Semakin lama bersama Rafa, Sana semakin menyadari jika suaminya itu benar-benar berubah banyak. Rafa lebih suka berbincang dengan orang asing daripada dirinya. Padahal mereka baru saja bertemu setelah sekian lama. Tapi Rafa memilih untuk berbincang tentang bisnis bersama orang-orang itu. Sana pergi ke toilet. Ia tidak bisa menahan kekesalannya. Sudah beberapa menit semenjak Rafa pergi berbincang. Namun belum juga kembali menemuinya. Sana masuk ke dalam toilet. Mengusap wajahnya dengan air. Sana menatap wajahnya. Mengusap keringatnya menggunakan selebaran tisu. Melepaskan topi yang beberapa jam ini menutupi kepalanya. “Kau terlihat kesal,” suara seseorang. Sana menoleh. Arron berada di hadapannya. Dengan santainya masuk ke dalam toilet wanita itu. Pria itu pergi mengunci pintu dari dalam. “Kenapa kau di sini?” tanya Sana. “Aku ingin bertemu denganmu.” “Jangan sekarang. Ada yang bisa melihat kita.” Arron tersenyum. “Aku suka kata ‘kita.’ Hanya kau dan akau.” Mendekat—kemudian me
Restoran tempat makan malam berada di dalam hotel yang ditempati oleh Rafa. Jadi Sana dan Rafa tinggal menggunakan lift untuk sampai ke restoran tersebut. Sana menggandeng lengan Rafa. Ketika lift terbuka, mereka keluar. Berjalan perlahan menuju sebuah bangku yang sudah terisi oleh beberapa orang. Mendadak Sana terhenti. Jadi makan malam kali ini dilakukan bersama para pemenang pertandingan dan beberapa pejabat setempat. Sana tentu saja menatap keberadaan seorang pria yang tengah duduk dengan santai. “Kamu tidak bilang makan malam bersama para pembalap?” Rafa menggenggam tangan Sana. “Aku tahu kamu tidak suka keramaian. Tapi aku—kita harus tetap melakukannya. Nanti setelah makan selesai, kita langsung kembali.” Mengusap pipi Sana. “Oke?” Sana memejamkan mata sebentar sebelum mengangguk. “Baiklah.” Duduk di bangku yang bersebrangan dengan bangku Arron membuat Sana berusaha untuk tetap biasa saja. Menjaga tingkahnya yang terkesan gelisah. “Jadi aku tahu alasanmu mengamuk saat sele
Rafa menyentuh bekas jahitan yang berada di perut Sana. Selalu mengingatkannya bahwa ia gagal menjaga anak dan istrinya. Rafa mendongak—menarik lepas satu-satunya kain yang masih berada di tubuh istrinya. Sana yang cenderung pasrah bahkan menginginkan sentuhan lebih dalam dari suaminya. Bagaimanapun mereka adalah pasangan. “Rafa.” Sana memejamkan mata memebiarkan milik Rafa memasuki miliknya. Rafa menghentakkan miliknya hingga memenuhi milik istrinya. Menggerakkan pinggulnya sesuai keinginannya. Rafa tidak membiarkan Sana beristirahat malam ini. Kerinduan yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah juga. Rafa menarik selimut menutupi tubuh mereka berdua. Rafa menghela nafas sambil berbaring menatap istrinya. Jemarinya terangkat menyentuh dahi Sana pelan agar tidak membangunkan istrinya itu. “Aku ingin kamu selalu ada di sampingku.” Bukannya ikut tertidur dengan Sana. Rafa justru beranjak dari ranjang. Menggunakan kembali celana pendeknya. Memilih keluar ke balkon. Mengambil satu rok
“Rafaaaaaa….” Teriak Sana yang tidak bisa berjalan di atas es. Menggunakan sepatu khusus untuk berjalan di atas permukaan es nyatanya tidak membantu sama sekali. Sana benar-benar payah dalam ice skating. Ia terus saja memanggil nama suaminya. “Ayo berjalan. Sedikit-sedikit saja.” Rafa menjauh—sengaja tidak membantu Sana berjalan. “Gerakan kaki kamu seperti ini.” Rafa dengan mudah mengayunkan kakinya sehingga bisa berjalan. “Aku tidak bisa.” Sana berdiri takut sambil memegang pembatas untuk bisa sekedar berdiri. “Aku akan langsung jatuh jika berjalan seperti itu.” “Pegang tanganku.” Rafa mengulurkan tangannya. “Kamu diam saa dan aku akan menarik kamu.” Sana menggenggam tangan Rafa erat. Ia bisa tersenyum saat ia bisa bergerak di atas es ini. “Jangan cepat-cepat!” Sana setengah berteriak. Rafa tertawa. Lucu sekali melihat istrinya. Jadi ingin membawanya pulang dan mengurungnya seharian. “Mau yang lebih seru?” tanya Rafa. Tanpa menunggu jawaban Sana, Rafa menarik tangan istrinya it
“Bagaimana perasaanmu?” tanya seorang pria sembari memeluk wanita dari belakang. Sana menoleh ke belakang. Ia hanya tersenyum sekilas sebelum melanjutkan pekerjaannya memasukkan bumbu ke dalam sup. “Aku menunggu jawabanmu.” Arron menyandarkan dagunya di bahu Sana. Melingkarkan tangannya semakin erat di perut wanita itu. “Jawaban seperti apa yang kau harapkan?” Sana mematikan kompor. Kemudian berbalik—membiarkan tangan pria itu tetap berada di pinggangnya. Sana mendongak—menatap wajah Arron yang nampak lebih dingin. “Aku tidak mengharapkan apapun selain kejujuranmu.” Arron menyentuh pipi Sana. Mengusapnya perlahan. “Bisa katakan padaku. Bagaimana perasaanmu setelah bersama suamimu?”“Aku senang. Aku menikmati waktuku dengannya.” Sana tersenyum. Jemarinya terangkat menyentuh rahang Arron. “Kau cemburu?” “Hm.” Arron menarik Sana ke dalam pelukannya. “Tapi aku senang karena kau di sini bersamaku.” Melepaskan pelukannya dan beralih menarik tengkuk wanita itu. Arron mencium bibir Sana
“Bisa jelaskan kenapa kau di sini?” Rafa berjalan mendekati mereka. Rafa datang untuk mengambil barangnya yang tertinggal di Apartemen Sana. Setelah menghabiskan waktu bersama, mereka pulang ke Apartemen Sana. Bahkan Asistennya mengejarnya ke sana untuk menyerahkan dokumen. Namun pagi ini justru ia lupa membawanya dan harus kembali untuk mengambilnya. Namun di saat ia baru saja ingin ke Apartemen istrinya, justru mendapati istrinya bersama pria lain. Darah Rafa seakan mendidih melihat Sana dengan pakaian yang terbuka keluar menemui seorang pria. Arron berdecak malas. Rafa tidak membiarkan Arron pergi begitu saja. Ia menarik kerah leher kemeja pria itu. “Apa yang kau lakukan di sini?” Arron berdecih pelan. “Tanya saja pada istrimu.” Memutar bola matanya malas. Ia melepaskan tangan Rafa dari lehernya. Saat akan melangkah pergi—ia berhenti. “Jaketku tertinggal di dalam.” Memasukkan kata sandi dan masuk begitu saja ke dalam. Perbuatan Arron memperjelas semuanya. Pria itu mengambil j
Sana terdiam. lalu menggeleng. “Aku memang berselingkuh…” lirihnya sambil menangis. “Maafkan aku.” Rafa menggeleng. Ia mundur beberapa langkah menjauh. “Jangan katakan apapun. Kamu hanya perlu meminta maaf dan bilang kamu mencintaiku. Aku akan melupakan semuanya.” Sana menggeleng. “Maaf aku egois. Aku butuh seseorang, aku kesepian dan aku—” Sana turun dari ranjang. “Dan aku berhubungan dengan pria lain saat di sini. Maaf.” “Sudah berapa lama?” tanya Rafa seakan masih tidak percaya dengan penjelasan langsung dari bibir istrinya. “Sudah sejauh mana hubungan kalian?” Rafa bisa gila membayangkan Sana disentuh oleh pria lain. Sana mengambil tangan Rafa. “Maafkan aku.” “Kenapa?” tanya Rafa. “Tidak. Aku tidak ingin tanya kenapa. Ayo lupakan masalah ini dan kita bisa melanjutkan rumah tangga kita.” Sana menggeleng. “Kamu harus mengerti posisiku.” Sana mendongak sebentar. “Aku lelah. Aku ingin kamu yang dulu. Aku ingin kita yang dulu. Ketika anak kita pergi, duniaku seakan hancur. Aku ti
Sana menggeleng dengan air mata yang kian deras. “Sejauh apa hubungan kalian?!” Rafa yang sudah dipenuhi dengan emosi tidak bisa berkata dengan lembut. “Aku tidak akan bisa melepaskanmu. Tetap disampingku, apapun yang terjadi.” Menarik tengkuk Sana dan mencium bibir istrinya. Sana mengggeleng—ciuman ini begitu menggebu-gebu. Sana tidak suka—Rafa seakan menyalurkan emosinya padanya. Bibirnya terpaksa terbuka karena pria itu menggigit bibir bawahnya. Sana tidak bisa menahan tangan Rafa yang masuk ke dalam pakaian rumah sakit yang ia gunakan. Jemari pria itu dengan mudah melucuti semua yang ia pakai. Sampai akhirnya—tubuhnya benar-benar polos. Rafa seakan buta dengan tangisan Sana. Menarik Sana masuk ke dalam kamar mandi. Menyentuh Sana lebih dalam. “Apa sejauh ini kamu melakukannya dengannya?” Rafa memaksa miliknya masuk ke dalam milik Sana. Sana tidak bisa menopang dirinya sendiri. Tubuhnya terbentur beberapa kali pada tembok saat milik pria itu menyentaknya. “Rafa aku mohon jangan
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert