Irena belum jua mundur. Dia masih berusaha merayuku, lebih tepatnya memaksaku untuk memenuhi keinginannya itu. Setelah sekian menit terdiam, suara itu kembali terdengar. Suara yang dulu begitu kurindukan entah mengapa kini terdengar menyesakkan. "Pinjam mama, Mas. Aku yakin tabungan mama banyak. Kalau mobilku dijual, bagaimana aku antar jemput Rizqi ke sekolah? Bagaimana kalau kami pengin jalan-jalan saat kamu di kantor? Nggak mungkin naik motor, kan? Panas, Mas. Bisa juga kehujanan. Apa kamu nggak mikir sampai sana?" "Bisa naik taksi. Semua bisa diatur, Irena. Yang penting sekarang Rizqi selamat dan kembali ke kita. Itu saja," sahutku tak mau kalah. Aku nggak akan membiarkan Irena terus mencecar dan memanfaatkanku demi ambisinya. Aku nggak mau melibatkan mama dengan rumah tanggaku dengannya. Aku malu. "Kalau memang kamu nggak mau pinjam mama, biar aku yang pinjam sendiri ke sana. Meski mama tak merestuiku menjadi menantunya, aku yakin mama tak akan membiarkan cucunya disekap pe
Read more