"Mas, aku jadi gugup.""Tenang, Dek. Semoga kabar baik yang akan kita dapat."Mas Fikri meraih tanganku lalu menggenggamnya kuat. Dengan cara seperti itu pun aku sudah merasa lebih tenang.Sesuai dengan petunjuk pria yang ada di tukang mie ayam tadi, mobil kami berhenti tidak jauh dari pertigaan. Setelah itu kami pun turun lagi di depan sebuah warung. Setelah berbasa-basi aku pun bertanya pada ibu warung tersebut."Mungkin yang dimaksud adalah Bu Wahyuning, ya?""Kurang tahu juga, Bu. Setahu saya namanya Bu Nuning.""Kalau tidak salah sih, nama aslinya Wahyuning. Dulu memang dia tinggal di sini."Sampai pada kalimat itu aku menahan nafas, jangan-jangan yang dimaksud si Ibu, Bu Nuning sudah tidak tinggal di sini lagi."Maksud Ibu, sekarang dia tidak tinggal di sini lagi?""Kalau Bu Nuning yang itu memang sudah tidak tinggal di sini lagi.""Ini fotonya, barangkali Ibu kenal." Aku menyodorkan foto pernikahan Bapak dan Bu Nuning, karena itu satu-satunya foto yang kumiliki."Sepertinya be
Satu persatu harta Bang Usman lenyap. Rentetan kejadian pasca dia merampas warisanku seharusnya membuat dia sadar, bukannya malah semakin menjadi. Bang Usman dan Mbak Ira itu sudah satu paket, sama-sama serakah dan dengki. Bedanya, Mbak Ira banyak ngomong kalau Bang Usman lebih banyak bertindak dalam diam.Panggilan berakhir, karena terdengar suara Mbak Ira mendekati. Reno sepertinya takut ketahuan kalau sedang meneleponku. Semenjak aku merawatnya, anak itu memang banyak curhat dan lebih dekat denganku. Saat ini aku sedang berada di rumah baru, para pekerja sedang membereskan interior dapur, itu sebabnya Mas Fikri meminta aku untuk mengawasi mereka karena aku yang akan menjadi ratu di dapur itu. Ada-ada saja. Tapi memang iya juga."Umi, aku haus pengen minuman dingin," ujar Nisa sambil memegang lehernya persis di bagian bawah dagunya. "Oh iya, Umi lupa membawa air minum. Kalau begitu kita beli saja.""Hore, ke Al*a depan 'kan, Mi? Sekalian beli es krim, ya." Nisa bersorak senang, be
Kehadiran Nurma dalam keluarga kami, bagiku merupakan mimpi buruk. Aku masih ingat saat itu usiaku sudah remaja, ketika suatu malam Ibu pulang bersama Bapak dengan seorang bayi yang belum genap satu tahun. "Bayi siapa, Bu?" tanyaku karena heran, Ibu pergi sejak siang dan pulang malam dengan membawa seorang bayi."Ini adikmu, anak Ibu dan Bapak," jawab Ibu tenang. Beliau mengusap kepala bayi yang ada dalam gendongannya dengan lembut. Nampak sekali kalau Ibu sangat menyayangi anak tidak jelas itu."Bagaimana bisa? Ibu tidak hamil, Bapak juga sudah beberapa tahun tidak pulang?!" Aku menajamkan pandangan, tiba-tiba ada rasa tidak suka melihat perhatian Ibu pada anaknya itu."Sudahlah, kamu jangan banyak tanya. Mulai saat ini, dia adalah adikmu dan anak bungsu di keluarga kita. Namanya Nurma, bukankah kalian menginginkan adik perempuan?"Lelucon macam apa ini? Tanpa memikirkan perasaanku, Ibu meminta hal yang sulit kulakukan. Jangankan menganggapnya sebagai adik, melihat keberadaannya pun
Setelah Ibu meninggal, dua tempat itu aku jual dengan dalih hasilnya akan dibagi tiga, saat itu Nurma juga tidak bisa melawan. Apalagi Si Fikri, awas aja kalau dia berani ikut campur urusan keluarga kami.Dengan berbagai macam alasan aku tetap menahan uang itu. Enak sekali si Nurma, dia yang entah lahir dari rahim siapa, tiba-tiba berada di tengah keluarga kami lalu mengambil sebagian harta yang harusnya menjadi milik kami berdua. Terlepas dia anak kandung Bapak ataupun bukan. Tapi sepertinya Nurma memang anak kandung Bapak, buktinya waktu menikah Bapak sendiri yang menjadi walinya. Bodo amat, toh Bapak dan Ibu sudah tidak ada, mereka tidak akan tahu dua tempat itu dibagi tiga atau tidak. Sialnya, Nurma terus mendesakku untuk memberikan uang itu hingga habis kesabaranku dan aku keceplosan mengatakan bahwa dia adalah anak haram. Setelah itu aku tahu Nurma mencari kabar tentang Ibu kandungnya, tapi tenang saja, wanita itu sudah tidak ada di tempat. Aku tidak akan membiarkan Nurma berte
Pov NurmaHari yang ditunggu telah tiba. Kami pindah ke rumah baru. Anak-anak begitu senang, apalagi sekarang mereka punya kamar masing-masing. Meski tetap saja tidur berkumpul di kamarku, maklumlah keduanya belum terbiasa tidur sendiri lantaran sebelumnya memang tidak punya kamar banyak. Setidaknya mereka bisa berekspresi di kamar mereka, dengan menaruh barang-barang pribadi serta koleksi boneka mereka.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mbak Hesti sudah datang berkunjung, padahal saat itu aku sedang bersiap-siap pergi ke toko."Mbak Nurma mau pergi, ya?" tanyanya ketika melihatku sudah bersiap. Sementara Mas Fikri sedang memanaskan mesin mobil."Iya Mbak, kebetulan saya mau ke pasar sekalian mengantar anak saya ke sekolah," jawabku sambil mengacungkan tas berisi bekal Naya ke sekolah. Kebetulan anak pertamaku itu masih bersekolah di tempat yang lama, yang jaraknya lumayan jauh. Hari ini rencananya aku mau mengurus untuk pindah ke sekolah yang lebih dekat."Wah, mau belanja, ya?""Eu
Anak-anak Mbak Ira dibesarkan oleh uang, bukan oleh kasih sayang. Asal sudah memberi uang jajan, Mbak Ira tidak mau tahu apa yang dilakukan anak-anak di sekolah maupun selepas itu. Kedua orang tuanya, tidak tahu dengan siapa saja Reno bergaul dan ke mana saja anak itu selepas sekolah. Kadang Mbak Ira pun pulang sore. Karena kesepian, Reno memilih bergaul dengan teman-temannya yang mungkin punya kesamaan. Beberapa kali Reno ditahan di kantor polisi, meskipun hanya satu atau dua hari karena kasus dengan geng motornya. Kasus tawuran yang membuatnya cedera kemarin pun buka sekali terjadi. Hanya saja sebelumnya tidak pernah separah itu, mungkin kemarin Reno sedang naas.Apalagi Rani, sebagai anak perempuan paling tua, aku tahu Mbak Ira seperti melimpahkan tanggung jawab adik-adiknya pada Rani. Anak itu kerap diminta untuk menjaga Reno dan Rendi. Meski terpaksa, Rani selalu melakukannya. Setelah kedua adiknya besar, Rani memilih kuliah di luar kota. Padahal di kota ini terdapat universitas
"Sepertinya Mas Fikri perlu menambah karyawan lagi," ucapku setelah dia selesai membersihkan diri."Nanti saja, Dek. Sejauh ini masih bisa ditangani. Toh tidak setiap hari, hanya sekali-kali saja.""Aku cuma gak mau Mas Fikri kecapean.""Sejauh ini masih bisa ditangani. Oh ya, apa Dek Nurma sudah mengabari Emak kalau kita sudah pindahan?""Sudah Mas, kalau tidak salah kemarin sore. Memangnya kenapa?""Tadi siang mas Fahmi telepon kalau Emak dan Bapak minta dijemput. Katanya mau liat rumah baru kita.""Kalau begitu besok Mas Fikri jemput mereka.""Kamu gak ikut?""Aku nyiapin jamuan untuk mereka saja di rumah. Supaya pas Emak dan Bapak datang, makanan sudah siap.""Baiklah, kalau begitu besok pagi-pagi Mas berangkat."*** Pagi-pagi sekali mas Fikri pergi menjemput orang tuanya. Katanya, Emak sudah tidak sabar ingin melihat rumah kami. Aku pun hanya setengah hari di toko. Lepas itu pulang untuk menyiapkan jamuan. Karena diperkirakan sebelumnya hari gelap Emak dan Bapak sudah datang."W
Aku semakin mendekati ketika keduanya saling menarik diri. Mbak Hesti menatap Rani dengan tatapan sedih juga. "Kalian .... " Aku menatap keduanya bergantian."Sebaiknya Rani dibawa masuk dulu Mbak," usul Mbak Hesti sambil merangkul bahu Rani. Benar 'kan, Mbak Hesti sudah tahu nama Rani.Wanita itu pun urung pulang. Makanan yang tadi aku berikan disimpan begitu saja di teras rumahku. Dia sendiri dengan gesit memapah Rani memasuki rumah lalu menemaninya duduk di sofa."Tiduran di kamar saja, Ran," ucapku pada Rani agar bisa beristirahat dengan nyaman."Di sini saja, Bi. Aku nggak apa-apa, kok," tolak Rani sambil memiringkan tubuhnya, lalu perlahan berbaring di atas sofa.Melihat itu aku segera pergi ke kamar terdekat lalu membawa bantal dan selimut. Kuberikan pada Mbak Hesti supaya membantu Rani menggunakan dua benda itu. Setelah melihat Rani tiduran dengan nyaman, aku duduk di kursi yang lain. Ada banyak pertanyaan yang harus kau ajukan pada Rani dan Reno perihal kedatangan mereka. Ju
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan