Semua Bab Rahasia Ibu Mertuaku: Bab 51 - Bab 60

63 Bab

Bab 51

 Bus mini berhenti mendadak karena teriakan Nana.  Beruntung saat itu jalanan yang dilalui tidak ramai. Kalau ramai, entah apa jadinya saat Marto menginjak rem mendadak seperti tadi. "Ya Allah, Mas. Ada apa?" tanya Bani, memegang jidatnya. "Tadi Nana teriak, makanya aku rem mendadak. Memangnya ada apa sih Na?" tanya Marto, wajahnya terlihat menahan kesal. "Siapa yang teriak Mas? Aku tidak berteriak," sanggah Nana, kebingungan. "Iya Mas, dari tadi Nana diam. Kapan Nana teriak?" timpal Harto, yang dibenarkan oleh saudara yang lain. "Masa sih? Apa mungkin aku salah dengar?" gumam Marto, memijit keningnya. "Mungkin mas Marto hanya kelelahan. Lebih baik kita mampir istirahat dulu Mas. Kebetulan di depan sana ada kedai makan. Sekalian makan siang kita di sana!" ujar Harto. Bus mini bergerak menuju tempat yang Harto maksud. Di sepanjang perjalanan, Marto terus memikirkan kejadian tadi y
Baca selengkapnya

Bab 52

 Hari itu menjadi hari yang begitu mengharukan bagi keluarga Nana. Hampir satu bulan ketiganya pergi, akhirnya hari ini bisa berkumpul juga. "Bagaimana Na? apa semuanya sudah beres?'" tanya Ayu. "Alhamdulillah sudah Kak," jawab Nana, dengan mata berkaca-kaca. "Syukurlah kalau sudah beres. Memangnya apa yang terjadi di sana, sampai-sampai kalian semua lama sekali pulang?" tanya Ayu, yang memang sedari awal tidak terlalu mengetahui perihal dari ibu mertua adiknya. "Ya begitu Kak, ceritanya panjang," sahut Nana sekenanya.  Ia memilih untuk tidak menceritakannya sekarang. Selain lelah, ada Harto juga di sampingnya. Tidak mungkin ia menceritakan semuanya, sedang anak dari cerita mengerikan ada di sana ikut mendengar. Nana masih menjaga perasaan Harto. Biar bagaimanapun juga, itu adalah ibunya. Namun, seolah mengerti dengan keadaan. Harto memilih pamit mengajak putri kecilnya masuk ke dalam kamar den
Baca selengkapnya

Bab 53

 Malam hari, tanpa sepengetahuan Nana dan keluarga. Ahmad diam-diam pergi dari rumah, dengan niat menemui Wati di kedai makan tempatnya melihat pertama kali. Ahmad begitu yakin, jika yang ia lihat waktu itu benar-benar Wati. Entah, karena benar-benar sudah sangat jatuh cinta, atau karena terpengaruh ilmu pengasih dari ilmu kuyang yang diwarisi oleh Wati. Sesampainya Ahmad di depan kedai. Keadaan sudah mulai terlihat sepi. Bukan karena sepi pengunjung, melainkan sepi karena sudah waktunya tutup.  "Benar kan apa yang aku bilang? Itu benar-benar Wati. Apa dia kerja di sini?" batin Ahmad, memilih bersembunyi di dekat pohon rindang di samping kedai.  Cukup lama Ahmad menunggu, akhirnya lampu kedai tersebut padam, yang menandakan sang pemilik dan para pekerjanya sudah selesai dengan aktifitas  mereka.  Wati berjalan santai menuju belakang kedai makan. Sesekali ia berbalik menatap sekitarnya.  Merasa aman, ia gegas
Baca selengkapnya

Bab 54

 Harto dan yang lainnya tersentak kaget mendengar kalimat yang Ahmad lontarkan.  "Melihat apa maksud kamu Mad?" tanya Harto. "Melihat kepala terbang?'' timpal Ayu bertanya. Ahmad mengangguk. Ia bahkan bergidik ngeri saat mengingat, bagaimana mengerikannya Wati melepaskan kepala dari badannya. "Ja-jadi itu benar Wati? Wati sudah mulai mencari mangsa?" gumam Harto, kedua matanya berkaca-kaca merasa iba dengan nasib adik sepupunya yang sudah mau berkorban untuk keluarga kecilnya.  Ahmad mulai menceritakan semua yang ia lihat tanpa ada sedikitpun yang terlewat. Hatinya terasa sakit, saat mengingat sang pujaan hati berubah menjadi sosok menyeramkan. Saat semuanya sedang serius mendengar cerita Ahmad. Suara teriakan dari jalan depan rumah, membuat mereka semua terdiam. 'Kuyang' 'Kejar kuyang itu!' Suara teriakan orang saling bersahutan. Hal itu sontak saja
Baca selengkapnya

Bab 55

Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.
Baca selengkapnya

Bab 56

 Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,
Baca selengkapnya

Bab 57

  "Di mana Wati, Mas?" tanya Nana. "Wati... Dia pergi Yank," jawab Arman, menunduk sedih. "Pergi? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nana. "Ceritanya panjang Kak. Intinya dia marah, saat kami bertiga menuduhnya kuyang yang sedang dikejar warga," sahut Ahmad. "Ya Allah, kasihan Wati. Tapi, apa kalian yakin jika kuyang itu bukan dia?" tanya Ayu. Ketiganya mengangguk serempak. "Bukannya kalian berdua juga melihatnya? Kalian pasti tau, jika kuyang itu bukanlah Wati," ujar Agung. "Kami memang melihatnya. Tapi, saat itu wajahnya menyeramkan. Kami mana tau, kalau itu Wati atau bukan," sahut Nana. "Benar juga. Saat itu rupa Wati bukan rupa manusia. Wajar saja kalau mereka tidak mengenalinya. Tapi, kuyang itu memang bukan Wati," sahut Harto. --- Beberapa minggu  setelah kejadian itu, keadaan kampung mulai kembali aman. Tak ada lagi berita
Baca selengkapnya

Bab 58

Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu.  "Wa-Wati?"  Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba.  Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam.  Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto.  Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya
Baca selengkapnya

Bab 59

 Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad.  Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b
Baca selengkapnya

Bab 60

  "Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?"  "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan.  "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status