Home / Pernikahan / WARISAN YANG DIRAMPAS / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of WARISAN YANG DIRAMPAS : Chapter 31 - Chapter 40

82 Chapters

31. Terlanjur

"Sayang, kok kamu naik taksi? Ke mana suamimu?" Mbak Ira bergegas menghampiri anak perempuannya itu.Namun bukannya menjawab, Rani malah menangis sambil memeluk Mamanya. "Ada apa, Sayang?" Mbak Ira melonggarkan pelukannya hingga terlihat wajah Rani yang sembab dan ...."Apa ini?!" Pekik Mbak Ira sambil mengusap sudut bibir anak sulungnya."Aw! Sakit, Ma!""Iya, tapi kenapa?" Mbak Ira bertanya dengan suara tinggi. Panik.Rani kembali terisak, bahunya bahkan sampai terguncang. "Ya sudah, kita masuk aja, ya." Mbak Ira merangkul bahu Rani kemudian membawanya masuk ke rumah tanpa menghiraukan trolly bag yang teronggok di halaman."Mentang-mentang ada aku, trolly bag ini diabaikan." Aku bergumam sambil menghampiri benda itu lalu menyeretnya ke dalam rumah setelah mengajak Nisa ikut serta. Di dalam rumah, Mbak Ira sedang duduk berdampingan dengan Rani. Gadis itu masih terus sesenggukan. Setelah meletakkan trolly bag, aku pun tak lantas keluar. Sedikit kepo pada apa yang terjadi dengan Ran
Read more

32. Mobil Siapa

Keadaan Rani sebenarnya belum stabil anak itu masih sering melamun sendiri, tapi karena tuntutan ia pun pergi bekerja. Entah apa yang terjadi dalam rumah tangganya, aku tidak tahu secara detail. Yang jelas Rani adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Ngeri sekali, padahal rumah tangga mereka masih dalam hitungan hari. Aku sempat menguping beberapa kali pembicaraan Rani dan Mbak Ira saat dia baru ada di sini. Wajahnya yang lebam itu membuat Rani tidak masuk kerja beberapa hari mungkin karena ia malu. Saat itu Rani mengatakan kalau karakter Andre, suaminya berubah 100% dari ketika mereka masih pacaran. Andre yang dulu lemah lembut dan bucin berubah menjadi temperamen setelah menikah. Dia pun kerap pulang larut dengan mulut bau alkohol. Pagi ini kulihat Rani belum bersiap untuk pergi bekerja, ia masih bermalas-malasan di kamarnya. Itu kutahu karena Mbak Ira menyuruhku mengantarkan air hangat ke kamar Rani. Wajahnya pun pucat dan berantakan."Kamu sakit, Ran?" tanyaku sambil menyodor
Read more

33. Dua Orang Asing

Tapi sepertinya Mbak Ira tidak jadi berangkat, sebab terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Karena penasaran aku pun berlari ke balkon. Benar saja, sebuah mobil yang tak kukenal terparkir di sana. Tapi mobil siapa? Sebelumnya aku tidak pernah melihat mobil tersebut. Ah, mungkin itu mobil temannya Mbak Ira yang datang menjemput atau salah satu kerabatnya yang datang bertamu."Ada apa Bi?" tanya Rani ketika melihat aku tergesa-gesa ke balkon."Eum ... itu. Sepertinya ada yang datang.""Mas Andre, bukan?" tanya Rani lagi, panik. Iya sampai bangkit dari posisi semula yang berbaring."Nggak tahu juga, mobilnya nggak aku kenal.""Bibi lihat ke bawah, kalau Mas Andre yang datang tolong bilang akunya nggak ada.""Loh, kenapa?""Aku sudah nggak mau bertemu dengan pria itu. Dia penipu dan suka main tangan.""Kalau terus menghindar seperti ini, masalahnya tidak akan selesai-selesai, Ran."Tempo hari ketika Andre datang, Rani juga tidak mau menemuinya. Padahal katanya saat itu Andre dat
Read more

34. Mobil yang Diambil

Aku pun segera membantu Reno meminum obat. Setelah itu naik ke lantai atas menemui Rani. Namun baru saja akan menaiki tangga, Mbak Ira menyerobot langkahku. Bahkan hampir saja aku terjatuh karena tersenggol olehnya. Setengah berlari Mba Ira pun menaiki anak tangga. Karena penasaran, aku pun aku pun bergegas mengikutinya. Wanita itu sedang membuka kunci ruang kerja dengan terburu-buru pula. Berlaga tidak ingin kepo, aku pun segera memasuki kamar Rani."Belum sarapan juga?" tanyaku ketika melihat bubur di atas nakas masih utuh."Nanti aja deh, aku belum selera. Siapa yang datang?""Tamunya Mama.""Tamu siapa? Bibi kenal?""Tidak.""Wanita atau laki-laki?""Dua orang laki-laki.""Siapa, ya?"Bersamaan dengan itu terdengar itu ruangan kerja Bang Usman ditutup. Sepertinya terburu-buru karena menimbulkan suara yang gaduh. "Mau sarapan sekarang?" Karena tidak fokus aku malah bertanya ulang."Nanti aja. Tadi 'kan sudah nanya.""Ah iya, Bibi lupa."Karena Rani masih malas di atas tempat tidur
Read more

35. Mencari

Perlahan kuputar anak kunci dan segera masuk ruangan dengan langkah perlahan. Aku yakin surat wasiat itu ada di ruangan ini. Ruangan ini cukup luas, membuatku bingung harus mulai mencari dari mana. Sementara waktuku terbatas. Kalau Reno sih, aman, tidak mungkin dia tiba-tiba berada di ruangan ini, lantaran anak itu belum bisa berjalan dengan normal. Sementara Nisa aman di lantai bawah, semua pintu sudah kukunci. Kalaupun ia mencariku pasti akan dimulai dengan memanggil namaku.Yang sangat kukhawatirkan adalah Rani, bagaimana kalau gadis itu tiba-tiba bangun dan masuk ke ruangan ini. Mudah-mudahan dia anteng bermalas-malasan.Ada beberapa barang yang dicurigai tempat menyimpan surat wasiat itu. Diantaranya satu buah lemari dengan tiga buah pintu, laci yang berada di meja kerja, juga satu buah nakas di sudut ruangan.Aku memulai dari laci meja kerja saja. Ada empat laci besar yang terdapat di sisi kiri meja. Kutarik yang paling atas dan ternyata tidak dikunci. Satu persatu kubuka dan k
Read more

36. Ditemukan

Hening."Nisa, Sayang?""Di sini." Terdengar suara Reno yang menyahut dari kamarnya. Ternyata Nisa sedang asyik menonton kartun di kamar Reno. "Nisa pindah ke sini?" "Tadi aku nyariin Umi, tapi kata Mas Reno di sini saja nonton kartun," jawab Nisa pelan."Ya sudah, enggak apa-apa. Nisa di sini saja, ya."Setelah itu aku pun melanjutkan langkah ke dapur lalu tiga menit kemudian kembali ke kamarnya Rani dengan segelas teh hangat. Rani hanya meneguk sedikit lalu kembali berbaring. Orang ngidam memang seperti itu, apalagi kalau kebetulan ada yang memanjakan jadi tambah manja.Setelah Rani kembali rebahan, aku pun berpamitan dengan alasan mau melanjutkan mencuci piring. Padahal aku kembali ke ruang kerja Bang Usman. Dengan langkah cepat karena tidak ingin membuang waktu, aku pun segera menuju nangkas tempat di mana tadi kutemukan surat wasiat itu dan belum sempat kubaca.[Sudah, Dek?] Satu pesan masuk dari Mas Fikri.[Belum, Mas. Barusan Rani memanggilku dan aku membuatkan teh hangat dul
Read more

37. Mencibir

Hari ini mood-ku benar-benar hancur. Aku terus teringat pada surat wasiat itu. Bisa-bisanya selama beberapa tahun ini aku mengira semua baik-baik saja. Bahkan dari sejak aku kecil. Tidak ada yang mencurigakan dari Bu Farida, dia menyayangiku seperti halnya menyayangi Bang Usman dan Bang Halim. Bahkan kerap menegur ketika dua kakakku itu bersikap tidak baik padaku. Tapi aku mengerti sekarang, kenapa Bapak tidak bisa bersikap tegas termasuk perihal pendidikanku. Bisa saja karena Bapak tertekan. Entah oleh Ibu atau kakak-kakakku.Beruntung sore ini Mas Fikri mengajakku melihat rumah baru kami. Memang sudah siap huni, tinggal mengisi dengan furniture. Sore ini pun kami langsung berbelanja beberapa barang yang dibutuhkan di rumah baru itu, seperti tempat tidur dan peralatan dapur. Kamar anak-anak juga perlu di desain ulang supaya mereka betah, jadi harus sesuai keinginannya. "Mungkin cukup seminggu untuk beres-beres. Kita suruh orang saja, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami keluar dari
Read more

38. Tidak Jadi Belanja

Fitri dan Yani saling tatap. Mungkin mereka heran melihat sikap Mbak Ira seperti itu. Apalagi orang yang direndahkan itu adalah Bos mereka. Kuberikan isyarat pada mereka kalau aku baik-baik saja dan mereka tidak usah khawatir. Beruntung mereka mengerti dan kembali bekerja. Aku pun lanjut melayani para pembeli lain yang ingin membayar belanjaannya. Tempat ini lumayan strategis, itu sebabnya meski toko ini terbilang baru, tapi sudah banyak pelanggan. Di samping karena sengaja aku pasang harga miring. "Wah, tumben Bu Bosnya datang. Waktu kemarin aku ke sini dua kali selalu tidak ada. Fitri bilang kalau Mbak Nurma sedang ada keperluan keluarga." Tak kuduga, seorang pelanggan yang rutin belanja untuk warungnya sudah berdiri di depan meja kasir. Wanita bertubuh subur di antrian terakhir itu pun berbicara dengan suara nyaring. "Iya, Bu. Kebetulan ada urusan sedikit. Jadi sempat tidak ke pasar beberapa hari," jawabku sambil melirik ke arah Mbak Ira yang sepertinya mendengar percakapan kami
Read more

39. Kabar Duka

Mbak Ira tidak jadi belanja di toko, bagiku suatu keuntungan. Sebab jika belanja di sini pun malah akan membuat kerusuhan. Sebelum dia tahu toko ini milikku, Fitri sudah sering bercerita kalau Mbak Ira kerap menawar dengan harga rendah, bahkan sempat meminta untuk berutang. Yang kukhawatirkan setelah tahu siapa pemilik toko ini, dia malah makin berani menawar bahkan memaksa untuk berhutang. Tapi nyatanya dia malah pergi, bagiku Alhamdulillah.Malam harinya aku ceritakan apa yang terjadi di toko tadi pada Mas Fikri. Ternyata dia mengetahui keberadaan Mbak Ira di toko, makanya dia berkata seperti itu."Sudah saatnya mereka tahu kalau kita punya rumah dan punya usaha, Dek. Siapa tahu mata mereka terbuka, bahwa rezeki itu bukan dia yang atur, tapi Allah. Sekuat apapun mereka menahan rezeki kita, jika Allah menghendaki, tidak akan ada yang bisa melawannya. Mulai sekarang, tunjukkan pada mereka bahwa kita juga bisa."Mas Fikri yang selama ini selalu memintaku untuk bersabar menghadapi sikap
Read more

40. Alamat

Tujuan pertamaku adalah warung di samping KUA. Aku masih penasaran pada Ibu pemilik warung tersebut yang tempo hari memperhatikan aku. Siapa tahu dia kenal dengan Bu Nuning. "Ibu masih ingat saya?" tanyaku ketika warung agak sepi dan punya kesempatan untuk ngobrol.Bukannya menjawab, si Ibu malah memperhatikan aku dari atas sampai bawah. "Neng ini yang waktu itu makan di sini, ya. Yang tergesa-gesa pergi?"Ternyata dia masih ingat, saat itu aku memang tergesa-gesa pulang lantaran mendengar Reno masuk rumah sakit. "Wah, ibu ternyata masih ingat. Padahal sudah satu bulan yang lalu.""Alhamdulillah kita ketemu lagi dalam keadaan sehat ya, Neng. Kirain Ibu, Neng tidak ke sini lagi.""Jadi, Ibu nungguin saya?" "Eum ... tidak juga .... ""Padahal saya berharap Ibu nungguin saya, loh." Aku mencoba berkelakar untuk mencairkan suasana.Wanita itu tertawa ringan. "Neng dari jauh ya? Sepertinya bukan orang sini.""Iya, kebetulan saya ada perlu ke kantor sebelah.""Oh gituh?""Eum ... sebena
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status