Juna mengangguk. Ia memang tidak memiliki bakat melawak, apalagi sepuluh tahun terakhir. Jangankan mengatakan sebuah lelucon, tertawa pun ia hampir tidak pernah, kecuali saat bersama Roma. Astaga, ia sudah melupakan bocah itu! Sudah terlalu lama mereka tidak bertemu, lebih dari dua minggu. Tak pernah mereka tidak bertemu selama ini sebelumnya, biasanya seminggu sekali adalah waktu paling lama. Mungkin nanti ia akan menemui Roma, menjemputnya di sekolah. Namun, tidak besok karena ia masih harus menghukum wanitanya. "Aku, 'kan, bukan badut, Be, wajar nggak lucu." Juna membela diri. "Nggak bilang kalo Juna badut!" Diva makin mengerucutkan bibirnya. Tangannya meraih wajah Juna, kepalanya menggeleng. Entah mendapatkan keberanian dari mana dia sudah duduk di pangkuan prianya, saling berhadapan. "Kamu bukan badut, tapi Arjuna," bisiknya di depan bibir Juna sebelum menjatuhkan bibirnya di atas bibir sexy prianya. Dia terlalu merindukannya, terlalu mencemaskannya, sampai-sampai dadanya te
Satu minggu. Juna benar-benar mengurungnya selama itu. Rasanya sedikit membosankan, tetapi Diva mencoba menekannya. Lagi pula, Juna tidak pernah meninggalkannya, selalu bersamanya di dalam apartemen, tidak pergi ke kantor. Pria itu memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan kantornya dari rumah, dan mengirimkannya melalui faksimili kepada Kevin jika sudah selesai. Waktu satu minggu bahkan nyaris tak terasa karena begitu banyak hal yang mereka kerjakan bersama. Tak hanya di tempat tidur, mereka juga memasak bersama, berolahraga bersama. Juna memiliki arena fitness pribadi di apartemennya. Beberapa kegiatan mengingatkannya pada sesuatu, tetapi masih tampak samar, belum jelas sehingga dia tidak bisa mengingat secara keseluruhan. Yang pasti satu hal, tubuhnya mengingat sentuhan Juna. Setiap inchi tubuhnya seolah meneriakkan nama pria itu, membuatnya candu. Ini hari kedelapan, Juna berencana membawanya ke rumah Helen. Tadi malam, dalam sambungan video call, Juna berjanji pada si kecil Ro
Suara khas bocah yang berasal dari Roma, menginterupsi obrolan kedua wanita itu. Serentak mereka menoleh, melihat Roma berlari kecil ke arah mereka, dan duduk di sebelah Helen. Kembali Diva melihat sorot itu di mata indah Roma. Dia mengerutkan alisnya, mencoba menyingkirkan pikiran negatif dari kepalanya. Tak mungkin. bocah sekecil Roma memiliki perasaan yang lebih terhadap Juna, 'kan? Juna sendiri memberitahunya, bahwa dia menganggap Roma seperti putrinya sendiri. Namun, melihat tatapan tak bersahabat dan sorot mata yang mirip dengan milik wanita yang menuduhnya telah merebut Juna darinya tempo hari, membuat pikiran negatifnya enggan pergi. Diva menggeleng pelan, mencoba tak menghiraukan sorot itu, dia menganggapnya sebagai hal biasa, seorang gadis kecil yang takut perhatian yang selama ini didapatnya akan terbagi. "Kata siapa Om nggak sayang?" tanya Juna menyangkal tuduhan Roma. Ia duduk di samping Diva yang menduduki sofa panjang. Di sebelah Diva ada Helen kemudian Roma. Sement
Roma berpura-pura, Diva menyadarinya. Jatuhnya disengaja, dia hanya ingin menarik perhatian Juna. Sialnya gadis kecil itu berhasil, sekarang dia berada di pangkuan Juna yang duduk di single sofa di sebelah Arsyi. Entah yang lain menyadarinya atau tidak, tetapi Diva melihatnya, Roma tersenyum penuh kemenangan. Meskipun hanya sekilas, senyum itu tercetak jelas. Sekarang Diva yakin jika semua yang dilihatnya –tentang ketidaksukaan Roma padanya, juga sorot tidak bersahabat dari matanya, itu bukan sekedar halusinasinya. Gadis kecil itu memang tidak menyukainya, Roma menganggapnya sebagai saingan. Astaga! "Om Juna, sakit bokong Roma," adu Roma memelas. Wajah imutnya yang merupakan perpaduan antara Helen dan Arsyi, mengerut menahan sakit. Bibir mungilnya mencebik. "Makanya Roma kalo duduk hati-hati. Sakit, 'kan, jadinya!" Juna mengusap rambut puncak kepala Roma, mengacak poninya gemas. "Nggak usah manja!" Helen mendelik. "Sini, sama Bunda!" Tangannya melambai meminta putri tunggalnya men
Ruang kerja Arsyi tidak terlalu besar, hanya berukuran empat kali empat meter. Namun, memiliki fasilitas yang cukup lengkap membuat ruang kerja ini terlihat berbeda dengan ruang kerja pada umumnya. Tak hanya satu set sofa untuk menerima tamu atau mungkin bersantai, meja kerja yang penuh dengan tumpukan kertas. Di sudut kanan ruangan bagian, terdapat sebuah meja lagi dengan ukuran lebih besar. Dua buah PC berada di atas meja, juga beberapa alat penunjang lainnya. Juna lebih memilih duduk pada kursi yang berada di depan meja kerja Arsyi karena pria itu juga duduk di belakang meja kerjanya. Lagipula, lebih mudah bagi mereka untuk berbicara serius dengan duduk di sini. Jika duduk di sofa, mereka seperti bersantai. "Kemaren gue kasih peringatan sama Tasya." Juna memulai pembicaraan. "Gue minta dia buat nggak ganggu Diva lagi.""Emang lu pikir dia mau?" Arsyi tertawa mengejek. "Lu yang paling tau seberapa gilanya Tasya."Juna mengusap wajah kasar, menyandarkan punggungnya dengan posisi se
Pulang ke rumah setelah tujuh hari terkurung di dalam apartemen adalah sesuatu sekali. Tanpa menengok kanan kiri, Diva langsung berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya. Juna hanya mengantarnya sampai di depan pintu gerbang, pria itu tergesa. Ada sesuatu yang harus dikerjakan bersama Kevin dan Arsyi, katanya. Diva tak bertanya hal penting apa, tetapi dia yakin bukan masalah pekerjaan karena setahunya perusahaan Juna dan milik Arsyi tidak bekerjasama, tidak juga bersaing. Perusahaan mereka bergerak di dua bidang berbeda. Meskipun Kevin ikut bersama mereka, tetapi tetap saja dia yakin bukan masalah pekerjaan, setidaknya tidak ada hubungannya dengan perusahaan dan kertas bernama saham. Diva mencoba tidak peduli, tetapi tetap saja dia memikirkannya. Masalahnya dia penasaran, Juna tidak memberi tahu apa pun. Tempat tidur adalah tempat terfavorit sebagian besar orang, dan Diva termasuk ke dalam sebagian besar itu. Dia sangat menyukai tempat tidurnya. Baginya, tempat tidurnya berarti
Sepasang alis Della mengerut mendengar penuturan Diva. Putrinya memiliki teman? Siapa? Apakah rekan kerjanya di kantor? Semoga saja asalkan mereka bukan dua orang wanita yang menjadi sahabatnya semasa sekolah dulu. Kedua wanita itu tidak boleh mengetahui keberadaan Diva. Sebab jika itu terjadi, pria itu juga pasti akan tahu. Hidup Diva akan kembali seperti dulu, dipenuhi bahaya yang mengintai dan setiap saat bisa merenggut nyawanya, seperti dulu. Dia tidak akan sanggup jika benar-benar kehilangan putrinya. "Teman kamu?" ulang Della. Debaran dadanya semakin menggila melihat kepala Diva bergerak naik turun, beberapa kali. "Siapa?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar. "Nora sama Echa," jawab Diva tersenyum lebar. Bukannya dia tak melihat kekhawatiran di mata dan di wajah Mama, bukannya dia tidak peduli, hanya saja kekhawatiran itu membuatnya penasaran. Diva semakin yakin jika Mama menyembunyikan sesuatu. "Diva juga ke rumah Helen."Wajah cantik dan keibuan Della memucat, kekhawatira
Tak ada suara selama beberapa saat selain detak jam dinding yang menempel di dinding bagian kanan kamar Diva. Wajah Della terlihat kembali memucat, dia mengerti apa yang ditakutkan suaminya. Arsen Dirgantara adalah investor dan pemilik saham terbesar di perusahaan mereka Jika pria itu memutus hubungan kerjasama di antara dua perusahaan mereka, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Belum lagi seandainya para penanam modal lain mendengarnya, bisa-bisa mereka melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Arsen. Mereka akan bangkrut dan jatuh miskin. Ronny terduduk di atas tempat tidur putrinya. Kepalanya tertunduk, sebelah kaki diangkat menjadi tumpuan siku yang tangannya sedang menopang kepala. Ia tidak bisa berpikir lagi, otak pintarnya buntu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, ajudan Arsen Dirgantara menghubunginya, memberi tahu jika atasannya tak lagi menginginkan kerjasama di antara dua perusahaan mereka. Entah ada kesalahan apa sehingga Dirgantara's Company yang merupakan salah
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop