Tidak sesuai dengan bayangan Arron. Sana mengajaknya ke sebuah tempat makan yang begitu kecil. Apalagi harus mengantri lebih dulu. Hampir 30 menit sudah terlewati namun mereka tidak kunjung masuk ke dalam. “Aku harus menunggu berapa lama lagi?” Arron tidak berhenti mengeluh. Mereka mengantri di depan sebuah restoran kecil yang menyediakan Ramen. Sana menatap Arron. “Sebentar lagi.” “Tahu begini, lebih baik makan di hotel. Tidak usah mengantri seperti orang susah,” balas Arron sengit.Sana menghela nafas. Bersama Arron seperti mengasuh seorang anak yang rewel. Sana mengambil kedua tangan pria itu. “Aku sudah memprediksi waktu kita makan dan pergi ke tempat selanjutnya. Ini adalah waktu yang pas.”“Juga—” Sana mendongak. “Kau tidak pernah melakukan hal seperti ini bukan? Mengantri seperti ini? Aku memperkenalkanmu budaya kami di sini. Budaya tertib dan mengantri.” “Jika yang makan dua orang, yang mengantri harus dua. Kau tidak bisa pergi dan kembali saat waktunya kita masuk sudah ti
Read more