Memasuki sebuah klub yang barus saja dibukan beberapa hari yang lalu. Sana tidak tahu apa bedanya dengan klub-klub lain. Menurutnya sama saja dengan klub yang pernah ia kunjungi. Hanya saja sedikit lebih mewah. Ada beberapa lantai yang pasti mempunyai fungsi yang berbeda. “Sana!” panggil Mina dari sebuah bangku. Sana mendekat. Sudah ada Rei dan Kaho. Mereka yang ada di sana menatapnya dengan begitu heran. Sana menatap dirinya sendiri. “Apa ada yang salah?” “Apa ini terlalu terbuka?” tanyanya. Saat ini ia menggunakan sebuah dress putih selutut. Dress yang memiliki tali tipis sebagai penyangga. Hampir setengah punggungnya terlihat. Bagaian dada tidak terlalu terbuka, hanya menunjukkan lekuk bulatan dadanya. Bagi Sana dress ini sudah paling seksi yang pernah ia gunakan. “Seharusnya aku tidak terlalu berharap padamu.” Mina mengisi gelas Sana dengan cairan wine. “Kau memang princess. Tidak bisa menjadi jalang sepertiku.” Mina menggeleng pelan. Sana menyipitkan mata melihat pakaian Mi
“Aku membencinya bukan karena rokok.” Sana membuka mata. “Karena dia yang tidak peduli denganku.” Sana mengusap wajahnya kasar. Dibawah pengaruh alkohol ia lebih leluasa mengutarakan isi hatinya. “Sudah satu bulan lebih tapi dia tidak menyusulku ke sini. Dia selalu sibuk bekerja. Dia bilang dia mencintaiku, tapi dia memilih tidak meninggalkan dokumen-dokumen sialan itu daripada menyusulku…” Sana menghela nafas kasar. “Kalau begini lama-lama aku muak..” Sana mendongak. “Menjengkelkan sekali.” Mengambil botol minuman itu kemudian dituangkan isinya ke dalam sebuah gelas. Arron membiarkan Sana minum. Sampai akhirnya wanita itu mengeluh. “Ah ini pahit sekali. Ini terlalu kuat.” Sana menggeleng pelan. Tidak menghabiskan minumannya sampai habis. Kepalanya mulai berat. “Jangan tidur di sini,” ucap Arron. Menarik Sana berdiri dan menuntun wanita itu keluar dari klub. Memasukkan Sana ke dalam mobil. Mengendari mobil dengan kecepatan rata-rata. Sesekali menoleh ke samping dan menatap Sana
Setelah mengingat kembali yang terjadi tadi malam. Sana memukul kepalanya sendiri. “Dia membantumu dan kau masih bertanya?”Sana mendekat. “Dia tidur seperti ini? Dia bisa sakit.” Sana menyentuh lengan pria itu. “Arron bangun.” Namun Arron tidak menjawabnya. Lengan pria itu juga sedikit panas. “Kau sakit?” Sana menyentuh dahi Arron. Benar saja, ternyata suhunya begitu tinggi. Sana buru-buru masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil selimut. Kemudian menyelimuti tubuh pria itu. “Kau demam.” Sana mengambil obat dari dalam nakas. “Dia harus minum obat. Tapi harus makan lebih dulu.” Sana memilih untuk memasak bubur. “Arron bangun.” Sana mengguncang tubuh Arron. “Bangun sebentar dan makan sup ini setelah itu minum obat.” Arron membuka mata. Namun hanya sebentar setelah itu kembali memejamkan mata. “Arron,” panggil Sana. “Ayo bangun. Aku akan membantumu.” Sana sudah mengangkat mangkok yang berisi sup. Bersiap menyuap pria itu. Arron bangun dan duduk. Ia pasrah saat Sana menyuapinya sup.
“Tidak masalah.” Arron tersenyum. “Jika kau ingin aku di sampingmu. Maka jangan pikirkan benar atau salah.” Mendekat—semakin mengikis jarak di antara mereka. “Aku tidak peduli.”Sana menahan debaran di dadanya. Seakan membeku, tubuhnya tidak bisa bergerak. Apalagi saat perlahan hidung mereka saling bersentuhan. Hingga bibir mereka—TING!Sana membuka mata dan turun dari pangkuan Arron. Buru-buru ke arah pintu dan membukanya. “Atas nama Sana. Ini makanan yang anda pesan,” ujar seorang kurir pengantar makanan yang berada di depan pintu. ~~Tidak bisa dijelaskan bagaimana bingungnya seorang Sana sekarang. Ia duduk dengan malas di depan sebuah minimarket. Hanya membeli satu buah susu, itupun belum habis-habis. Sana menghela nafas dalam. Kemarin setelah menyatakan perasaan dan mereka hampir berciuman, Arron pergi. Tapi memang lebih bagus pergi daripada diliputi kecanggungan yang luar biasa. Namun, sampai saat ini pria itu bahkan tidak menghubunginya. Sana menghela nafas. “Apa yang aku
Semua karena kesalahannya sendiri. Sana yang nekat menggantikan Arron dipukul. Padahal kakinya kepalanya pusing setelah dijambak dan kakinya sakit setelah ditendang. Sana menghela nafas lelah masuk ke dalam Apartemennya. “Kau harus mendapat perawatan di rumah sakit,” ucap Arron dari belakang mengikuti Sana yang masuk ke dalam kamar. “Tidak usah. Aku akan tidur. Besok akan sembuh sendiri.” Arron menggeleng. Menarik Sana untuk duduk di ranjang. “Aku akan melihatnya.” Sana mengerjap. “Ta-tapi—” Arron menyingkap belakang kaosnya. Arron mengerjap pelan. Ia berusaha menahan diri melihat punggung Sana begitu mulus. Ia mengalihkan pandangannya pada luka yang memerah. “Punggungmu merah. Besok akan menjadi ungu kemudian menghitam dan pasti sakit sekali.” Arron beranjak. “Aku akan mengompresnya dan kau diam saja.” Sana menghela nafas. Pada akhirnya ia membiarkan punggunnya di kompres oleh Arron. Kecanggungan sempat menerpa mereka. Sana menghela nafas berkali-kali. “Aku tidak melihatnya.”
“Untuk?” “Perayaan kemenanganmu.” Arron tertawa pelan. “Aku bahkan belum bertanding tapi kau ingin merayakannya?” “Katamu kau selalu menang.” Sana berdecih pelan. “Jadi kau mulai pesimis? Atau mulai tidak percaya diri?” tanyanya. Arron menarik pinggang Sana. “Aku tidak pernah menyia-nyiakan posisi pertama.” Sana tertawa. “Bilang saja kau selalu juara pertama. Kenapa terlalu berbelit-belit.” “Melatihmu agar cepat mengerti.” Arron mengusap kening Sana. Sana mendongak. “Jadi ayo buat kue.” ~~Entah bagaiman rupa dapur Sana. Yang pasti nanti Arron akan membantu membersihkannya. Sana tidak pernah membuat kue dan ini adalah pertama kalinya. Apalagi hanya berbekal pada tutorial youtube. “Jangan mengotoriku.” Sana mundur beerapa langkah saat Arron berhasil mencoretnya dengan tepung. “Arron jangan.” Arron tetap melakukannya. Kedua pipi Sana sudah berlumuran dengan tepung yang berwarna putih itu. Tertawa begitu puas melihat wajah Sana yang berwarna putih. “Aku akan membalasmu.” Tidak
“Dia siapa?” “Kenapa dia begitu tampan?” “Dari pakaiannya sepertinya pejabat atau CEO?” “Tunggu, dia lebih mirip dengan seorang aktor. Wajah dan tubuhnya begitu sempurna.”Sana hanya bisa menghela nafas. Ia tidak ingin mendengar ocehan orang-orang lagi. Ia tidak menyadari bahwa sebenarnya dari belakang. Ada satu pria yang berjalan ke arahnya. Dibuntuti beberapa bodyguard. Pria itu tidak ragu datang ke arahnya. Memeluknya dari belakang. Kemudian mengecup pipinya dengan lembut sembari berbisik. “Aku merindukanmu.” Sana menoleh. Ia hampir tidak percaya seorang pria tampan yang duduk di sampingnya ini adalah suaminya. Sana begitu terkejut—sampai-sampai ia tidak sadar bahwa tubuhnya sudah berada di pelukan pria itu. “Aku begitu merindukanmu.” Rafa mengusap punggung istrinya pelan. Mengecup pipi Sana dari samping.“Kenapa kamu di sini?” Rafa melepaskan pelukannya sembari ia tertawa pelan. “Kenapa? kamu terlihat tidak begitu senang dengan kehadiranku?” Sana menggeleng. “Aku hanya kag
Semakin lama bersama Rafa, Sana semakin menyadari jika suaminya itu benar-benar berubah banyak. Rafa lebih suka berbincang dengan orang asing daripada dirinya. Padahal mereka baru saja bertemu setelah sekian lama. Tapi Rafa memilih untuk berbincang tentang bisnis bersama orang-orang itu. Sana pergi ke toilet. Ia tidak bisa menahan kekesalannya. Sudah beberapa menit semenjak Rafa pergi berbincang. Namun belum juga kembali menemuinya. Sana masuk ke dalam toilet. Mengusap wajahnya dengan air. Sana menatap wajahnya. Mengusap keringatnya menggunakan selebaran tisu. Melepaskan topi yang beberapa jam ini menutupi kepalanya. “Kau terlihat kesal,” suara seseorang. Sana menoleh. Arron berada di hadapannya. Dengan santainya masuk ke dalam toilet wanita itu. Pria itu pergi mengunci pintu dari dalam. “Kenapa kau di sini?” tanya Sana. “Aku ingin bertemu denganmu.” “Jangan sekarang. Ada yang bisa melihat kita.” Arron tersenyum. “Aku suka kata ‘kita.’ Hanya kau dan akau.” Mendekat—kemudian me
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert