All Chapters of KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG : Chapter 11 - Chapter 20

33 Chapters

BAB 11

@Mbak Sinta:[Suruh istrimu untuk tak mengganggu suamiku lagi, Gan.] Aku diamkan saja, malas menanggapinya. Namun, beberapa pesan pun masuk kembali. @Mbak Sinta:[Gani!] Akhirnya, dengan setelah malas kubalas juga pesannya. [Mbak, aku ini sudah bercerai secara agama sama Zahra. Jadi kalau mau, bilangin saja sendiri.] [Tapi, Gan. Tadi pagi mereka datang ke sini. Mereka, meminta izin untuk menikah.?] G*la! Apa katanya? Mereka bakal menikah? Bahkan secara negara, Zahra masih istriku. Aku tak cemburu, hanya saja terkejut jika mereka senekat itu. Padahal, Mbak Sinta sangat baik orangnya. Hanya saja, salah menemukan seorang suami. Sudah pengangguran, juga kelakuannya yang astaghfirullah. Aku jadi teringat lagi sama rencana mereka yang kudengar waktu hari rabu malam, tepat saat aku sekeluarga datang untuk mengantarkan barang-barangnya Zahra. Flasbac
Read more

BAB 12

Loh, temenku pernah nemu kaya gini di kos-kos-an pacarnya, Bang," ucap Mila, saat sore hari kutunjukan penemuanku ini pada Ibu dan juga dia."Oh, ya? Terus kata temenmu, ini apa?" "Setelah tanya ke orang pintar, katanya ini adalah pelet." Mataku membeliak. Pelet? Aku jadi teringat sama balasan Leman. Ia juga mengatakan ini pelet, karena pernah menggunakannya. Dih, jadi ketahuan belangnya dia. "Pantes, selama ina Abang kaya bucin sama dia. Ga peduli apapun yang dia lakukan, dia minta, abang pasti akan mengangguk dan mengatakan iya." "Emang Abang kaya gitu, ya?" "Lah, gitu lah, kalau orang dipelet. Gak sadar. Iya kan, Bu?" tanya Mila pada Ibu yang dijawab dengan anggukan. Pantas saja. Terkadang aku merasa aneh pada diriku sendiri. Kadang ingin menolak, tapi mulut selalu mengatakan iya, kepala selalu mengangguk, pada setiap omongannya. Aku pun masuk ke dalam kamar, membaca pesan yang Leman kirimkan tadi dan membalasnya. [Jadi, selama ini gue beneran dipelet sama dia.] [Wih, mant
Read more

BAB 13

"Karena ia bahkan sampai berani bersumpah atas nama Allah di hadapanku dan Ibu.""Bro, zaman sekarang orang gampang mengucapkan hal yang bahkan menurut kita itu sakral. Emang bener, kita nggak boleh su'udzon. Tapi kalau udah ngelihat bukti kaya gitu, mau gimana lagi? Siapa yang naroh itu bacaan pengasihan di lemari lu kalau bukan bini lu itu? Lagian, kakak ipar lu yang cewek kok kayak b*go amat, sih? Udah liat suaminya selingkuh, bahkan sampai zina sama adik kandungnya sendiri, malah dibela begitu?" "Dia bukan adik kandungnya. Mbak Sinta hanyalah pancingan kalau kata orang zaman dulu, untuk mendapatkan Zahra." "Oh, pantas saja mereka nggak mirip." Aku mengangguk, lalu menghela napas panjang. Sekarang kepalaku malah terasa panas dan amat pening. Sepertinya terlali banyak pikiran, lebih baik besok aku ajukan cuti saja. "Si Intan, nanyain lu, kemarin," ucap Leman tiba-tiba. "Lu nggak ada kerjaan, sampai ngeghibah di meja gue?" tanyaku. "Udah beres. Bentar lagi kan udah mau jam pul
Read more

BAB 14

Mataku semakin melebar saat melihat Ibu mengeluarkan sebuah kertas dan memasukkannya ke dalam lemari bajuku. Tunggu, jadi, ini perbuatan Ibu? "Kenapa Ibu melakukan ini semua? Apa Ibu memang tak menyukai Zahra?" Ingin aku menanyakan ini semua, namun aku takut Ibu merasa tertekan. Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?"Gani." Terdengar suara Ibu dari luar. "Ya, Bu?" "Ayo, kita makan malam. Fikri sudah pulang.", "Baik, Bu." Kami pun makan malam bersama. Tak ada keanehan di antara kami. Malah Ibu semakin bahagia kelihatannya. "Ehem, Bu. Soal kertas yang katanya pelet itu..." Aku sengaja menggantung ucapanku. "Ke-kenapa, Gan?" tanya Ibu, tanpa memandangku. "Apa bener, Zahra yang naruh, ya?" tanyaku sambil menatap Ibu. Baru kali ini, aku berani bertanya sambil menatap tajam matanya. Aku melakukan ini bukan karena ingin menjadi anak durhaka ataupun membela Zahra. Hanya saja, aku tak suka jika Ibu menebar fitnah, bahkan pada orang yang sudah tak bersangkutan denganku. "Ya kalau bukan Mb
Read more

BAB 15

Aku pun permisi sebentar sama Om Sobri dan berjalan ke depan, melewati Ibu-ibu yang tengah sibuk membantu mengupas sayuran. Saat sampai di depan, mataku membeliak sempurna. "Intan?" "Mas Gani?" Ini kali pertama aku bertemu dengannya setelah lima tahun tak bertemu. Wanita pertama yang mampu membuatku jatuh cinta, namun sekaligus memberi luka yang cukup mendalam. "Ada apa?" tanyaku datar. "Aku nggak tahu kalau ada acara di rumahmu. Aku ke sini, mau silaturahmi sama Ibu." "Ngapain? Apa karena kamu sudah mendengar aku yang telah bercerai? Makanya kamu berani ke sini setelah sekian lama?" "Mas, tolong dengerin penjelasan aku..." "Aku tak butuh penjelasanmu, Tan." "Intan?" Aku dan Intan menoleh ke pintu utama. Di sana Ibu sudah berdiri dan berjalan menghampiri kami. Intan memang akrab dengan keluargaku. Durasi hubungan lami yang lama, membuat mereka saling mengenal. "Kenapa nggak diajak masuk?" tanya Ibu. "Nggak lah, Bu. Nanti dibilang yang nggak-nggak sama orang lain." "Nggak-
Read more

BAB 16

"Aku nggak mau pergi, Bu! Aku mau ketemu sama Mas Gani," teriakan Zahra masih saja terdengar sampai ke sini. Karena suasana menjadi kian ricuh, aku pun keluar dan menarik lengannya sampai ke teras. Aku meminta Ibu untuk membubarkan ibu-ibu yang tengah rewang itu. "Mas, kamu mau kan kembali sama aku? Aku mohon, Mas. Aku masih cinta sama kamu," ucap Zahra. "Untuk apa, Zah? Aku nggak memiliki rasa apapun sama kamu lagi. Ditambah, kamu telah berbuat jahat pada ibuku. Apa jaminannya kalau hal yang sama tak akan kamu lakukan lagi?" tanyaku padanya. "Aku janji, Mas. Sumpah mati, aku akan bersikap baik dan mengurus Ibu dengan baik juga. Aku bisa jamin," jawab Zahra dengan suara bergetar. Ekor matakj menangkap sosok Intan yang tengah berdiri di samping kursi yang telah ditumpuk. Aku menghela napas, kenapa mereka berdua bisa datang ke sini, sih? "Maaf, Zah, tapi aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Kamu tinggal tunggu hasilnya."Zahra membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika
Read more

BAB 17

"Iya. Kata ibumu, dia dulu sering datang pas kamu kuliah dan dia lagi libur. Katanya juga, Intan itu beda jauh sama Zahra. Makanya, pas kamu nikahnya malah sama Zahra, ibumu kece- Eh, Intan, ayo duduk sini." Aku terkejut saat melihat Intan di belakangku, lalu aku keluar, berbaur bersama bapak-bapak lain. Dari luar, aku melihat Intan begitu gampang mendekatkan diri pada keluarga dan juga tetanggaku. Senyumnya sedari tadi tak lepas dari wajahnya. "Kenapa, Gan? Cantik ya dia," goda Mas Furqon, suaminya Mbak Umi. "Namanya wanita, Mas, ya cantik." Aku pun kembali bercerita bersama yang lain, meski mata sedari tadi tak hentinya melirik ke dalam sana. Ibu, bahkan sampai tertawa kala bercerita dengan Intan. Hal langka yang tak pernah kutemukan saat masih bersama Zahra. Ah, tapi tetap saja. Jika mengingat alasannya meninggalkanku karena uang, aku jadi kesal sendiri. --Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Kupikir, Intan sudah pulang sedari tadi, namun ternyata ia di kamar Mila. Itu k
Read more

BAB 18

"Aku, masih menyukaimu, Mas." Aku tersenyum sinis. Menyukaiku, katanya? Lalu, kenapa dulu ia malah pergi meninggalkanku? Apakah itu bisa disebut dengan cinta? "Jika menyukaiku, seharusnya kamu nggak ninggalin aku dulu, Tan. Sudah lah, waktu sudah berlalu. Jangan dekati lagi keluargaku." "Tapi, aku ada alasan untuk itu semua, Mas." "Aku nggak mau dengar alasanmu, Tan. Yang penting sekarang, silakan pergi dari rumah ini. Dan jika di kantor, kuharap kamu bisa bersikap seolah-olah kita tak mengenal," ucapku sambil melangkah pergi meninggalkannya. Tak lama kemudian aku mendengar suara Ibu menghampiri Intan dan menawarinya untuk menginap. Aku sedikit kesal dengan Ibu. Kenapa beliau malah menyuruh dia menginap?Terdengar penolakan dari Intan, tapi Ibu kekeuh bahkan terkesan memaksa. Aku melirik jam tangan, memang sudah jam mau jam sembilan. Ah, entahlah. Kubuka ponsel, sebuah pesan masuk dari Zahra. [Kenapa kamu tega menceraikanku, Mas? Jika kamu tetap tega melakukan itu, kamu akan men
Read more

BAB 19

"Astaghfirullah, maaf ya, Mas. Aku kebiasaan sama Bapak di rumah." "Eh? Iya, nggak papa." "Ehem, malah pandang-pandangan. Gantian ya gaes ya." Kami tersentak mendengar suara Mila sudah berada di belakang kami sambil menahan senyum. Astaghfirullah! Kenapa lah aku ini?Aku segera bangkit, begitupun Intan. Aku masuk ke kamar, sementara ia menghampiri Ibu. Sampai di kamar, kupegang dada. Sungguh memalukan. Padahal jelas-jelas kemarin aku menolaknya, tapi kenap sekarang aku yang deg-degan beradu pandang dengannya? Aku membuka lemari, bersiap untuk ke kantor sebentar lagi. Setelah selesai memakai kemeja dan celana, aku keluar menuju teras. Menghirup udara pagi sungguh sangat menyejukkan. Sayup-sayup, terdengar suara Ibu memanggilku dari dalam. Saat kuhampiri, ternyata Intan hendak pulang dan Ibu memintaku untuk mengantarnya. "Mila aja, Bu. Kalau Gani n
Read more

BAB 20

A-aku..." "Kenapa, Tan? Apa yang sudah diperbuat oleh Zahra selain memberimu uang?""Sebenarnya, dia menyuruhku untuk meninggalkanmu, Mas. Pas itu, dia mengancam akan membunuhku jika masih menjalin hubungan denganmu." "Apa? Astaghfirullah, Zahra! Kenapa ia bisa berbuat begitu." "Maafkan aku, Mas. Aku memang salah sudah meninggalkanmu. Tapi jujur, hingga kini aku masih mencintaimu." Aku menatap Intan. Apa benar, ia masih mencintaiku? Sejujurnya, hatiku mulai goyah sejak ia datang kembali. Apalagi, kini kami satu kantor. "Zahra bilang apa lagi, Tan?" "Dia bilang, akan membuat imagemu buruk di kampus. Bagaimana aku bisa membuatmu merasakan itu, Mas? Dan yang terakhir..." "Yang terakhir apa?" "Soal dia memberiku uang. Aku memang sangat butuh saat itu, Mas. Usaha Bapak bangkrut, untuk bayar uang kuliah, aku tak
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status