Home / Pernikahan / WARISAN YANG DIRAMPAS / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of WARISAN YANG DIRAMPAS : Chapter 41 - Chapter 50

82 Chapters

41. Titik Terang

"Mas, aku jadi gugup.""Tenang, Dek. Semoga kabar baik yang akan kita dapat."Mas Fikri meraih tanganku lalu menggenggamnya kuat. Dengan cara seperti itu pun aku sudah merasa lebih tenang.Sesuai dengan petunjuk pria yang ada di tukang mie ayam tadi, mobil kami berhenti tidak jauh dari pertigaan. Setelah itu kami pun turun lagi di depan sebuah warung. Setelah berbasa-basi aku pun bertanya pada ibu warung tersebut."Mungkin yang dimaksud adalah Bu Wahyuning, ya?""Kurang tahu juga, Bu. Setahu saya namanya Bu Nuning.""Kalau tidak salah sih, nama aslinya Wahyuning. Dulu memang dia tinggal di sini."Sampai pada kalimat itu aku menahan nafas, jangan-jangan yang dimaksud si Ibu, Bu Nuning sudah tidak tinggal di sini lagi."Maksud Ibu, sekarang dia tidak tinggal di sini lagi?""Kalau Bu Nuning yang itu memang sudah tidak tinggal di sini lagi.""Ini fotonya, barangkali Ibu kenal." Aku menyodorkan foto pernikahan Bapak dan Bu Nuning, karena itu satu-satunya foto yang kumiliki."Sepertinya be
last updateLast Updated : 2023-06-30
Read more

42. Tetangga Baru

Satu persatu harta Bang Usman lenyap. Rentetan kejadian pasca dia merampas warisanku seharusnya membuat dia sadar, bukannya malah semakin menjadi. Bang Usman dan Mbak Ira itu sudah satu paket, sama-sama serakah dan dengki. Bedanya, Mbak Ira banyak ngomong kalau Bang Usman lebih banyak bertindak dalam diam.Panggilan berakhir, karena terdengar suara Mbak Ira mendekati. Reno sepertinya takut ketahuan kalau sedang meneleponku. Semenjak aku merawatnya, anak itu memang banyak curhat dan lebih dekat denganku. Saat ini aku sedang berada di rumah baru, para pekerja sedang membereskan interior dapur, itu sebabnya Mas Fikri meminta aku untuk mengawasi mereka karena aku yang akan menjadi ratu di dapur itu. Ada-ada saja. Tapi memang iya juga."Umi, aku haus pengen minuman dingin," ujar Nisa sambil memegang lehernya persis di bagian bawah dagunya. "Oh iya, Umi lupa membawa air minum. Kalau begitu kita beli saja.""Hore, ke Al*a depan 'kan, Mi? Sekalian beli es krim, ya." Nisa bersorak senang, be
last updateLast Updated : 2023-06-30
Read more

43. Pov Usman

Kehadiran Nurma dalam keluarga kami, bagiku merupakan mimpi buruk. Aku masih ingat saat itu usiaku sudah remaja, ketika suatu malam Ibu pulang bersama Bapak dengan seorang bayi yang belum genap satu tahun. "Bayi siapa, Bu?" tanyaku karena heran, Ibu pergi sejak siang dan pulang malam dengan membawa seorang bayi."Ini adikmu, anak Ibu dan Bapak," jawab Ibu tenang. Beliau mengusap kepala bayi yang ada dalam gendongannya dengan lembut. Nampak sekali kalau Ibu sangat menyayangi anak tidak jelas itu."Bagaimana bisa? Ibu tidak hamil, Bapak juga sudah beberapa tahun tidak pulang?!" Aku menajamkan pandangan, tiba-tiba ada rasa tidak suka melihat perhatian Ibu pada anaknya itu."Sudahlah, kamu jangan banyak tanya. Mulai saat ini, dia adalah adikmu dan anak bungsu di keluarga kita. Namanya Nurma, bukankah kalian menginginkan adik perempuan?"Lelucon macam apa ini? Tanpa memikirkan perasaanku, Ibu meminta hal yang sulit kulakukan. Jangankan menganggapnya sebagai adik, melihat keberadaannya pun
last updateLast Updated : 2023-07-01
Read more

44. Pov Usman

Setelah Ibu meninggal, dua tempat itu aku jual dengan dalih hasilnya akan dibagi tiga, saat itu Nurma juga tidak bisa melawan. Apalagi Si Fikri, awas aja kalau dia berani ikut campur urusan keluarga kami.Dengan berbagai macam alasan aku tetap menahan uang itu. Enak sekali si Nurma, dia yang entah lahir dari rahim siapa, tiba-tiba berada di tengah keluarga kami lalu mengambil sebagian harta yang harusnya menjadi milik kami berdua. Terlepas dia anak kandung Bapak ataupun bukan. Tapi sepertinya Nurma memang anak kandung Bapak, buktinya waktu menikah Bapak sendiri yang menjadi walinya. Bodo amat, toh Bapak dan Ibu sudah tidak ada, mereka tidak akan tahu dua tempat itu dibagi tiga atau tidak. Sialnya, Nurma terus mendesakku untuk memberikan uang itu hingga habis kesabaranku dan aku keceplosan mengatakan bahwa dia adalah anak haram. Setelah itu aku tahu Nurma mencari kabar tentang Ibu kandungnya, tapi tenang saja, wanita itu sudah tidak ada di tempat. Aku tidak akan membiarkan Nurma berte
last updateLast Updated : 2023-07-01
Read more

45. Rumah Baru

Pov NurmaHari yang ditunggu telah tiba. Kami pindah ke rumah baru. Anak-anak begitu senang, apalagi sekarang mereka punya kamar masing-masing. Meski tetap saja tidur berkumpul di kamarku, maklumlah keduanya belum terbiasa tidur sendiri lantaran sebelumnya memang tidak punya kamar banyak. Setidaknya mereka bisa berekspresi di kamar mereka, dengan menaruh barang-barang pribadi serta koleksi boneka mereka.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mbak Hesti sudah datang berkunjung, padahal saat itu aku sedang bersiap-siap pergi ke toko."Mbak Nurma mau pergi, ya?" tanyanya ketika melihatku sudah bersiap. Sementara Mas Fikri sedang memanaskan mesin mobil."Iya Mbak, kebetulan saya mau ke pasar sekalian mengantar anak saya ke sekolah," jawabku sambil mengacungkan tas berisi bekal Naya ke sekolah. Kebetulan anak pertamaku itu masih bersekolah di tempat yang lama, yang jaraknya lumayan jauh. Hari ini rencananya aku mau mengurus untuk pindah ke sekolah yang lebih dekat."Wah, mau belanja, ya?""Eu
last updateLast Updated : 2023-07-02
Read more

46. Tidak Mau Pulang

Anak-anak Mbak Ira dibesarkan oleh uang, bukan oleh kasih sayang. Asal sudah memberi uang jajan, Mbak Ira tidak mau tahu apa yang dilakukan anak-anak di sekolah maupun selepas itu. Kedua orang tuanya, tidak tahu dengan siapa saja Reno bergaul dan ke mana saja anak itu selepas sekolah. Kadang Mbak Ira pun pulang sore. Karena kesepian, Reno memilih bergaul dengan teman-temannya yang mungkin punya kesamaan. Beberapa kali Reno ditahan di kantor polisi, meskipun hanya satu atau dua hari karena kasus dengan geng motornya. Kasus tawuran yang membuatnya cedera kemarin pun buka sekali terjadi. Hanya saja sebelumnya tidak pernah separah itu, mungkin kemarin Reno sedang naas.Apalagi Rani, sebagai anak perempuan paling tua, aku tahu Mbak Ira seperti melimpahkan tanggung jawab adik-adiknya pada Rani. Anak itu kerap diminta untuk menjaga Reno dan Rendi. Meski terpaksa, Rani selalu melakukannya. Setelah kedua adiknya besar, Rani memilih kuliah di luar kota. Padahal di kota ini terdapat universitas
last updateLast Updated : 2023-07-03
Read more

47. Dua Ponakanku

"Sepertinya Mas Fikri perlu menambah karyawan lagi," ucapku setelah dia selesai membersihkan diri."Nanti saja, Dek. Sejauh ini masih bisa ditangani. Toh tidak setiap hari, hanya sekali-kali saja.""Aku cuma gak mau Mas Fikri kecapean.""Sejauh ini masih bisa ditangani. Oh ya, apa Dek Nurma sudah mengabari Emak kalau kita sudah pindahan?""Sudah Mas, kalau tidak salah kemarin sore. Memangnya kenapa?""Tadi siang mas Fahmi telepon kalau Emak dan Bapak minta dijemput. Katanya mau liat rumah baru kita.""Kalau begitu besok Mas Fikri jemput mereka.""Kamu gak ikut?""Aku nyiapin jamuan untuk mereka saja di rumah. Supaya pas Emak dan Bapak datang, makanan sudah siap.""Baiklah, kalau begitu besok pagi-pagi Mas berangkat."*** Pagi-pagi sekali mas Fikri pergi menjemput orang tuanya. Katanya, Emak sudah tidak sabar ingin melihat rumah kami. Aku pun hanya setengah hari di toko. Lepas itu pulang untuk menyiapkan jamuan. Karena diperkirakan sebelumnya hari gelap Emak dan Bapak sudah datang."W
last updateLast Updated : 2023-07-04
Read more

48. Jangan Usir Kami

Aku semakin mendekati ketika keduanya saling menarik diri. Mbak Hesti menatap Rani dengan tatapan sedih juga. "Kalian .... " Aku menatap keduanya bergantian."Sebaiknya Rani dibawa masuk dulu Mbak," usul Mbak Hesti sambil merangkul bahu Rani. Benar 'kan, Mbak Hesti sudah tahu nama Rani.Wanita itu pun urung pulang. Makanan yang tadi aku berikan disimpan begitu saja di teras rumahku. Dia sendiri dengan gesit memapah Rani memasuki rumah lalu menemaninya duduk di sofa."Tiduran di kamar saja, Ran," ucapku pada Rani agar bisa beristirahat dengan nyaman."Di sini saja, Bi. Aku nggak apa-apa, kok," tolak Rani sambil memiringkan tubuhnya, lalu perlahan berbaring di atas sofa.Melihat itu aku segera pergi ke kamar terdekat lalu membawa bantal dan selimut. Kuberikan pada Mbak Hesti supaya membantu Rani menggunakan dua benda itu. Setelah melihat Rani tiduran dengan nyaman, aku duduk di kursi yang lain. Ada banyak pertanyaan yang harus kau ajukan pada Rani dan Reno perihal kedatangan mereka. Ju
last updateLast Updated : 2023-07-05
Read more

49. Emak dan Bapak

Setelah Reno mulai makan, aku pun pergi membawa makanan untuk Rani. Kupilih makanan yang tidak pedas karena dia masih sakit."Apa Reno sudah cerita sama Bibi?" tanya Rani begitu aku duduk di samping ranjang."Sudah barusan.""Please, jangan usir kami, ya, Bi.""Tapi bagaimana kalau orang tuamu datang ke sini lalu meminta kalian pulang. Nanti Bibi juga yang kena marah Papamu.""Pokoknya aku nggak mau. Papa terus mendesakku untuk pulang ke rumah Mas Andre, padahal saat itu dia sudah mengusirku. Ini memang salahku yang tidak bisa menjaga diri." Rani duduk lalu menerima piring yang kuajukan dan bersiap untuk makan."Apa yang kamu lakukan itu memang salah. Tidak seharusnya kamu menyerahkan apa yang menjadi kebanggaan seorang wanita pada pria yang tidak halal, terlepas dia calon atau bukan calon suamimu.""Saat itu aku dijebak oleh teman-temanku. Aku tak sengaja melakukannya dalam keadaan setengah sadar." Rani berhenti menyuap beberapa saat."Apapun alasannya itu tetap salah. Coba saja kala
last updateLast Updated : 2023-07-06
Read more

50. Bersitegang

"Ada di kamar tamu. Tadi mereka sempat panik saat Mbak Ira menelepon. Lalu ketika mendengar suara mobil berhenti mereka pun tambah panik, disangkanya orang tua mereka yang datang.""Kasihan sekali mereka, sepertinya punya trauma tersendiri. Kalau mereka tidak mau pulang, jangan dipaksakan. Ini demi kesehatan mental mereka." Mas Fikri memberikan pendapat."Tapi bagaimana dengan orang tuanya, Mas. Bang Usman pasti akan memarahi kita.""Jangan terlalu dipikirkan. Kita pikirkan saja mental Rani dan Reno. Soal Bang Usman, bukankah sebelumnya pun dia sudah tidak suka pada kita. Jadi itu tidak akan berpengaruh pada kita. Soal caci maki, anggap saja burung beo."Setelah mendengar pendapat Mas Fikri, aku jadi lebih tenang. Jika aku memikirkan sikap Bang Usman terhadapku, maka sama aja aku ini egois. Lebih mementingkan perasaanku daripada mental anak-anak."Setelah itu aku pun menemui mereka di kamar, memberikan kabar bahwa Mas Fikri mengizinkan mereka tinggal di sini. Keduanya langsung bersora
last updateLast Updated : 2023-07-07
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status