Beranda / Romansa / Remember Me, BE! / Bab 81 - Bab 90

Semua Bab Remember Me, BE!: Bab 81 - Bab 90

135 Bab

Bab 81. Obat Kesal

Aldi berbalik pada Diva karena Juna tak lagi merespons. Ia berpikir Juna mati kutu, kalah telak karena kata-katanya. Ia mengira Juna berubah pikiran, tidak lagi memaksa Diva untuk berhenti bekerja. Siapa pria ini, berani sekali mengatakan jika Diva berhenti? Itu sama saja dengan menjauhkannya dari wanita yang dicintainya. Ia tidak ingin gagal lagi untuk yang kesekian kali. Apalagi ia belum memulai apa-apa, belum melancarkan serangannya untuk mendekati Diva. Jangan harap bisa membawa Diva jauh darinya, ia tidak akan membiarkan Diva keluar dari perusahaan ini. "Jangan mau dipaksa, Va," kata Aldi lembut. "Kamu harus profesional!" Ia menekan kata-katanya. Berharap Diva mendengarkannya. Namun, ia salah, Diva yang telah selesai dengan semua barangnya justru berdiri di samping Juna, dan kembali memeluk lengannya. "Udah?" tanya Juna. Diva mengangguk. "Udah!" jawabnya. Dia belum membawa apa-apa, hanya beberapa barang saja di dalam tas tangannya. Rencananya besok atau lusa dia akan membawan
Baca selengkapnya

Bab 82. Lelucon Garing Juna

Makan malam yang dipesan Juna tak tersentuh. Mereka keburu kenyang setelah menghabiskan satu kotak pizza berukuran sedang, berdua. Pesanan itu datang terlambat, Abang kurir yang mengantarkan terjebak macet sehingga sekotak pizza sudah menjadi penghuni perut mereka, baru makan malam mereka datang. Juna menyimpannya di dalam lemari pendingin, ia akan memanaskannya besok sebagai sarapan mereka. Biarkan saja menu sarapan mereka seperti makan malam, sekali-sekali mereka perlu mencoba sesuatu yang ektrem. "Nggak apa-apa, 'kan, besok kita sarapan makanan tadi?" tanya Juna setelah kembali ke depan Diva. Ia baru saja menyimpan makanan pesanannya. Makanan itu baru saja menghangat, sehingga ia bisa menyimpannya sekarang. "Sayang kalo dibuang, atau kamu mau kita makannya buat besok?""Emang masih enak?" Diva balas bertanya. Sepasang alisnya bertaut. Makanan yang masih tersisa banyak memang sayang untuk dibuang. Jika masih bisa dipanaskan, kenapa tidak? Lebih murah dan menghemat biaya. Terbiasa
Baca selengkapnya

Bab 83. Hukuman Panas

Juna mengangguk. Ia memang tidak memiliki bakat melawak, apalagi sepuluh tahun terakhir. Jangankan mengatakan sebuah lelucon, tertawa pun ia hampir tidak pernah, kecuali saat bersama Roma. Astaga, ia sudah melupakan bocah itu! Sudah terlalu lama mereka tidak bertemu, lebih dari dua minggu. Tak pernah mereka tidak bertemu selama ini sebelumnya, biasanya seminggu sekali adalah waktu paling lama. Mungkin nanti ia akan menemui Roma, menjemputnya di sekolah. Namun, tidak besok karena ia masih harus menghukum wanitanya. "Aku, 'kan, bukan badut, Be, wajar nggak lucu." Juna membela diri. "Nggak bilang kalo Juna badut!" Diva makin mengerucutkan bibirnya. Tangannya meraih wajah Juna, kepalanya menggeleng. Entah mendapatkan keberanian dari mana dia sudah duduk di pangkuan prianya, saling berhadapan. "Kamu bukan badut, tapi Arjuna," bisiknya di depan bibir Juna sebelum menjatuhkan bibirnya di atas bibir sexy prianya. Dia terlalu merindukannya, terlalu mencemaskannya, sampai-sampai dadanya te
Baca selengkapnya

Bab 84. Seminggu Di Apartemen

Satu minggu. Juna benar-benar mengurungnya selama itu. Rasanya sedikit membosankan, tetapi Diva mencoba menekannya. Lagi pula, Juna tidak pernah meninggalkannya, selalu bersamanya di dalam apartemen, tidak pergi ke kantor. Pria itu memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan kantornya dari rumah, dan mengirimkannya melalui faksimili kepada Kevin jika sudah selesai. Waktu satu minggu bahkan nyaris tak terasa karena begitu banyak hal yang mereka kerjakan bersama. Tak hanya di tempat tidur, mereka juga memasak bersama, berolahraga bersama. Juna memiliki arena fitness pribadi di apartemennya. Beberapa kegiatan mengingatkannya pada sesuatu, tetapi masih tampak samar, belum jelas sehingga dia tidak bisa mengingat secara keseluruhan. Yang pasti satu hal, tubuhnya mengingat sentuhan Juna. Setiap inchi tubuhnya seolah meneriakkan nama pria itu, membuatnya candu. Ini hari kedelapan, Juna berencana membawanya ke rumah Helen. Tadi malam, dalam sambungan video call, Juna berjanji pada si kecil Ro
Baca selengkapnya

Bab 85. Saingan Cilik

Suara khas bocah yang berasal dari Roma, menginterupsi obrolan kedua wanita itu. Serentak mereka menoleh, melihat Roma berlari kecil ke arah mereka, dan duduk di sebelah Helen. Kembali Diva melihat sorot itu di mata indah Roma. Dia mengerutkan alisnya, mencoba menyingkirkan pikiran negatif dari kepalanya. Tak mungkin. bocah sekecil Roma memiliki perasaan yang lebih terhadap Juna, 'kan? Juna sendiri memberitahunya, bahwa dia menganggap Roma seperti putrinya sendiri. Namun, melihat tatapan tak bersahabat dan sorot mata yang mirip dengan milik wanita yang menuduhnya telah merebut Juna darinya tempo hari, membuat pikiran negatifnya enggan pergi. Diva menggeleng pelan, mencoba tak menghiraukan sorot itu, dia menganggapnya sebagai hal biasa, seorang gadis kecil yang takut perhatian yang selama ini didapatnya akan terbagi. "Kata siapa Om nggak sayang?" tanya Juna menyangkal tuduhan Roma. Ia duduk di samping Diva yang menduduki sofa panjang. Di sebelah Diva ada Helen kemudian Roma. Sement
Baca selengkapnya

Bab 86. Benar-benar Saingan

Roma berpura-pura, Diva menyadarinya. Jatuhnya disengaja, dia hanya ingin menarik perhatian Juna. Sialnya gadis kecil itu berhasil, sekarang dia berada di pangkuan Juna yang duduk di single sofa di sebelah Arsyi. Entah yang lain menyadarinya atau tidak, tetapi Diva melihatnya, Roma tersenyum penuh kemenangan. Meskipun hanya sekilas, senyum itu tercetak jelas. Sekarang Diva yakin jika semua yang dilihatnya –tentang ketidaksukaan Roma padanya, juga sorot tidak bersahabat dari matanya, itu bukan sekedar halusinasinya. Gadis kecil itu memang tidak menyukainya, Roma menganggapnya sebagai saingan. Astaga! "Om Juna, sakit bokong Roma," adu Roma memelas. Wajah imutnya yang merupakan perpaduan antara Helen dan Arsyi, mengerut menahan sakit. Bibir mungilnya mencebik. "Makanya Roma kalo duduk hati-hati. Sakit, 'kan, jadinya!" Juna mengusap rambut puncak kepala Roma, mengacak poninya gemas. "Nggak usah manja!" Helen mendelik. "Sini, sama Bunda!" Tangannya melambai meminta putri tunggalnya men
Baca selengkapnya

Bab 87. Orang yang Sama

Ruang kerja Arsyi tidak terlalu besar, hanya berukuran empat kali empat meter. Namun, memiliki fasilitas yang cukup lengkap membuat ruang kerja ini terlihat berbeda dengan ruang kerja pada umumnya. Tak hanya satu set sofa untuk menerima tamu atau mungkin bersantai, meja kerja yang penuh dengan tumpukan kertas. Di sudut kanan ruangan bagian, terdapat sebuah meja lagi dengan ukuran lebih besar. Dua buah PC berada di atas meja, juga beberapa alat penunjang lainnya. Juna lebih memilih duduk pada kursi yang berada di depan meja kerja Arsyi karena pria itu juga duduk di belakang meja kerjanya. Lagipula, lebih mudah bagi mereka untuk berbicara serius dengan duduk di sini. Jika duduk di sofa, mereka seperti bersantai. "Kemaren gue kasih peringatan sama Tasya." Juna memulai pembicaraan. "Gue minta dia buat nggak ganggu Diva lagi.""Emang lu pikir dia mau?" Arsyi tertawa mengejek. "Lu yang paling tau seberapa gilanya Tasya."Juna mengusap wajah kasar, menyandarkan punggungnya dengan posisi se
Baca selengkapnya

Bab 88. Bersama Teman

Pulang ke rumah setelah tujuh hari terkurung di dalam apartemen adalah sesuatu sekali. Tanpa menengok kanan kiri, Diva langsung berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya. Juna hanya mengantarnya sampai di depan pintu gerbang, pria itu tergesa. Ada sesuatu yang harus dikerjakan bersama Kevin dan Arsyi, katanya. Diva tak bertanya hal penting apa, tetapi dia yakin bukan masalah pekerjaan karena setahunya perusahaan Juna dan milik Arsyi tidak bekerjasama, tidak juga bersaing. Perusahaan mereka bergerak di dua bidang berbeda. Meskipun Kevin ikut bersama mereka, tetapi tetap saja dia yakin bukan masalah pekerjaan, setidaknya tidak ada hubungannya dengan perusahaan dan kertas bernama saham. Diva mencoba tidak peduli, tetapi tetap saja dia memikirkannya. Masalahnya dia penasaran, Juna tidak memberi tahu apa pun. Tempat tidur adalah tempat terfavorit sebagian besar orang, dan Diva termasuk ke dalam sebagian besar itu. Dia sangat menyukai tempat tidurnya. Baginya, tempat tidurnya berarti
Baca selengkapnya

Bab 89. Mencari Kebenaran

Sepasang alis Della mengerut mendengar penuturan Diva. Putrinya memiliki teman? Siapa? Apakah rekan kerjanya di kantor? Semoga saja asalkan mereka bukan dua orang wanita yang menjadi sahabatnya semasa sekolah dulu. Kedua wanita itu tidak boleh mengetahui keberadaan Diva. Sebab jika itu terjadi, pria itu juga pasti akan tahu. Hidup Diva akan kembali seperti dulu, dipenuhi bahaya yang mengintai dan setiap saat bisa merenggut nyawanya, seperti dulu. Dia tidak akan sanggup jika benar-benar kehilangan putrinya. "Teman kamu?" ulang Della. Debaran dadanya semakin menggila melihat kepala Diva bergerak naik turun, beberapa kali. "Siapa?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar. "Nora sama Echa," jawab Diva tersenyum lebar. Bukannya dia tak melihat kekhawatiran di mata dan di wajah Mama, bukannya dia tidak peduli, hanya saja kekhawatiran itu membuatnya penasaran. Diva semakin yakin jika Mama menyembunyikan sesuatu. "Diva juga ke rumah Helen."Wajah cantik dan keibuan Della memucat, kekhawatira
Baca selengkapnya

Bab 90. Pria Terhormat

Tak ada suara selama beberapa saat selain detak jam dinding yang menempel di dinding bagian kanan kamar Diva. Wajah Della terlihat kembali memucat, dia mengerti apa yang ditakutkan suaminya. Arsen Dirgantara adalah investor dan pemilik saham terbesar di perusahaan mereka Jika pria itu memutus hubungan kerjasama di antara dua perusahaan mereka, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Belum lagi seandainya para penanam modal lain mendengarnya, bisa-bisa mereka melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Arsen. Mereka akan bangkrut dan jatuh miskin. Ronny terduduk di atas tempat tidur putrinya. Kepalanya tertunduk, sebelah kaki diangkat menjadi tumpuan siku yang tangannya sedang menopang kepala. Ia tidak bisa berpikir lagi, otak pintarnya buntu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, ajudan Arsen Dirgantara menghubunginya, memberi tahu jika atasannya tak lagi menginginkan kerjasama di antara dua perusahaan mereka. Entah ada kesalahan apa sehingga Dirgantara's Company yang merupakan salah
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
14
DMCA.com Protection Status