Semua Bab SETELAH 25 TAHUN KEMANDULAN: Bab 11 - Bab 20

109 Bab

11. Enggan Dibilang Miskin

“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?” Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang. Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. “Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?” Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku. “Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.” Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu. “Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
Baca selengkapnya

12. Adik Ipar Nyinyir

“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
Baca selengkapnya

13. Menuntut Warisan

“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?” Mas Mirza menegaskan kalimatnya. Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong. Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka. Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar. Meski dalam keadaan kami yang cukup
Baca selengkapnya

14. Istriku Bukan Wanita Mandul

“Mas ... !” Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda. Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan. “Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.” Arman kian sarkas mengomentari. Telingaku sudah sangat panas mendengarnya. Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri. “Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.” Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai
Baca selengkapnya

15. Gunjingan Yang Terus Bergulir

 “Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu. Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu. Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun. “Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.” Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan. Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi
Baca selengkapnya

16. Membayar Doa

 “Soal apa sih?” tanyaku menjadi penasaran. “Soal suaminya Jeng Nia yang mereka bilang akan jatuh bangkrut.” Aku menarik nafas panjang. Mereka pasti selama ini mengamati perubahan di dalam rumah tangga kami. Tentang aku yang menjadi sangat jarang memborong banyak belanjaan di tokonya Narti, menyumbang sekedarnya saja saat ada tarikan sumbangan, tak lagi mengadakan acara makan-makan setiap satu bulan sekali di malam jumat untuk acara rutin kirim doa. Juga banyak hal lagi lainnya yang sekarang memang tak lagi aku dan Mas Mirza lakukan demi bisa mengatur keuangan keluarga kami dengan baik. Aku terdiam sejenak kemudian memilih menggelengkan kepala saja tanpa berkomentar apapun. Sampai akhirnya arisan dimulai dan dikocok lalu namaku disebut. “Bu Mirza yang dapat!” seru Ibu RT yang juga ketua PKK kampung kami.
Baca selengkapnya

17. Tuntutan Ibuku

“Minta uang lagi buat apa Bu?” tanyaku jengah pada ibu yang kembali meminta uang saat kami baru saja pulang dari pasar.“Pakai nanya buat apa? Biasanya kamu itu nggak pernah nanya-nanya juga,” balas ibu dengan bersungut-sungut.Mas Mirza langsung menyentuh lembut pundakku berusaha untuk meredam emosiku yang sudah mulai meletup karena saat ini aku sudah menyergap ibuku sendiri dengan tatapan tajam.Saat bapak masih hidup dulu, beliau yang selalu menjadi sasaran keegoisan ibu, sekarang giliran aku yang harus merasakannya.Sejak dulu ibu memang tipikal orang yang manja dan egois. Segala permintaannya harus dipenuhi. Bapak yang selalu meratukan ibu, kala itu selalu bisa melakukannya, tapi sekarang aku, rasanya aku sudah nyaris kehilangan kesabaran.“Nia nanya baik-baik Bu.”Mas Mirza menatap lembut ke arah ibuku yang masih saja menampakkan wajah masamnya.“Ibu minta uang buat apalagi? Bukankah kemarin kami sudah memberinya saat Nia dapat arisan?”“Itu sudah habis, buat beli bedak dan make
Baca selengkapnya

18. Dina Yang Kembali Berulah

“Katakan sebenarnya apa yang sedang terjadi?” tanya Mas Mirza tegas. Nyatanya Andika dan Arman malah memandang tajam ke arah Dina yang masih setia menunduk. Aku segera bisa menduga jika saat ini pasti Dina sudah membuat masalah. “Sebaiknya Mas tanyakan saja pada Dina,” tegas Andika kian menampakkan kegeraman pada adik bungsunya itu. Tatapan Mas Mirza segera beralih pada wanita bertubuh besar di dekatnya. Perawakan Dina memang berbeda dengan suamiku yang sejak muda memiliki tubuh proporsional. Wanita berumur menjelang 50 tahun itu setelah memiliki dua anak tubuhnya kian hari kian melar. “Ada apa Din?” tanyaku Mas Mirza baik-baik. Tapi Dina malah menanggapi pertanyaan suamiku dengan sikapnya yang culas. “Apa Mas mau menyalahkan aku juga? Iya begitu?!” Dina membentak dengan
Baca selengkapnya

19. Syarat Dari Dina

“Mas, bagaimana Mas?” Dina kian mendesak. Sampai akhirnya suamiku menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala. Sontak Dina membeliakkan mata, menatap suamiku dengan sorot kecewa. “Kenapa Mas bisa berubah pelit seperti ini?” Dina langsung menyalahkan dengan sengit. Muchtar langsung mendekat berusaha menenangkan istrinya yang menjadi emosi. “Memang harusnya seperti itu,” sahut Arman cepat. Tatapan lelaki bertubuh gendut itu lalu mengarah pada Dina yang sekarang tampak berubah cemas. “Kalau Mas Mirza membantu Dina, kami jadi iri, selama ini Mas selalu saja membantu dia, melupakan aku dan Mas Andika yang sebenarnya juga membutuhkan bantuan.” Arman kemudian mecebik sinis. “Sebenarnya cuma sama aku saja Mas Mir
Baca selengkapnya

20. Penyesalan Dina

“Katakan saja syarat kamu Din?!” sergah Erna tak sabar. “Jangan seperti ini Umi, jangan terlalu keras,” ucap Andika berusaha menegur istrinya yang malah ditanggapi dengan tatapan nyalang dari Erna yang memang selalu kesal dengan sikap suaminya yang tidak pernah tegas. “Kamu itu sama kayak Mas Mirza selalu saja membela Dina yang semakin tidak tahu diri ini.” “Tapi kan Dina hutang juga karena terpaksa.” Andika malah membela adik bungsunya itu. Aku masih memilih diam, semakin lama semakin jengah mendengar perdebatan mereka. Tidak Dina, tidak juga Erna keduanya selalu saja tak pernah mau dikalahkan dan selalu saja menentang suami mereka. “Sudah aku bilang jangan bela Dina, dia itu makin lama makin ngelunjak kalau dia kita kasih hati.” Erna menampakkan kebencian yang teramat sangat pa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status