Home / Romansa / Rentenir Duda Itu Suamiku / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Rentenir Duda Itu Suamiku: Chapter 81 - Chapter 90

162 Chapters

BAB 81

Puspa diberikan mikrofon menyala. Kemudian dia berjalan mengitari lukisannya dan berhenti di samping. “Aku benar-benar berterima kasih karena telah memberi kesempatan untuk menjelaskan. Pada dasarnya, lukisanku memang memiliki latar belakang tertentu yang memiliki makna tersirat didalamnya.”Puspa tidak berbohong. Lukisannya bukan hanya menggambarkan sebuah keromantisan dari ranjang pengantin baru, itu lebih dari itu.“Ini adalah kisah romantis dua kekasih yang diharapkan oleh pelukis. Ini adalah imajinasi pelukis yang menggambarkan masa depannya dalam sebuah kamar pengantin beraroma mawar, lilin aroma yang menggugah gairah, juga taburan merah kelopak-kelopak di atas ranjang yang memberi pesan bahagia. Namun, disisi lain, ada jendela yang terbuka dengan pemandangan kelabu …”Jendela itu tidak di warna cerah seperti halnya kelopak mawar yang ada di atas ranjang. Puspa membuat jendela itu nampak kesepian. Berada di ujung ruangan, tanpa kelambu bahkan dengan kondisi kaca yang retak. Sang
Read more

BAB 82

“Astaga, aku benar-benar lupa. Tolong maafkan aku,” juri khusus wanita itu tertawa dan mempersilakan Zara untuk menjelaskan karyanya. “Nona Zara, ini salahku karena terlalu antusias dengan kompetisi. Jika kamu berkenan, silakan mempresentasikan karyamu di depan kami.”Zara memasang wajah tersenyum yang bijaksana. Walau pada kenyataannya, emosi di kepalanya hampir saja membuatnya meledak marah. “Tidak apa-apa, aku pikir karya Puspa memang sangat indah. Aku bahkan tidak menyangka dia sudah menyiapkan storyline yang tidak terduga. Kali ini, aku mengaku kalah. Karya Puspa layak menjadi pemenangnya.” Semua orang juga berpikir demikian. Karena selain gambar dua pasangan yang sedang berpelukan, lukisan Zara pada dasarnya tidak memiliki nilai tersirat apapun di dalamnya. Bahkan objeknya hanya sepasang kekasih itu, sementara masih ada banyak sisa kanvas yang putih polos tanpa di warna sama sekali. Jika dibandingkan dengan milik Puspa yang penuh elemen dan punya banyak makna, sudah jelas karya
Read more

BAB 83

“Selamat,” ujar Hakam singkat.Puspa tersenyum, “Sudah saya bilang, kan. Saya sering menggambar pocong sewaktu sekolah. Bapak harus tahu, pocong itu memiliki beberapa lapisan kain yang membalut jenazahnya. Semakin dikupas, kita akan menemukan kulit asli dari si jenazahnya. Dengan kata lain, melukis dengan banyak makna adalah keahlian saya, walau skill menggambar saya memang jauh dibawah Zara.”“Ah, jadi bukan benar-benar pocong?” Hakam menggelengkan kepalanya.“Itu hanya perumpamaan,” Jawab Puspa, kemudian menatap piring di hadapannya. Itu adalah hidangan utama yang sudah dingin. Hakam memperhatikan ini dan menawarkan makanan baru, “Kalau mau makan, biar ku panggilkan pelayan untuk membawakan makanan yang baru. Yang itu sudah dingin.”“Tidak apa-apa,” Puspa buru-buru menggeleng. “Saya makan yang ini saja, pak.”“Tapi itu dingin, tidak seenak ketika hangat.”Puspa bingung bagaimana harus menjelaskan. Baginya, makanan yang baru dingin 15 menit tidak ada apa-apanya dibanding makanan ham
Read more

BAB 84

“Baiklah, karena sudah diputuskan, silakan saja.” Hakam menurunkan pundaknya dan duduk tenang menyandar ke sandaran kursi. Sementara itu, Zara melirik Puspa sebentar, sebelum akhirnya mengambil tubuh Hamun dalam gendongannya dan pergi.“Maaf, apa saya terlalu lancang, pak?” Setelah Zara pergi bersama Hamun, barulah Puspa menyampaikan keluhannya. Itu inisiatifnya sendiri untuk menyetujui keputusan Zara, padahal sejak awal Hakam menolaknya.“Tidak apa-apa,” Hakam menyadari kekhawatiran Puspa. Awalnya memang dia tidak setuju, namun ketika memikirkan bagaimana reaksi orang lain ketika nanti ada rumor yang menyebutkan bahwa dia memisahkan anak dari ibunya, Hakam berubah pikiran. “Itu bagus untuk sesekali membiarkannya bergaul bersama Zara. Bagaimanapun juga, mereka terikat darah.”Puspa lega dan menurunkan pundaknya yang tegang. “Jadi, nanti hanya ada kita berdua di rumah— eh … m-maksud saya, Bi Asih pasti sudah pulang, kan?” Wajahnya langsung memerah ketika menyadari ada ambiguitas dalam
Read more

BAB 85

“Kamu!” Zara tidak bisa berkata-kata. Dia bahkan tidak berani melawan karena ada beberapa alasan. Alasan pertama, karena setiap bagian rumahnya memiliki mata dan telinga, jika berita tentang dia yang masih ingin dekat dengan Hakam sampai ke telinga ayah dan ibunya, selesai sudah hidupnya. Sementara alasan kedua, ada banyak orang di luar sini! Terutama para pengintai gosip yang diam-diam akan memotret dan membuat drama menjijikkan untuk menghasilkan keuntungan.Jadi, dia hanya bisa melihat dengan rahang mengeras ketika sedan hitam itu melaju sangat pelan dan menjauh dari halaman rumahnya. “Sial!” Zara menghentakkan kaki dan berjalan masuk dengan perasaan dongkol.Sementara itu, Puspa yang saat ini sedang menyetir, kini mematikan mesin mobil setelah melihat Zara tak ada lagi di belakang mereka. Perlu di garis bawahi, dia tidak bisa menyetir mobil!Yang barusan jelas hanya modal nekat agar dia tidak malu di hadapan Zara. Tentu saja tidak ada sopir, karena sejak awal mereka memang mengan
Read more

BAB 86

Puspa POVAku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja, tubuhku tertarik dan jatuh di atas badan besar milik majikanku.“P… pak?” Panggilku dengan gugup. Aku mulai mendongakkan kepala dan melihat ke wajah Pak Hakam yang saat ini matanya terbuka. Walau begitu, dia seperti tidak benar-benar bangun. Atau dengan kata lain, dia setengah bangun tetapi masih di bawah pengaruh alkohol.“Mau kemana?” Tanyanya dengan alis tertaut, nampak sangat kesal ketika menatap ke arahku. “Kamu berniat pergi meninggalkanku?”Aku terdiam, tidak tahu harus merespon seperti apa lantaran kalimat Pak Hakam terdengar ambigu. Seolah-olah aku adalah kekasihnya yang kejam, karena meninggalkannya sendirian dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Read more

BAB 87

“S-sepertinya saya harus keluar, pak. Ini tidak baik, kita harus berhenti disini.” Aku menurunkan tangan Pak Hakam yang bersandar di pundakku. Niat hati ingin segera pergi, namun lagi-lagi terhentikan karena ulah majikanku yang sedang mabuk itu.“Kamu tidak boleh pergi!” Pak Hakam kembali menarik tanganku dan membuatku terduduk lagi di atas ranjang. “Lihat, kemejaku belum terbuka, celanaku juga belum turun, dan kamu harus memandikan aku sampai bersih!”Mataku mendelik, menatap horor ke arah majikanku yang saat ini terlihat seperti anak kecil yang minta di cebokin pasca buang air besar. “Tapi pak, ini tidak boleh terjadi. Biar saya panggil pak sopir untuk— EH, PAK HAKAM! TURUNKAN SAYA PAK!”Belum sempat kalimatku selesai, Pak Hakam tiba-tiba turun dari ranjang dan
Read more

BAB 88

“Kenapa kamu lari lagi.” Keluh Pak Hakam dengan alis tertaut. ‘Karena Bapak sedang mabuk! Dan itu bahaya!’ pekikku dalam hati. Sebisa mungkin, mataku hanya fokus ke wajah memerah Pak Hakam yang terlihat mabuk itu, jangan sampai turun kebawah atau aku benar-benar akan pingsan setelahnya.“Pak, tolong biarkan saya pergi. Ini… ini sudah tidak benar!” Aku memohon dengan wajah melas. Jika posisinya Pak Hakam sadar, mungkin ini akan lebih mudah. Masalahnya adalah dia sedang mabuk berat. Jika sampai sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di antara kami, aku tidak yakin bagaimana cara menjelaskannya pada Pak Hakam. Tentu itu juga kerugian besar untukku. Karena kemungkinan besar, orang yang mabuk tidak akan mengingat apa yang sudah mereka lakukan.“Apa yang tidak benar? K
Read more

BAB 89

“Astaga! M… maaf, pak. Saya pergi dulu kalau begitu, bapak lanjutkan saja mandinya!” Aku yang menyadari ketidaknyamanan majikanku, langsung berpamitan dan hendak pergi, namun lagi dan lagi dihentikan oleh interupsi lelaki itu.Kali ini, aku tidak bisa menebak kalimat apa yang keluar dari bibirnya. Karena dia sudah sadar, seharusnya itu bukan kalimat nyeleneh yang akan membuatku tidak nyaman, kan?Kulihat Pak Hakam berdehem, “Pakaianmu sudah basah kuyup begitu. Kenapa tidak mandi disini saja.” Ucapnya sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.Aku terkejut dan wajahku seketika memerah padam. Mungkinkah ini … ajakan mandi bersama secara tidak langsung? Tetapi kenapa? Memangnya Pak Hakam tertarik padaku? Namun, ketika mengingat pengakuannya tentang masturbasi menggunakan fantasi wa
Read more

BAB 90

Setelah berputar-putar lebih dari 30 menit, kami akhirnya sampai di sebuah klinik kecil yang buka 24 jam. Aku sudah bersiap untuk membuka pintu dan berjalan sendiri. Namun tiba-tiba pintu mobil dibuka dari luar dan Pak Hakam langsung mengambil alih tubuhku tanpa bicara apa-apa.“Pak! Saya bisa jalan sendiri!” Aku yang terkejut reflek memeluk leher Pak Hakam dan merasa tidak nyaman.Namun, Pak Hakam tidak mau mendengarkan dan terus berjalan saja menuju pintu masuk klinik. Dan sialnya, ada beberapa staf laki-laki juga perempuan yang sedang bertugas. Kami berdua sontak saja jadi pusat perhatian. Aku merasa sangat malu dan hanya bisa menyembunyikan wajahku di potongan leher yang kokoh itu.“Pak, saya malu,” ujarku dengan suara kecil. Sementara itu, kulihat Pak Hakam tidak bereaksi, namun telingaku mendengar kekehan rendah yang samar.“Maaf, aku sedang panik. Jadi, tidak menyadari apapun selain kamu,” jawabnya jujur. Kemudian wajahku langsung memerah seperti udang rebus. Kalimat terakhir i
Read more
PREV
1
...
7891011
...
17
DMCA.com Protection Status