Share

BAB 32

Penulis: Yuli Zaynomi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Perdebatan Rindu dan Satya

"Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.

"Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana."

Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku.

Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung?

"Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku.

"Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku.

"Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku."

"Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Merny Maylen
iya gmn sih thor, itu bab 32 sampe ada 3
goodnovel comment avatar
Pepi Arastya
Kenapa double sich? Sama spt bab sebelumnya ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 32

    Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 33

    Dengan sangat terpaksa aku mengizinkan wanita ini menginap di rumahku. Hanya satu malam ini saja, besok aku akan mengantarkannya ke terminal untuk pulang kembali ke tempatnya berasal. Bukan tak punya hati, aku hanya tak ingin membuang-buang waktuku mengurusi manusia yang tak punya hati sepertinya. "Bintang lahap sekali makannya?" ucap Ibu pada Bintang yang sesekali mencuri pandang ke arah wanita asing itu. Tak ada tanggapan dari anakku. Kurasa Ibu cukup tersinggung, tetapi saat aku menghujamkan tatapan tajam padanya, wanita itu terlihat salah tingkah. Wanita yang kulihat ini memang kini terlihat kurus, terkesan tak terawat. Beda sekali saat dulu aku masih serumah dengannya. "Berapa kau menggaji pengasuh anakmu?" Pertanyaan lanjutan itu membuatku menghentikan gerakan tanganku menyendok makanan. "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Maksud Ibu… apakah tak sebaiknya Ibu yang mengasuh anakmu saja?" Seketika Bintang menatapku. Tentu saja aku tak akan bodoh menyerahkan anakku pada singa

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 34

    Cerai "Yang tadi malam itu… pacarmu?" tanya Ibu saat aku tengah menyiapkan makanan untuk sarapan yang kupesan lewat jasa antar di warung makan langganan. Bukan aplikasi online, karena pemilik warungnya pun sudah sepuh. Dia tak akan paham dengan kerja sama semacam itu. Aku diam, terlalu asyik bergelut membuka bungkusan-bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma sedap. Makanan khas orangtua, tentu saja dengan aroma-aroma bumbu yang tak pelit jumlahnya. Urap sayuran hijau, sambel kacang ikan teri, orek tempe dan seperti biasa, Mbok Ruminten memberikan bonus telur dadar untuk Bintang. Padahal aku tak memesannya. "Ndu!" panggil Ibu. Aku menoleh, menatapnya dengan wajah biasa seolah tak kudengar apa yang dia katakan tadi. "Apakah pria tadi malam itu calon suamimu? Sepertinya dia sangat peduli dengan Bintang." Aku menyesap kopi sesaat. Kubiarkan rasa penasaran menguasai wanita itu. Kulihat bibirnya mencebik menatapku jengkel. "Apakah aku perlu menjelaskannya?" tantangku. "Tentu saja, Ib

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 35

    "Aku harap Ibu paham dengan batasan-batasanmu, Bu. Ingatlah di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Tidak ada dalam tubuhku mengalir setetes pun darah dari tubuhmu. Bukankah itu yang dulu kau ucapkan padaku? Jangan ikut campur urusan yang tidak kamu ketahui. Ingatlah apa yang menimpaku dengan bintang adalah turut campur tanganmu juga, Bu," ucapku pada wanita itu penuh emosi. "Apakah kau sedang menyesal pergi meninggalkan rumah? Ibu Janji bisa membantumu kembali pada Giandra tapi dengan satu syarat. Biarkan Ibu tinggal di sini bersamamu." Dengan keras aku menggebrak meja. Tak kupedulikan lagi batasan sopan santun terhadap orang tua. Wanita ini benar-benar perlu kuberi perhitungan. "Lekas berkemas aku akan mengantarmu sekarang juga! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni setiap pembicaraanmu!" ucapku yang kuharap mampu membungkam mulut wanita itu. Hari ini migrainku kembali kambuh. Saat di restoran aku hampir menubruk mesin pembuat kopi karena kepalaku yang tiba-tiba sakit t

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 36

    Sampai di rumah kudapati sebuah mobil berwarna silver terparkir rapi di depan rumahku. Bukan aku tak tahu siapa pemiliknya. Hanya saja aku benar-benar kaget dengan tujuannya kemari. Apakah masih kurang penolakan yang sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu? emosiku kembali mencuat apalagi saat melihat bintang dan Giandra duduk di teras rumah sedangkan Mbak Tini berada tak jauh dari posisi mereka. Melihat kedatanganku yang berjalan cepat kearah mereka, Mbak Tini segera berdiri wajahnya benar-benar tak nyaman. Dia begitu ketakutan karena melihat orang yang kutolak akhir-akhir ini masuk ke dalam rumah. Mbak Tini tergopoh-gopoh menyambutku setengah berbisik. " Maaf, Bu. Laki-laki itu memaksaku untuk bertemu dengan Bintang. Saya tak kuasa menolaknya apalagi saat melihat bintang yang begitu menyambut baik kedatangannya." Baiklah, bukan saatnya memarahi wanita itu. Kurasa apa yang dia lakukan beralasan. Bintang memang sudah agak dekat dengan lelaki yang merupakan ayah kandungnya. Teta

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 37

    Kau Pengecut, Giandra! Aku terbangun dan menatap sekelilingku. Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan itu membuatku tersentak. Kepalaku masih terasa nyeri. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sayup-sayup kudengar suara seseorang yang tengah menelepon di depan pintu kamar ruanganku. Aku yakin sekali bahwa suara itu adalah suara Satya. Suara handle pintu terdengar wajah Satya ya menyusul dari balik pintu dengan raut muka penuh khawatir Dia mendekati ranjang tempat aku berbaring saat ini. "Bagaimana kondisimu? apakah kau merasa sudah agak baikan?" tanya Satya. "Apakah kau yang membawaku kemari?" Pertanyaan Satya justru aku jawab dengan pertanyaan lagi untuknya. Kulihat dia menghela nafasnya sesaat. Ditatapnya wajahku dengan matanya yang tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang sangat besar itu . Kualihkan pandangan ke arah lain. Jujur saja aku mulai malu terus-menerus merepotkan dirinya. "Sepertinya aku hanya kurang istirahat saja," lanjutku seraya memijit lembut kepala

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 38

    Aku menghembuskan nafas dengan lega. Apa yang dikatakan Satya membuatku mulai tenang. Aku khawatir Giandra akan memanfaatkan jabatannya kembali dan mendekati kehidupanku. "Jika tidak ada keluhan mungkin hari ini kau bisa pulang." Aku mengangguk mendapati kalimat yang dijelaskan oleh Satya. Kurasa aku sudah merasa sangat baikan. Hanya sedikit rasa sakit kepala yang pasti akan dengan mudah hilang jika kubawa beristirahat. Tiba-tiba Aku teringat dengan ponselku. Baru saja ingin kutanyakan kepada Satya, aku dikejutkan dengan suara pintu yang didorong oleh seseorang dari arah luar. Hal yang membuatku benar-benar kaget adalah seseorang yang terlihat dari balik pintu. Giandra menatapku dan Satya bergantian. Segera aku memalingkan wajah ke arah Satya. Aku memilih mengacuhkan lelaki yang datang tanpa permisi itu. "Bisakah kau memberi waktu untukku dan Rindu berbicara berdua?" tanya Giandra secara langsung kepada Satya. Tentu saja lelaki itu tak akan mudah mengabulkan permintaan lelaki itu

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 39

    "Aku penasaran apakah reaksi yang akan ditunjukkan oleh mantan sahabatku itu ketika tahu suaminya mengejarku seperti ini. Apakah kesombongannya itu akan tetap bertahan di dalam tubuhnya dan bagaimana keluarga Prihandono yang begitu mengagungkan asal usul seseorang itu tahu bahwa anak satu-satunya dalam keluarga itu mengejar-ngejar wanita yang pernah diusirnya dengan cara yang begitu memalukan?" ucapku dengan nada tegas. "Bagaimana wajah ibumu yang sombong itu? Wajah seorang wanita yang mengatakan keturunannya harus lahir dari rahim wanita yang setara dengan keluarganya? sungguh aku penasaran, Giandra!" "Rindu, sekarang aku sudah berhasil mewujudkan keinginan mereka untuk menjadi seorang dokter. Aku yakin jika saat ini aku memilih kembali menjalin hubungan denganmu mereka tak akan mempermasalahkannya. Lagi pula sudah ada Bintang. Mereka akan bahagia karena keberadaan anak itu.""Sungguh darah kesombongan dari mereka benar-benar mengalir dalam tubuhmu, Giandra. Kau sombong sekali, bah

Bab terbaru

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 93

    "Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 92

    "Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 91

    “Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 90

    Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 89

    Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 88

    Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 87

    Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 86

    Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 85

    “Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah

DMCA.com Protection Status