/ Romansa / Anakku Tak Diakui Ayahnya / 챕터 31 - 챕터 40

Anakku Tak Diakui Ayahnya 의 모든 챕터: 챕터 31 - 챕터 40

96 챕터

BAB 31

Sekalian saja kucecar wanita di depanku ini. Tak kupedulikan wajahnya yang mulai merah paham khasnya saat tengah emosi. Kurasa kalimatku cukup memberi pukulan-pukulan telak pada dirinya. "Tentu saja Ibu tak puas jika tak melihat langsung sendiri." Ucapannya membuatku pura-pura mengerti dan percaya dengan apa yang dia katakan. Bukan aku bodoh, aku mampu menebak tujuan apa yang membuat lintah ini mendekat pada daging segar yang kini tersedia begitu mudah di rumahku. Aku tahu kemana pikirannya berlabuh. Aku tersenyum licik. Aku tidak ingin kalah dengan wanita ini. Dia yang dulu memperlakukanku bak binatang tak akan mendapatkan penghormatan apapun di rumahku. Aku tak bodoh, tak mungkin lupa juga dengan tiap detil perlakuannya padaku. "Apakah sang pemberi info tak menjelaskan pekerjaan apa yang kutekuni akhir-akhir ini?" Sengaja kutekan kata sang pemberi info pada kalimatku. Aku hanya mengarah pada dua orang itu yang telah memberi info padanya. "Rindu, kau… kau… tidak melakoni perkerja
더 보기

BAB 32

Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
더 보기

BAB 32

Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
더 보기

BAB 32

Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
더 보기

BAB 33

Dengan sangat terpaksa aku mengizinkan wanita ini menginap di rumahku. Hanya satu malam ini saja, besok aku akan mengantarkannya ke terminal untuk pulang kembali ke tempatnya berasal. Bukan tak punya hati, aku hanya tak ingin membuang-buang waktuku mengurusi manusia yang tak punya hati sepertinya. "Bintang lahap sekali makannya?" ucap Ibu pada Bintang yang sesekali mencuri pandang ke arah wanita asing itu. Tak ada tanggapan dari anakku. Kurasa Ibu cukup tersinggung, tetapi saat aku menghujamkan tatapan tajam padanya, wanita itu terlihat salah tingkah. Wanita yang kulihat ini memang kini terlihat kurus, terkesan tak terawat. Beda sekali saat dulu aku masih serumah dengannya. "Berapa kau menggaji pengasuh anakmu?" Pertanyaan lanjutan itu membuatku menghentikan gerakan tanganku menyendok makanan. "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Maksud Ibu… apakah tak sebaiknya Ibu yang mengasuh anakmu saja?" Seketika Bintang menatapku. Tentu saja aku tak akan bodoh menyerahkan anakku pada singa
더 보기

BAB 34

Cerai "Yang tadi malam itu… pacarmu?" tanya Ibu saat aku tengah menyiapkan makanan untuk sarapan yang kupesan lewat jasa antar di warung makan langganan. Bukan aplikasi online, karena pemilik warungnya pun sudah sepuh. Dia tak akan paham dengan kerja sama semacam itu. Aku diam, terlalu asyik bergelut membuka bungkusan-bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma sedap. Makanan khas orangtua, tentu saja dengan aroma-aroma bumbu yang tak pelit jumlahnya. Urap sayuran hijau, sambel kacang ikan teri, orek tempe dan seperti biasa, Mbok Ruminten memberikan bonus telur dadar untuk Bintang. Padahal aku tak memesannya. "Ndu!" panggil Ibu. Aku menoleh, menatapnya dengan wajah biasa seolah tak kudengar apa yang dia katakan tadi. "Apakah pria tadi malam itu calon suamimu? Sepertinya dia sangat peduli dengan Bintang." Aku menyesap kopi sesaat. Kubiarkan rasa penasaran menguasai wanita itu. Kulihat bibirnya mencebik menatapku jengkel. "Apakah aku perlu menjelaskannya?" tantangku. "Tentu saja, Ib
더 보기

BAB 35

"Aku harap Ibu paham dengan batasan-batasanmu, Bu. Ingatlah di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Tidak ada dalam tubuhku mengalir setetes pun darah dari tubuhmu. Bukankah itu yang dulu kau ucapkan padaku? Jangan ikut campur urusan yang tidak kamu ketahui. Ingatlah apa yang menimpaku dengan bintang adalah turut campur tanganmu juga, Bu," ucapku pada wanita itu penuh emosi. "Apakah kau sedang menyesal pergi meninggalkan rumah? Ibu Janji bisa membantumu kembali pada Giandra tapi dengan satu syarat. Biarkan Ibu tinggal di sini bersamamu." Dengan keras aku menggebrak meja. Tak kupedulikan lagi batasan sopan santun terhadap orang tua. Wanita ini benar-benar perlu kuberi perhitungan. "Lekas berkemas aku akan mengantarmu sekarang juga! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni setiap pembicaraanmu!" ucapku yang kuharap mampu membungkam mulut wanita itu. Hari ini migrainku kembali kambuh. Saat di restoran aku hampir menubruk mesin pembuat kopi karena kepalaku yang tiba-tiba sakit t
더 보기

BAB 36

Sampai di rumah kudapati sebuah mobil berwarna silver terparkir rapi di depan rumahku. Bukan aku tak tahu siapa pemiliknya. Hanya saja aku benar-benar kaget dengan tujuannya kemari. Apakah masih kurang penolakan yang sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu? emosiku kembali mencuat apalagi saat melihat bintang dan Giandra duduk di teras rumah sedangkan Mbak Tini berada tak jauh dari posisi mereka. Melihat kedatanganku yang berjalan cepat kearah mereka, Mbak Tini segera berdiri wajahnya benar-benar tak nyaman. Dia begitu ketakutan karena melihat orang yang kutolak akhir-akhir ini masuk ke dalam rumah. Mbak Tini tergopoh-gopoh menyambutku setengah berbisik. " Maaf, Bu. Laki-laki itu memaksaku untuk bertemu dengan Bintang. Saya tak kuasa menolaknya apalagi saat melihat bintang yang begitu menyambut baik kedatangannya." Baiklah, bukan saatnya memarahi wanita itu. Kurasa apa yang dia lakukan beralasan. Bintang memang sudah agak dekat dengan lelaki yang merupakan ayah kandungnya. Teta
더 보기

BAB 37

Kau Pengecut, Giandra! Aku terbangun dan menatap sekelilingku. Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan itu membuatku tersentak. Kepalaku masih terasa nyeri. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sayup-sayup kudengar suara seseorang yang tengah menelepon di depan pintu kamar ruanganku. Aku yakin sekali bahwa suara itu adalah suara Satya. Suara handle pintu terdengar wajah Satya ya menyusul dari balik pintu dengan raut muka penuh khawatir Dia mendekati ranjang tempat aku berbaring saat ini. "Bagaimana kondisimu? apakah kau merasa sudah agak baikan?" tanya Satya. "Apakah kau yang membawaku kemari?" Pertanyaan Satya justru aku jawab dengan pertanyaan lagi untuknya. Kulihat dia menghela nafasnya sesaat. Ditatapnya wajahku dengan matanya yang tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang sangat besar itu . Kualihkan pandangan ke arah lain. Jujur saja aku mulai malu terus-menerus merepotkan dirinya. "Sepertinya aku hanya kurang istirahat saja," lanjutku seraya memijit lembut kepala
더 보기

BAB 38

Aku menghembuskan nafas dengan lega. Apa yang dikatakan Satya membuatku mulai tenang. Aku khawatir Giandra akan memanfaatkan jabatannya kembali dan mendekati kehidupanku. "Jika tidak ada keluhan mungkin hari ini kau bisa pulang." Aku mengangguk mendapati kalimat yang dijelaskan oleh Satya. Kurasa aku sudah merasa sangat baikan. Hanya sedikit rasa sakit kepala yang pasti akan dengan mudah hilang jika kubawa beristirahat. Tiba-tiba Aku teringat dengan ponselku. Baru saja ingin kutanyakan kepada Satya, aku dikejutkan dengan suara pintu yang didorong oleh seseorang dari arah luar. Hal yang membuatku benar-benar kaget adalah seseorang yang terlihat dari balik pintu. Giandra menatapku dan Satya bergantian. Segera aku memalingkan wajah ke arah Satya. Aku memilih mengacuhkan lelaki yang datang tanpa permisi itu. "Bisakah kau memberi waktu untukku dan Rindu berbicara berdua?" tanya Giandra secara langsung kepada Satya. Tentu saja lelaki itu tak akan mudah mengabulkan permintaan lelaki itu
더 보기
이전
123456
...
10
DMCA.com Protection Status