Perlahan kuputar anak kunci dan segera masuk ruangan dengan langkah perlahan. Aku yakin surat wasiat itu ada di ruangan ini. Ruangan ini cukup luas, membuatku bingung harus mulai mencari dari mana. Sementara waktuku terbatas. Kalau Reno sih, aman, tidak mungkin dia tiba-tiba berada di ruangan ini, lantaran anak itu belum bisa berjalan dengan normal. Sementara Nisa aman di lantai bawah, semua pintu sudah kukunci. Kalaupun ia mencariku pasti akan dimulai dengan memanggil namaku.Yang sangat kukhawatirkan adalah Rani, bagaimana kalau gadis itu tiba-tiba bangun dan masuk ke ruangan ini. Mudah-mudahan dia anteng bermalas-malasan.Ada beberapa barang yang dicurigai tempat menyimpan surat wasiat itu. Diantaranya satu buah lemari dengan tiga buah pintu, laci yang berada di meja kerja, juga satu buah nakas di sudut ruangan.Aku memulai dari laci meja kerja saja. Ada empat laci besar yang terdapat di sisi kiri meja. Kutarik yang paling atas dan ternyata tidak dikunci. Satu persatu kubuka dan k
Hening."Nisa, Sayang?""Di sini." Terdengar suara Reno yang menyahut dari kamarnya. Ternyata Nisa sedang asyik menonton kartun di kamar Reno. "Nisa pindah ke sini?" "Tadi aku nyariin Umi, tapi kata Mas Reno di sini saja nonton kartun," jawab Nisa pelan."Ya sudah, enggak apa-apa. Nisa di sini saja, ya."Setelah itu aku pun melanjutkan langkah ke dapur lalu tiga menit kemudian kembali ke kamarnya Rani dengan segelas teh hangat. Rani hanya meneguk sedikit lalu kembali berbaring. Orang ngidam memang seperti itu, apalagi kalau kebetulan ada yang memanjakan jadi tambah manja.Setelah Rani kembali rebahan, aku pun berpamitan dengan alasan mau melanjutkan mencuci piring. Padahal aku kembali ke ruang kerja Bang Usman. Dengan langkah cepat karena tidak ingin membuang waktu, aku pun segera menuju nangkas tempat di mana tadi kutemukan surat wasiat itu dan belum sempat kubaca.[Sudah, Dek?] Satu pesan masuk dari Mas Fikri.[Belum, Mas. Barusan Rani memanggilku dan aku membuatkan teh hangat dul
Hari ini mood-ku benar-benar hancur. Aku terus teringat pada surat wasiat itu. Bisa-bisanya selama beberapa tahun ini aku mengira semua baik-baik saja. Bahkan dari sejak aku kecil. Tidak ada yang mencurigakan dari Bu Farida, dia menyayangiku seperti halnya menyayangi Bang Usman dan Bang Halim. Bahkan kerap menegur ketika dua kakakku itu bersikap tidak baik padaku. Tapi aku mengerti sekarang, kenapa Bapak tidak bisa bersikap tegas termasuk perihal pendidikanku. Bisa saja karena Bapak tertekan. Entah oleh Ibu atau kakak-kakakku.Beruntung sore ini Mas Fikri mengajakku melihat rumah baru kami. Memang sudah siap huni, tinggal mengisi dengan furniture. Sore ini pun kami langsung berbelanja beberapa barang yang dibutuhkan di rumah baru itu, seperti tempat tidur dan peralatan dapur. Kamar anak-anak juga perlu di desain ulang supaya mereka betah, jadi harus sesuai keinginannya. "Mungkin cukup seminggu untuk beres-beres. Kita suruh orang saja, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami keluar dari
Fitri dan Yani saling tatap. Mungkin mereka heran melihat sikap Mbak Ira seperti itu. Apalagi orang yang direndahkan itu adalah Bos mereka. Kuberikan isyarat pada mereka kalau aku baik-baik saja dan mereka tidak usah khawatir. Beruntung mereka mengerti dan kembali bekerja. Aku pun lanjut melayani para pembeli lain yang ingin membayar belanjaannya. Tempat ini lumayan strategis, itu sebabnya meski toko ini terbilang baru, tapi sudah banyak pelanggan. Di samping karena sengaja aku pasang harga miring. "Wah, tumben Bu Bosnya datang. Waktu kemarin aku ke sini dua kali selalu tidak ada. Fitri bilang kalau Mbak Nurma sedang ada keperluan keluarga." Tak kuduga, seorang pelanggan yang rutin belanja untuk warungnya sudah berdiri di depan meja kasir. Wanita bertubuh subur di antrian terakhir itu pun berbicara dengan suara nyaring. "Iya, Bu. Kebetulan ada urusan sedikit. Jadi sempat tidak ke pasar beberapa hari," jawabku sambil melirik ke arah Mbak Ira yang sepertinya mendengar percakapan kami
Mbak Ira tidak jadi belanja di toko, bagiku suatu keuntungan. Sebab jika belanja di sini pun malah akan membuat kerusuhan. Sebelum dia tahu toko ini milikku, Fitri sudah sering bercerita kalau Mbak Ira kerap menawar dengan harga rendah, bahkan sempat meminta untuk berutang. Yang kukhawatirkan setelah tahu siapa pemilik toko ini, dia malah makin berani menawar bahkan memaksa untuk berhutang. Tapi nyatanya dia malah pergi, bagiku Alhamdulillah.Malam harinya aku ceritakan apa yang terjadi di toko tadi pada Mas Fikri. Ternyata dia mengetahui keberadaan Mbak Ira di toko, makanya dia berkata seperti itu."Sudah saatnya mereka tahu kalau kita punya rumah dan punya usaha, Dek. Siapa tahu mata mereka terbuka, bahwa rezeki itu bukan dia yang atur, tapi Allah. Sekuat apapun mereka menahan rezeki kita, jika Allah menghendaki, tidak akan ada yang bisa melawannya. Mulai sekarang, tunjukkan pada mereka bahwa kita juga bisa."Mas Fikri yang selama ini selalu memintaku untuk bersabar menghadapi sikap
Tujuan pertamaku adalah warung di samping KUA. Aku masih penasaran pada Ibu pemilik warung tersebut yang tempo hari memperhatikan aku. Siapa tahu dia kenal dengan Bu Nuning. "Ibu masih ingat saya?" tanyaku ketika warung agak sepi dan punya kesempatan untuk ngobrol.Bukannya menjawab, si Ibu malah memperhatikan aku dari atas sampai bawah. "Neng ini yang waktu itu makan di sini, ya. Yang tergesa-gesa pergi?"Ternyata dia masih ingat, saat itu aku memang tergesa-gesa pulang lantaran mendengar Reno masuk rumah sakit. "Wah, ibu ternyata masih ingat. Padahal sudah satu bulan yang lalu.""Alhamdulillah kita ketemu lagi dalam keadaan sehat ya, Neng. Kirain Ibu, Neng tidak ke sini lagi.""Jadi, Ibu nungguin saya?" "Eum ... tidak juga .... ""Padahal saya berharap Ibu nungguin saya, loh." Aku mencoba berkelakar untuk mencairkan suasana.Wanita itu tertawa ringan. "Neng dari jauh ya? Sepertinya bukan orang sini.""Iya, kebetulan saya ada perlu ke kantor sebelah.""Oh gituh?""Eum ... sebena
"Mas, aku jadi gugup.""Tenang, Dek. Semoga kabar baik yang akan kita dapat."Mas Fikri meraih tanganku lalu menggenggamnya kuat. Dengan cara seperti itu pun aku sudah merasa lebih tenang.Sesuai dengan petunjuk pria yang ada di tukang mie ayam tadi, mobil kami berhenti tidak jauh dari pertigaan. Setelah itu kami pun turun lagi di depan sebuah warung. Setelah berbasa-basi aku pun bertanya pada ibu warung tersebut."Mungkin yang dimaksud adalah Bu Wahyuning, ya?""Kurang tahu juga, Bu. Setahu saya namanya Bu Nuning.""Kalau tidak salah sih, nama aslinya Wahyuning. Dulu memang dia tinggal di sini."Sampai pada kalimat itu aku menahan nafas, jangan-jangan yang dimaksud si Ibu, Bu Nuning sudah tidak tinggal di sini lagi."Maksud Ibu, sekarang dia tidak tinggal di sini lagi?""Kalau Bu Nuning yang itu memang sudah tidak tinggal di sini lagi.""Ini fotonya, barangkali Ibu kenal." Aku menyodorkan foto pernikahan Bapak dan Bu Nuning, karena itu satu-satunya foto yang kumiliki."Sepertinya be
Satu persatu harta Bang Usman lenyap. Rentetan kejadian pasca dia merampas warisanku seharusnya membuat dia sadar, bukannya malah semakin menjadi. Bang Usman dan Mbak Ira itu sudah satu paket, sama-sama serakah dan dengki. Bedanya, Mbak Ira banyak ngomong kalau Bang Usman lebih banyak bertindak dalam diam.Panggilan berakhir, karena terdengar suara Mbak Ira mendekati. Reno sepertinya takut ketahuan kalau sedang meneleponku. Semenjak aku merawatnya, anak itu memang banyak curhat dan lebih dekat denganku. Saat ini aku sedang berada di rumah baru, para pekerja sedang membereskan interior dapur, itu sebabnya Mas Fikri meminta aku untuk mengawasi mereka karena aku yang akan menjadi ratu di dapur itu. Ada-ada saja. Tapi memang iya juga."Umi, aku haus pengen minuman dingin," ujar Nisa sambil memegang lehernya persis di bagian bawah dagunya. "Oh iya, Umi lupa membawa air minum. Kalau begitu kita beli saja.""Hore, ke Al*a depan 'kan, Mi? Sekalian beli es krim, ya." Nisa bersorak senang, be
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan