“Tidak masalah.” Arron tersenyum. “Jika kau ingin aku di sampingmu. Maka jangan pikirkan benar atau salah.” Mendekat—semakin mengikis jarak di antara mereka. “Aku tidak peduli.”Sana menahan debaran di dadanya. Seakan membeku, tubuhnya tidak bisa bergerak. Apalagi saat perlahan hidung mereka saling bersentuhan. Hingga bibir mereka—TING!Sana membuka mata dan turun dari pangkuan Arron. Buru-buru ke arah pintu dan membukanya. “Atas nama Sana. Ini makanan yang anda pesan,” ujar seorang kurir pengantar makanan yang berada di depan pintu. ~~Tidak bisa dijelaskan bagaimana bingungnya seorang Sana sekarang. Ia duduk dengan malas di depan sebuah minimarket. Hanya membeli satu buah susu, itupun belum habis-habis. Sana menghela nafas dalam. Kemarin setelah menyatakan perasaan dan mereka hampir berciuman, Arron pergi. Tapi memang lebih bagus pergi daripada diliputi kecanggungan yang luar biasa. Namun, sampai saat ini pria itu bahkan tidak menghubunginya. Sana menghela nafas. “Apa yang aku
Baca selengkapnya