“Kita putus aja, Je.” Jesatya mengerjap, ucapan Gia, pacar empat tahunnya itu terdengar mutlak. Makan siang yang sedang ia santap dengan lahap beberapa menit lalu tidak lagi membuatnya berselera. “Wa—wait, wait, maksudnya apa sih? Tiba-tiba banget.” Jesatya meletakkan sendok dan garpunya di atas piring lalu menatap Gia lekat. Gadisnya itu tidak tampak bercanda sedikit pun. “You heard me,” balas Gia. “Kita putus aja, Je. Apa kamu enggak capek? The sparks is gone.” Jesatya menggeleng, menyanggah ucapan Gia itu. “Putus bukan jalan keluarnya, Gia. Kita udah pernah ngelewatin ini, ‘kan?” Gia menggeleng pelan. Tidak seperti Jesatya yang beberapa menit lalu bisa menyantap makan siangnya dengan santai, Gia sama sekali tidak berselera sejak ia datang menemui Jesatya di restoran ini. Butuh keberanian yang banyak untuknya menemui Jesatya di sini dan mengatakan tujuan awalnya—walau, itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan. Setelah berpikir matang selama tiga malam, Gia kemudian memantapkan
Read more