Share

49. Emak dan Bapak

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah Reno mulai makan, aku pun pergi membawa makanan untuk Rani. Kupilih makanan yang tidak pedas karena dia masih sakit.

"Apa Reno sudah cerita sama Bibi?" tanya Rani begitu aku duduk di samping ranjang.

"Sudah barusan."

"Please, jangan usir kami, ya, Bi."

"Tapi bagaimana kalau orang tuamu datang ke sini lalu meminta kalian pulang. Nanti Bibi juga yang kena marah Papamu."

"Pokoknya aku nggak mau. Papa terus mendesakku untuk pulang ke rumah Mas Andre, padahal saat itu dia sudah mengusirku. Ini memang salahku yang tidak bisa menjaga diri." Rani duduk lalu menerima piring yang kuajukan dan bersiap untuk makan.

"Apa yang kamu lakukan itu memang salah. Tidak seharusnya kamu menyerahkan apa yang menjadi kebanggaan seorang wanita pada pria yang tidak halal, terlepas dia calon atau bukan calon suamimu."

"Saat itu aku dijebak oleh teman-temanku. Aku tak sengaja melakukannya dalam keadaan setengah sadar." Rani berhenti menyuap beberapa saat.

"Apapun alasannya itu tetap salah. Coba saja kala
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    50. Bersitegang

    "Ada di kamar tamu. Tadi mereka sempat panik saat Mbak Ira menelepon. Lalu ketika mendengar suara mobil berhenti mereka pun tambah panik, disangkanya orang tua mereka yang datang.""Kasihan sekali mereka, sepertinya punya trauma tersendiri. Kalau mereka tidak mau pulang, jangan dipaksakan. Ini demi kesehatan mental mereka." Mas Fikri memberikan pendapat."Tapi bagaimana dengan orang tuanya, Mas. Bang Usman pasti akan memarahi kita.""Jangan terlalu dipikirkan. Kita pikirkan saja mental Rani dan Reno. Soal Bang Usman, bukankah sebelumnya pun dia sudah tidak suka pada kita. Jadi itu tidak akan berpengaruh pada kita. Soal caci maki, anggap saja burung beo."Setelah mendengar pendapat Mas Fikri, aku jadi lebih tenang. Jika aku memikirkan sikap Bang Usman terhadapku, maka sama aja aku ini egois. Lebih mementingkan perasaanku daripada mental anak-anak."Setelah itu aku pun menemui mereka di kamar, memberikan kabar bahwa Mas Fikri mengizinkan mereka tinggal di sini. Keduanya langsung bersora

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    51. Silakan Pergi

    "Oh, jadi Mbak Ira belum tahu perihal uang itu? Jangan-jangan digunakan untuk kawin lagi dan menafkahi istri mudanya.""Apa?!" Mbak Ira menegakkan badannya seraya menatap tajam ke arah Bang Usman yang membeliak.Kakak tertuaku itu mengalihkan pandangan padaku. Sejenak aku pun salah tingkah namun segera bisa menguasai diri."Apa benar yang dikatakan oleh Nurma?!" Mbak Ira mengulang pertanyaannya. Tatapannya lekat pada wajah suaminya sementara telunjuknya terarah padaku."Tentu saja tidak benar. Nurma itu hanya sok tahu. Nur, kamu jangan sembarangan kalau ngomong, nanti jadi fitnah!" Bang Usman beralih padaku."Lalu dikemanakan uang itu?!" tanya Mbak Ira lagi dengan nada tinggi."Tenang Ma, uang itu ada. Nanti sepulang dari sini kita bahas, ya." Bang Usman meraih tangan mbak Ira meski wanita berpenampilan glamor itu menariknya perlahan."Jangan lupa, Bang. Itu uang milikku!" Aku menegaskan sekali lagi. "Nur, bukankah sudah Abang katakan kalau kamu tidak .... " Bang Usman menjeda kalima

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    52. Lepas dan Ikhlaskan

    "Baru punya rumah segini saja sudah sombong, apalagi kalau sudah punya istana!""Tidak apa-apa sombong. Rumah ini dibeli menggunakan uangku, warisan dari orang tuaku. Daripada menyombongkan harta yang didapat dari hasil merampas warisan saudara sendiri.""Kurang ajar kamu!" Bang Usman bergerak mendekat ke arah Mas Fikri, tangannya terangkat ke atas. Namun bersamaan dengan itu Mbak Ira segera meraih tubuhnya."Sudah Pa, lebih baik kita pulang saja," bujuk Mbak Ira."Kalau mau, aku bisa memanggil satpam," lanjut Mas Fikri datar.Untuk beberapa saat Bang Usman hanya berdiri menatap kami secara bergantian, lalu beralih pada anak mereka. Sementara di sampingnya, Mbak Ira berdiri sambil memegangi tangan suaminya. Dada Bang Usman naik turun, menandakan emosinya sedang tidak stabil. Detik berikutnya pria itu pun berbalik ke arah pintu lalu keluar dengan langkah tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun. Tapi sepertinya amarahnya kian memuncak, terbukti dia membanting pintu dengan sangat keras lalu

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    53. Teguran dari Allah

    Pagi harinya kesibukan dimulai lagi. Rumah ini pun kembali ramai. Aku sibuk di dapur sementara Emak mengurus cucu-cucunya. Beruntung Rani dan Reno tidak se-manja ketika mereka di rumahnya. Reno dengan sigap mengurus kakaknya yang masih aku larang untuk jangan terlalu banyak beraktivitas. "Dek, ponselmu bunyi terus." Mas Fikri muncul di belakangku."Dari Mbak Ira 'kan?" tanyaku tanpa menoleh."Iya, sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab.""Biarkan saja, Mas. Dari aku bangun tidur itu. Palingan juga mau ngajak ribut." "Ya, sudah. Saran Mas, angkat saja, kalau dia ngajak ribut tinggal tutup teleponnya." Setelah itu Mas Fikri pun berlalu sementara ponselku ia letakkan di dekat dispenser."Bi, Bibi!" Baru saja beberapa detik, Reno datang tergopoh-gopoh. Seketika aku menoleh pada pemuda yang sedang mengacungkan ponselnya itu."Kenapa, Ren?""Mama barusan telepon, kalau Papa masuk rumah sakit. Katanya semalam tak sadarkan diri dan terkena stroke."Ya Allah, mungkin tadi Mbak Ira mengh

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    54. Pov Ira

    Kusimpan ponsel sembarang di atas sofa. Nurma tidak mau mengangkat telepon dariku. Padahal aku tahu jam segini dia sudah bangun. Sengaja aku menghubunginya setelah subuh, padahal Mas Usman dibawa ke rumah sakit masih sore. Suamiku itu terkena stroke dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Semua ini gara-gara Nurma menahan dua anakku. Aku yakin, Rani dan Reno mau kuajak pulang seandainya Nurma dan suaminya tidak ikut campur.Kemarin Mas Usman memang menyuruh Rani pulang ke rumah Andre, bukan minggat ke rumahnya Nurma. Tapi anak itu malah pergi ke rumah barunya si Nurma, ditambah lagi dia mengajak Reno. Aku juga sempat heran ketika membuntuti Reno dari sekolah dan berhenti di sebuah perumahan mewah. Kupikir dia ke rumah temannya, tapi ternyata bukan. Lalu dari mana Nurma dan Fikri punya uang untuk membeli rumah se-mewah ini. Bengkel baru saja buka beberapa bulan, apalagi toko sembako. Tidak mungkin kalau punya tabungan dari itu. Atau jangan-jangan mereka meminjam bank. Aku yakin itu.

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    55. Kabar dari Bi Rahmi

    Aku tak habis pikir dengan isi kepala Mbak Ira. Entah harus dengan cara apa untuk membuatnya sadar. Padahal aku dan anak-anaknya datang baik-baik, tapi sikap Mbak Ira tetap saja tidak bersahabat. Bukannya menarik simpati malah membuat ingin pergi. Entah apa yang dia bicarakan pada anak-anaknya ketika aku berada di luar ruangan bersama Mas Fikri. Yang jelas ketika kami berpamitan, Rani dan Reno memilih untuk pulang bersama kami. Seharusnya mereka menemani Mbak Ira menjaga Bang Usman, terutama Reno yang dalam keadaan sehat. Akan tetapi aku tidak bisa memaksa, keduanya bersikeras ikut pulang. Ketika aku tanya di perjalanan, Reno hanya menjawab kasihan sama Kak Rani. Aku pikir karena Rani memang belum pulih 100 %. Entahlah kalau ada alasan lain, keduanya seperti enggan bicara, aku pun tidak mau mengorek informasi lebih lanjut."Kamu langsung ke sekolah 'kan Ren?""Ini sudah siang, Bi, sudah terlambat. Aku pulang saja.""Terus kamu di rumah mau ngapain? Kita ke sekolah aja, nggak apa-apa

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    56. Habis Tak Tersisa

    "Kalau di kampung, jagung segini banyak tidak usah beli. Tinggal petik di kebun. Emak jadi ingat kampung, Pak. Ingat kebun kacang dan kebun jagung." Emak yang sudah tiga malam berada di sini tiba-tiba teringat kampungnya."Katanya mau seminggu di sini, baru tiga malam sudah rindu kampung," jawab Bapak sambil terkekeh."Aku juga tadi sebenarnya tidak niat beli jagung. Cuma ada kakek-kakek yang nawarin, udah sore dagangannya masih banyak. Akhirnya aku beli semua, kasihan kalau kakek itu harus menjajakan dagangannya hingga sore."Rupanya Mas Fikri membeli jagung ini secara tidak sengaja, hanya karena merasa kasihan saja pada sang pedagang. Suamiku ini memang sering berbuat seperti itu membeli sesuatu bukan karena butuh tapi karena kasihan."Bagus itu, pertahankan sikap seperti itu, Fikri. Bapak selalu mengajarkan kamu untuk bisa berbagi dan meringankan beban orang lain," ucap Bapak bangga dengan anak bungsunya."Insya Allah, Pak. Selagi mampu dan bisa kita harus terus berbuat baik."Mbak

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    57. Fitnah

    Tiba di lokasi rumah Bang Usman, sudah banyak massa berkerumun. Ada garis polisi juga. Karena rumah ini terletak di pemukiman penduduk yang cukup padat, maka api pun merembet ke beberapa rumah tetangga. Beruntung tidak menimbulkan kerusakan yang parah.Setelah aku bertanya pada beberapa tetangga Bang Usman yang ku kenali, ternyata bukan dari konsleting listrik. Kipas angin yang dicurigai Rani tetap menyala di ruang makan pun tidak ditemukan ada benda itu di sana. "Sementara penyebabnya masih diselidiki oleh pihak kepolisian."Mbak Ira juga ada di sini, dia berada tidak jauh dari rumahnya bersama Rendi dan keluarga Bang Halim. Kami pun menghampiri mereka sekedar untuk mengucapkan ikut berduka.Rani berhambur memeluk Mamanya."Apa kamu belum puas juga setelah membuat Mas Usman terbaring sakit? Aku yakin ini pasti ulahmu, Nur! Sengaja ingin membuat kami miskin!" Mbak Ira menunjuk mukaku. Dia tidak memperdulikan Rani yang menangis memeluknya.Astagfirullah lagi-lagi Mbak Ira menuduhku ya

Bab terbaru

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    76. Sepakat

    Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    75. Fakta Suamiku

    Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    74. Membalas

    Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan

DMCA.com Protection Status