“Kenapa kamu lari lagi.” Keluh Pak Hakam dengan alis tertaut.
‘Karena Bapak sedang mabuk! Dan itu bahaya!’ pekikku dalam hati. Sebisa mungkin, mataku hanya fokus ke wajah memerah Pak Hakam yang terlihat mabuk itu, jangan sampai turun kebawah atau aku benar-benar akan pingsan setelahnya.
“Pak, tolong biarkan saya pergi. Ini… ini sudah tidak benar!” Aku memohon dengan wajah melas. Jika posisinya Pak Hakam sadar, mungkin ini akan lebih mudah. Masalahnya adalah dia sedang mabuk berat. Jika sampai sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di antara kami, aku tidak yakin bagaimana cara menjelaskannya pada Pak Hakam. Tentu itu juga kerugian besar untukku. Karena kemungkinan besar, orang yang mabuk tidak akan mengingat apa yang sudah mereka lakukan.
“Apa yang tidak benar? K
“Astaga! M… maaf, pak. Saya pergi dulu kalau begitu, bapak lanjutkan saja mandinya!” Aku yang menyadari ketidaknyamanan majikanku, langsung berpamitan dan hendak pergi, namun lagi dan lagi dihentikan oleh interupsi lelaki itu.Kali ini, aku tidak bisa menebak kalimat apa yang keluar dari bibirnya. Karena dia sudah sadar, seharusnya itu bukan kalimat nyeleneh yang akan membuatku tidak nyaman, kan?Kulihat Pak Hakam berdehem, “Pakaianmu sudah basah kuyup begitu. Kenapa tidak mandi disini saja.” Ucapnya sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.Aku terkejut dan wajahku seketika memerah padam. Mungkinkah ini … ajakan mandi bersama secara tidak langsung? Tetapi kenapa? Memangnya Pak Hakam tertarik padaku? Namun, ketika mengingat pengakuannya tentang masturbasi menggunakan fantasi wa
Setelah berputar-putar lebih dari 30 menit, kami akhirnya sampai di sebuah klinik kecil yang buka 24 jam. Aku sudah bersiap untuk membuka pintu dan berjalan sendiri. Namun tiba-tiba pintu mobil dibuka dari luar dan Pak Hakam langsung mengambil alih tubuhku tanpa bicara apa-apa.“Pak! Saya bisa jalan sendiri!” Aku yang terkejut reflek memeluk leher Pak Hakam dan merasa tidak nyaman.Namun, Pak Hakam tidak mau mendengarkan dan terus berjalan saja menuju pintu masuk klinik. Dan sialnya, ada beberapa staf laki-laki juga perempuan yang sedang bertugas. Kami berdua sontak saja jadi pusat perhatian. Aku merasa sangat malu dan hanya bisa menyembunyikan wajahku di potongan leher yang kokoh itu.“Pak, saya malu,” ujarku dengan suara kecil. Sementara itu, kulihat Pak Hakam tidak bereaksi, namun telingaku mendengar kekehan rendah yang samar.“Maaf, aku sedang panik. Jadi, tidak menyadari apapun selain kamu,” jawabnya jujur. Kemudian wajahku langsung memerah seperti udang rebus. Kalimat terakhir i
“Ehh?” Mendengar jawabanku, pak dokter tua itu terkejut. Dia berjalan ke arahku, kemudian mengambil alih tanganku untuk dia bantu berdiri, kemudian dituntun menuju ranjang kecil yang ada disana. “Jadi dia bukan suamimu? Tapi dia terlihat sangat khawatir.”Aku menggaruk pipi, “Kami memang dekat, tapi belum sampai tahap seperti itu.”“Ahh…” Pak dokter mengangguk karena langsung memahami maksudku. Karena posisiku duduk di ranjang, pak dokter itu duduk di kursi lain yang langsung menghadap ke arahku dan mengangkat kakiku yang terluka.“Aih, kukumu bahkan sampai menganga seperti ini. Bagaimana bisa?” Kepalanya menggeleng prihatin. “Ya, tidak sengaja.” Aku tertawa canggung, “Apa itu akan dibiarkan seperti itu? Atau kukunya harus dicabut semua?” Ketika menanyakan hal ini, aku merasa sedikit ngeri membayangkan betapa sakitnya.“Tidak perlu di cabut semua, karena bagian tengah ke belakang tidak terkelupas,” jawab dokter itu sambil mengamati kukuku. “Kamu setuju untuk memotong sebagian kukunya
“Itu apa?” Pak Hakam bertanya lagi dengan tidak sabar. Entahlah, aku tidak tahu kenapa saat ini wajahnya terlihat agak tidak senang. Mungkinkah dia menyesali pernyataan cintanya dan memang berharap aku menolaknya saja?Ketika aku membuka mulut hendak menjawab pertanyaannya, Pak Hakam sudah lebih dulu membuka suara. “Jangan bilang kamu berniat menolak perasaanku secepat itu?”“Eh?” Aku terkejut, kemudian buru-buru melambaikan kedua tanganku. “Mana mungkin seperti itu, kaki saya tersandung karena terburu-buru ingin menerima perasaan bapak!”Pak Hakam sepertinya sangat terkejut dengan jawabanku. Terbukti, setelah aku menyelesaikan kalimatku, mobil itu berhenti tiba-tiba karena rem diinjak terlalu cepat. Untung saja jalanan sedang sepi, kalau tidak bisa-bisa kami kena tilang polisi.“Pak!” Aku mengeluh karena terkejut, rambut panjangku sampai berantakan ke wajah semua akibat rem mendadak itu. “Kamu serius dengan apa yang kamu katakan?” Kali ini, aku mendengar suara Pak Hakam seperti seor
Ketika aku sampai disana, rasanya sangat sepi. Hanya ada sopir yang sekaligus jadi satpam, sedang mencuci mobil milik majikannya sambil bernyanyi ria. Aku mengabaikannya dan langsung masuk begitu saja. Ketika kakiku pertama kali menginjak lantai bagian dalam dari rumah itu, aroma masakan yang sangat harum langsung menyambut hidungku.Aku enggan mengakuinya, namun memang masakan ini cukup menggugah seleraku. Aku melanjutkan langkah menuju dapur, namun Bi Asih terlihat keluar dengan kemoceng di satu tangan.“Nyonya Zara?” Ujarnya terkejut, kemudian memberi salam basa-basi padaku.“Dimana Hakam?” Tanyaku setelah membalas singkat sapaan Bi Asih.Bi Asih berkedip, “Tuan masih ada dikamarnya. Sepertinya belum bangun.” “Belum bangun? Tidak biasanya.” Aku mengernyitkan alis, namun memilih abai dan lanjut berjalan menuju dapur. Disana, aku lihat gadis miskin itu sedang sibuk memasak di depan kompor.Bahkan, dia tidak menyadari kehadiranku. Sekalinya ingat, aku malah dikira Bi Asih, kurang aja
“Kamu benar-benar tidur dengan Hakam?” Mataku mendelik. “Bukan urusanmu, apapun yang aku lakukan—”PLAK!Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah tidak tahan dan tanpa ampun memberinya tamparan keras. “Kurang ajar! Kamu pembantu yang tidak tahu diri!” Aku semakin kalap. Kali ini kudorong keras tubuhnya hingga jatuh ke lantai. Setelah itu, aku tidak berhenti dan beralih memberi pelajaran pada rambutnya yang panjang. Kutarik segenggam dan kubuat kepalanya kesakitan.Aku sungguh puas melihatnya menderita tetapi tidak mampu membalas karena kakinya sedang sakit. Ini kesempatan emas, jadi kubuat dia lebih tersiksa dengan menarik kuat genggaman rambut di tanganku. Alhasil, beberapa helai berhasil tercabut paksa dan dia semakin menjerit kesakitan.“ZARA!” Mendengar teriakan ini, aku tidak terkejut. Kulihat Hakam datang dengan wajah marah, dan aku langsung melepaskan tanganku sepenuhnya dari kepala Puspa.Melihat wajah marah Hakam, aku yakin dia juga marah pada Puspa. Mungkin dia men
POV HakamAku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Alasannya karena jawaban Puspa beberapa saat lalu terngiang-ngiang di kepalaku. Karena dia setuju, bukankah itu artinya kami sudah menjadi pasangan kekasih? Memikirkannya saja sudah membuatku merasa aneh. Bukan aneh yang bagaimana, ini hanya semacam rasa berbeda yang tidak pernah aku rasakan. Karena memang baru kali ini aku tertarik pada seorang wanita tanpa paksaan siapapun, benar-benar atas kehendak hatiku sendiri.Melihat jam dinding, itu sudah pukul tiga dini hari. Aku tidak bisa terus begadang, karena besok masih harus pergi ke kantor untuk bekerja. Jadi, kupaksa mataku terpejam dan jangan sampai ku buka lagi. Entah berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk tidur, yang pasti, aku terbangun karena kebisingan yang terjadi di luar kamar.Awalnya kukira itu mimpi. Tetapi ketika aku mengerjapkan mata dan perlahan mengembalikan kesadaranku yang belum sepenuhnya terkumpul, teriakan itu terdengar semakin nyata, dan pada saat itu aku baru me
“Kok bisa ya ada orang sejahat itu,” ujar Puspa sambil menggeleng. “Maksudnya, kok bisa sampai hati melakukan kekerasan seperti itu cuma karena sesuatu yang belum tentu benar adanya.”Aku langsung menjawab, “Makanya aku peringatkan, jangan dekat-dekat dengan Zara. Aku yakin setelah tahu hubungan yang kita jalin sekarang, dia tidak akan tinggal diam.”“Pak Hakam berarti sangat berkarisma, buktinya mantan istrinya pun masih suka, kan?”“Jangan ngawur kamu,” aku mengetuk dahi Puspa pelan, kemudian segera menyelesaikan perban baru di jempol kakinya dengan cukup sempurna. Melihat hasil kerjaku sendiri, aku mengangguk puas. “Oke, sekarang sudah selesai dan kamu sebaiknya istirahat.”“Tapi masih banyak kerjaan, pak.”Aku langsung mendelik, “Ada Bi Asih yang kerjakan, dia juga pasti paham kondisi kamu sedang tidak baik.”“Iya, istirahat saja Puspa. Biar saya yang kerjakan semuanya hari ini.” Bi Asih yang datang teh hangat langsung menyahut. “Teh hangatnya di minum dulu, biar pikirannya jernih
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha