“Baiklah, karena sudah diputuskan, silakan saja.” Hakam menurunkan pundaknya dan duduk tenang menyandar ke sandaran kursi. Sementara itu, Zara melirik Puspa sebentar, sebelum akhirnya mengambil tubuh Hamun dalam gendongannya dan pergi.“Maaf, apa saya terlalu lancang, pak?” Setelah Zara pergi bersama Hamun, barulah Puspa menyampaikan keluhannya. Itu inisiatifnya sendiri untuk menyetujui keputusan Zara, padahal sejak awal Hakam menolaknya.“Tidak apa-apa,” Hakam menyadari kekhawatiran Puspa. Awalnya memang dia tidak setuju, namun ketika memikirkan bagaimana reaksi orang lain ketika nanti ada rumor yang menyebutkan bahwa dia memisahkan anak dari ibunya, Hakam berubah pikiran. “Itu bagus untuk sesekali membiarkannya bergaul bersama Zara. Bagaimanapun juga, mereka terikat darah.”Puspa lega dan menurunkan pundaknya yang tegang. “Jadi, nanti hanya ada kita berdua di rumah— eh … m-maksud saya, Bi Asih pasti sudah pulang, kan?” Wajahnya langsung memerah ketika menyadari ada ambiguitas dalam
“Kamu!” Zara tidak bisa berkata-kata. Dia bahkan tidak berani melawan karena ada beberapa alasan. Alasan pertama, karena setiap bagian rumahnya memiliki mata dan telinga, jika berita tentang dia yang masih ingin dekat dengan Hakam sampai ke telinga ayah dan ibunya, selesai sudah hidupnya. Sementara alasan kedua, ada banyak orang di luar sini! Terutama para pengintai gosip yang diam-diam akan memotret dan membuat drama menjijikkan untuk menghasilkan keuntungan.Jadi, dia hanya bisa melihat dengan rahang mengeras ketika sedan hitam itu melaju sangat pelan dan menjauh dari halaman rumahnya. “Sial!” Zara menghentakkan kaki dan berjalan masuk dengan perasaan dongkol.Sementara itu, Puspa yang saat ini sedang menyetir, kini mematikan mesin mobil setelah melihat Zara tak ada lagi di belakang mereka. Perlu di garis bawahi, dia tidak bisa menyetir mobil!Yang barusan jelas hanya modal nekat agar dia tidak malu di hadapan Zara. Tentu saja tidak ada sopir, karena sejak awal mereka memang mengan
Puspa POVAku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja, tubuhku tertarik dan jatuh di atas badan besar milik majikanku.“P… pak?” Panggilku dengan gugup. Aku mulai mendongakkan kepala dan melihat ke wajah Pak Hakam yang saat ini matanya terbuka. Walau begitu, dia seperti tidak benar-benar bangun. Atau dengan kata lain, dia setengah bangun tetapi masih di bawah pengaruh alkohol.“Mau kemana?” Tanyanya dengan alis tertaut, nampak sangat kesal ketika menatap ke arahku. “Kamu berniat pergi meninggalkanku?”Aku terdiam, tidak tahu harus merespon seperti apa lantaran kalimat Pak Hakam terdengar ambigu. Seolah-olah aku adalah kekasihnya yang kejam, karena meninggalkannya sendirian dalam kondisi tidak baik-baik saja.
“S-sepertinya saya harus keluar, pak. Ini tidak baik, kita harus berhenti disini.” Aku menurunkan tangan Pak Hakam yang bersandar di pundakku. Niat hati ingin segera pergi, namun lagi-lagi terhentikan karena ulah majikanku yang sedang mabuk itu.“Kamu tidak boleh pergi!” Pak Hakam kembali menarik tanganku dan membuatku terduduk lagi di atas ranjang. “Lihat, kemejaku belum terbuka, celanaku juga belum turun, dan kamu harus memandikan aku sampai bersih!”Mataku mendelik, menatap horor ke arah majikanku yang saat ini terlihat seperti anak kecil yang minta di cebokin pasca buang air besar. “Tapi pak, ini tidak boleh terjadi. Biar saya panggil pak sopir untuk— EH, PAK HAKAM! TURUNKAN SAYA PAK!”Belum sempat kalimatku selesai, Pak Hakam tiba-tiba turun dari ranjang dan
“Kenapa kamu lari lagi.” Keluh Pak Hakam dengan alis tertaut.‘Karena Bapak sedang mabuk! Dan itu bahaya!’ pekikku dalam hati. Sebisa mungkin, mataku hanya fokus ke wajah memerah Pak Hakam yang terlihat mabuk itu, jangan sampai turun kebawah atau aku benar-benar akan pingsan setelahnya.“Pak, tolong biarkan saya pergi. Ini… ini sudah tidak benar!” Aku memohon dengan wajah melas. Jika posisinya Pak Hakam sadar, mungkin ini akan lebih mudah. Masalahnya adalah dia sedang mabuk berat. Jika sampai sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di antara kami, aku tidak yakin bagaimana cara menjelaskannya pada Pak Hakam. Tentu itu juga kerugian besar untukku. Karena kemungkinan besar, orang yang mabuk tidak akan mengingat apa yang sudah mereka lakukan.“Apa yang tidak benar? K
“Astaga! M… maaf, pak. Saya pergi dulu kalau begitu, bapak lanjutkan saja mandinya!” Aku yang menyadari ketidaknyamanan majikanku, langsung berpamitan dan hendak pergi, namun lagi dan lagi dihentikan oleh interupsi lelaki itu.Kali ini, aku tidak bisa menebak kalimat apa yang keluar dari bibirnya. Karena dia sudah sadar, seharusnya itu bukan kalimat nyeleneh yang akan membuatku tidak nyaman, kan?Kulihat Pak Hakam berdehem, “Pakaianmu sudah basah kuyup begitu. Kenapa tidak mandi disini saja.” Ucapnya sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.Aku terkejut dan wajahku seketika memerah padam. Mungkinkah ini … ajakan mandi bersama secara tidak langsung? Tetapi kenapa? Memangnya Pak Hakam tertarik padaku? Namun, ketika mengingat pengakuannya tentang masturbasi menggunakan fantasi wa
Setelah berputar-putar lebih dari 30 menit, kami akhirnya sampai di sebuah klinik kecil yang buka 24 jam. Aku sudah bersiap untuk membuka pintu dan berjalan sendiri. Namun tiba-tiba pintu mobil dibuka dari luar dan Pak Hakam langsung mengambil alih tubuhku tanpa bicara apa-apa.“Pak! Saya bisa jalan sendiri!” Aku yang terkejut reflek memeluk leher Pak Hakam dan merasa tidak nyaman.Namun, Pak Hakam tidak mau mendengarkan dan terus berjalan saja menuju pintu masuk klinik. Dan sialnya, ada beberapa staf laki-laki juga perempuan yang sedang bertugas. Kami berdua sontak saja jadi pusat perhatian. Aku merasa sangat malu dan hanya bisa menyembunyikan wajahku di potongan leher yang kokoh itu.“Pak, saya malu,” ujarku dengan suara kecil. Sementara itu, kulihat Pak Hakam tidak bereaksi, namun telingaku mendengar kekehan rendah yang samar.“Maaf, aku sedang panik. Jadi, tidak menyadari apapun selain kamu,” jawabnya jujur. Kemudian wajahku langsung memerah seperti udang rebus. Kalimat terakhir i
“Ehh?” Mendengar jawabanku, pak dokter tua itu terkejut. Dia berjalan ke arahku, kemudian mengambil alih tanganku untuk dia bantu berdiri, kemudian dituntun menuju ranjang kecil yang ada disana. “Jadi dia bukan suamimu? Tapi dia terlihat sangat khawatir.”Aku menggaruk pipi, “Kami memang dekat, tapi belum sampai tahap seperti itu.”“Ahh…” Pak dokter mengangguk karena langsung memahami maksudku. Karena posisiku duduk di ranjang, pak dokter itu duduk di kursi lain yang langsung menghadap ke arahku dan mengangkat kakiku yang terluka.“Aih, kukumu bahkan sampai menganga seperti ini. Bagaimana bisa?” Kepalanya menggeleng prihatin. “Ya, tidak sengaja.” Aku tertawa canggung, “Apa itu akan dibiarkan seperti itu? Atau kukunya harus dicabut semua?” Ketika menanyakan hal ini, aku merasa sedikit ngeri membayangkan betapa sakitnya.“Tidak perlu di cabut semua, karena bagian tengah ke belakang tidak terkelupas,” jawab dokter itu sambil mengamati kukuku. “Kamu setuju untuk memotong sebagian kukunya
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha