Setelah mengantar Rani dan Reno kembali ke rumah, aku dan Mas Fikri harus pergi ke tempat aktivitas masing-masing. Hari ini aku izinkan Reno tinggal di rumah untuk menemani Rani yang sepertinya sangat terpukul dengan kejadian ini. Bahkan Rani terlihat lebih sedih ketika melihat rumahnya terbakar daripada mendengar Papanya sakit. Dari sini aku bisa menyimpulkan, bahwa selama ini hubungan Bang Usman dengan anak-anaknya tidak begitu dekat. Begitupun dengan Mbak Ira. Anak-anaknya, terutama Rani dan Reno hanya sebatas takut kepada orang tua mereka. Itu sebabnya selama ini mereka cenderung penurut."Fikri, sepertinya Emak sudah sangat rindu kampung." Emak menyusul kami ke halaman ketika baru saja aku pamit ke pasar."Lho, katanya mau seminggu? ini belum juga genap sudah minta pulang." Mas Fikri mengurungkan langkahnya yang hampir saja sampai ke dekat mobil. Dari semalam Emak memang sudah terlihat rindu kampung ketika kami bakar jagung. Sepertinya sejak saat itu emak malah terus kepikiran k
"Iya. Saya sedang nemenin Gibran main bola di luar, tiba-tiba ada go-jek berhenti dan anak itu turun nanyain rumahnya Mbak Nurma. Aku bilang aja, rumahnya ini, tapi orangnya pada pergi. Dia juga nanyain Rani dan Reno, saya bilang mereka pergi juga. Dia minta alamat toko Mbak Nurma, katanya mau nyusul. Tapi setelah saya bujuk, akhirnya dia mau menunggu di sini. Saya suruh istirahat setelah makan. Kasihan sekali sepertinya dia tidak makan dari pagi," tutur Mbak Hesti panjang lebar.Mendengar penjelasan Mbak Hesti aku hanya mampu mengelus dada. Tepat seperti dugaanku. Itu juga yang menjadi alasan aku ingin mengajak Rendi ke sini. Mbak Ira dan Mbak Diah itu sama-sama perhitungan. Tidak ada istilah balas budi. Apalagi tanggung jawab. Maunya saat enak saja, apabila sedang kesusahan mereka sontak tidak saling kenal."Ya Allah, makasih banget ya, Mbak. Dia itu adiknya Rani dan Reno, Papanya sekarang ada di rumah sakit, semalam rumahnya kebakaran. Kemarin aku sudah ngajak dia ke sini tapi ibun
Pov IraHari ini aku mendapat laporan dari Diah kalau kemarin Rendi tidak pulang ke rumahnya sehabis sekolah. Diah juga mengatakan, malam sebelumnya Rendi terus menerus mendapat telepon dari kakaknya yang mengajak Rendi tinggal bersama mereka. Kalau begitu, bisa jadi si Nurma yang menjemput Rendi ke sekolah.Nurma benar-benar ingin menguasai keluargaku. Kalau sampai Rendi tinggal bersama mereka juga, itu artinya semua anakku akan rusak. Bahkan bukan tidak mungkin mereka akan membenciku juga papanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Tapi saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Diah juga tidak bisa kuandalkan, ia beralasan ketika aku minta tolong untuk menjemput Rendi di rumah Nurma. Aku hampir frustasi ketika melihat keadaan sekarang. Harapan Mas Usman untuk sembuh seperti biasa sangat kecil, mengingat orang-orang yang terkena stroke seperti ini sulit sekali disembuhkan. Sedangkan aku di sini hanya bengong tanpa bisa berbuat apa-apa untuk keluargaku. Bosan berada terus di ruangan ini sepan
Jadi pantas jika mereka tidak merasa dekat dengan kami, hingga cenderung tidak peduli. Ketika Rani dan Reno kecil, aku sering menitipkannya pada ibu dan Nurma karena tidak ingin kehilangan momen bersama teman-temanku. Begitupun Mas Usman yang selama ini hanya kerja dan kerja hingga larut malam, bahkan kadang hari libur pun dia pergi ke luar kota. Hampir tidak pernah punya waktu untuk piknik bersama keluarga."Mbak Ira? Apa Mbak baik-baik saja?"Aku tersentak mendengar Zara bertanya sambil menyentuh tanganku."Ya, saya baik-baik saja. Maaf.""Mbak Ira sendirian menunggu suaminya?""Iya, anak-anak saya sudah besar, mereka bersekolah jadi tidak ada yang bisa menemani." Hatiku seperti tercubit ketika mengatakan itu. Mereka bukan karena sibuk bersekolah tapi memang tidak peduli."Alhamdulillah, sudah pada besar-besar itu artinya sudah bisa mandiri dan mengurus diri sendiri. Jadi, meskipun orang tua dalam keadaan sakit, kita tidak khawatir mereka akan terlantar. Saya malah bingung, setelah
"Maaf Mbak, aku sedang ada kerjaan. Nanti kita bicara lagi di rumah."Tanpa menunggu jawaban dariku, Halim mengakhiri panggilan.Aku beralih pada Mas Usman, sepertinya dia mendengar pembicaraanku dengan adiknya barusan."Tanggapan Halim, kok dingin ya, Pa. Masa iya dia tega menolak kita." Aku berbicara sendiri tanpa menoleh. Sekarang kami berada di ruang tengah rumah Halim.Mas Usman menjawab dengan bahasa yang tidak kupahami. Pria di atas kursi roda itu tertunduk, sepertinya ia menangis."Sudahlah, Mas, jangan cengeng! Permasalahan ini tidak akan bisa diatasi hanya dengan menangis. Sekarang Papa jangan banyak tingkah, kita bisa makan pun sudah untung. Setelah ini Mama harus memutar otak, mencari cara bagaimana supaya kita bisa tetap makan."***Menjelang magrib Diah dan Halim datang secara bersamaan. Anak-anak mereka pulang sekolah dari tadi, tapi kedua anak gadis itu pun sama sekali tidak merespon kehadiranku dan Mas Usman. Mereka langsung masuk ke kamar dan tidak keluar lagi, makan
Tepat ketika aku berada di bawah pohon tersebut, tiba-tiba tubuhku menegang ketika mendengar suara sesuatu yang terbang di atas kepalaku. Sontak aku berhenti, tubuhku tak bergerak tapi mata melirik ke kanan kiri. Panik. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku harus memberanikan diri untuk mendongak melihat makhluk apa yang barusan lewat di atas kepalaku hingga menimbulkan suara dan sedikit angin.Akan tetapi, baru saja aku akan mengangkat wajah ini, sesuatu jatuh mengenai hidungku. Apa makhluk itu sedang mengerjaiku. Tiba-tiba tengkukku terasa berat, jangan-jangan di atas sana ada makhluk yang sedang mengawasiku."Aaa .... "Bugh!!"Aduh!"Karena panik aku sontak mengambil langkah seribu. Tapi naas, puving block yang berada di bawah pohon rambutan ini ternyata banyak lumutnya lantaran jarang terkena sinar matahari disebabkan daunnya yang rindang. Aku terpeleset dan jatuh tengkurap, wajahku pun sukses mencium puving block. Untuk beberapa detik aku berdiam diri sebelum kemudian sus
Setelah berkata seperti itu, Diah pun beranjak pergi dengan satu hentakan, menandakan kalau dia kesal.Aku beralih pada Bi Sarni setelah terdengar suara tawanya yang cekikikan."Ini lagi, puas melihat majikanmu marah-marah padaku?""Lagian, Bu Ira ini lebay banget." Bi Sarni kembali tertawa."Orang ketakutan dibilangin lebay?""Sebelum takut itu mikir dulu, Bu."Sarni berjalan ke arah meja makan hendak melanjutkan makannya. Tapi aku buru-buru meraih tangannya."Apa maksudnya mikir dulu?" Aku mengguncangkan lengannya.Sarni menarik tangannya dengan paksa hingga terlepas. Ia menatapku kesal."Bu Ira ... pohon rambutan itu sedang berbuah, udah pada mateng juga sebagian. Kalau malam-malam begini, di pohon itu banyak bergelantungan makhluk. Tahu 'kan makhluk apa yang doyan buah-buahan? Ke-le-la-war! Karena makhluk kasat mata itu mana doyan rambutan? Doyannya ibu-ibu cerewet seperti Bu Ira ini." Dengan lancangnya Sarni menunjuk ke arah dadaku."Kamu ngeledek?""Fakta, Bu!""Awas aja!""Apa?
"Ya sudah, terserah kamu saja. Mama cuma mau bilang kalau Mama mau menjual mobil supaya secepatnya pindah dari sini. Mama nggak tahan kalau harus tinggal di gudang terus, bau apek dan banyak nyamuk.""Maaf bukannya Rani tidak mau bantu, tapi saat ini Rani juga numpang. Mama seharusnya bersyukur biaya sekolah Reno dan Rendi ditanggung oleh Bi Nurma, padahal kalian sudah jahat sama dia. Coba Mama bayangkan, seandainya kami tidak tinggal di sini, mau di mana? Apa kami akan jadi anak jalanan. Om Halim yang Mama banggakan itu ternyata tidak bisa menolong kita di saat seperti ini. Seharusnya Mama minta maaf sama Bi Nurma dan suaminya, karena Mama sudah berbuat dzolim pada mereka.""Halah, sudahlah, Ran. Kamu nggak usah ceramah panjang lebar, yang sekarang Mama butuhkan itu bukan nasihat kamu, tapi tempat tinggal dan pekerjaan. Supaya Mama bisa melangsungkan hidup."Si Rani sudah mirip si Reno aja, sok-sokan menasehati Mamanya. Padahal dia belum tahu bagaimana pahitnya hidup. Anak kemarin so
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan