menetap di sini."Bagaimana kabar kalian, kenapa lama tidak berkunjung ke sini?""Maafkan kami, Bi. Setelah kepergian Ibu, memang kami sibuk mengurus tahlilan. Dan setelah itu aku sibuk pindah rumah.""Pindah rumah? Kalian pindah ke mana? Bukankah itu rumah untukmu?"Lalu aku menceritakan pada Bibi perihal rumah yang dijual oleh Bang Usman dan sampai saat ini uang itu belum sampai ke tanganku. Bahkan kemarin aku mendapatkan berita yang sangat mengejutkan."Maksud kedatanganku ke sini untuk menanyakan pada Bibi. Apa benar yang dikatakan oleh Bang Usman itu?"Bi Rahmi terdiam, sepertinya ia juga tidak siap menceritakan sesuatu padaku."Tolong katakan saja, Bi. Aku ingi

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    13. Dikira Kredit

    "Makan dulu, Dek. Kamu jangan terlalu larut dalam masalah ini. Nanti kalau mobil kita sudah datang, Mas janji kita akan mencari ibu Nuning."Mendengar itu sontak aku menoleh ke arah suamiku."Beneran, Mas?""Walau bagaimana dia adalah ibu yang mengandung dan melahirkanmu. Meskipun tidak mengurusmu, dia tetap Ibumu. Kita harus menemukan beliau entah itu orangnya ataupun pusarannya."Tak terasa air mataku pecah lagi, bagaimana kalau saat ini Bu Nuning sudah meninggal? Aku belum sempat berterima kasih pada beliau karena perjuangan yang mengandung dan melahirkan aku. Aku juga ingin tahu apa alasannya hingga beliau tidak merawatku. "Menurut Mas Fikri, kira-kira kenapa Bu Nuning tidak mau merawatku? Apa mungkin beliau tidak menginginkan aku!""Kita jangan berburuk sangka dulu, Dek. Siapa tahu ada alasan yang membuat kalian harus berjauhan. Mas pikir tidak ada Ibu yang tidak mau merawat anaknya.""Atau ... jangan-jangan Ibu sudah tiada, hingga ayah membawaku pulang ke sini lalu kembali pada

Latest chapter

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    76. Sepakat

    Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    75. Fakta Suamiku

    Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    74. Membalas

    Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan

DMCA.com Protection Status