“Ray, Mama masuk ya.” Amora mengetuk pintu kamar putranya, kemudian ia memutar gagang pintu tersebut dan membukanya. Terlihat sosok Rayden yang sedang duduk meringkuk di atas tempat tidurnya. Wajahnya terbenam di antara kedua lututnya. Amora menghela napas pelan. Ia pun menghampiri putranya tersebut. Duduk di sisi ranjangnya, kemudian mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Ray, masih sakit lukanya?” Perlahan Rayden mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. Akan tetapi, Amora tetap saja bisa melihat jika putranya itu hanya memaksakan diri untuk tersenyum saja. Ia tahu jika memar di wajah putranya itu masih terasa sakit. “Maafkan Mama yang sudah melibatkanmu dalam masa lalu yang telah Mama perbuat, Ray,” cicit Amora dengan suara yang terdengar pilu. Rayden menggeleng. “Ini tidak sakit kok, Ma. Ray hanya mengantuk saja,” dalihnya berbohong lagi. Amora mengulum senyumnya. Ia menangkup wajah putranya tersebut dan berkata, “Kamu boleh bersandar pada Mama dan menangis, Ray. Mama ak
Baca selengkapnya