Home / Romansa / Rentenir Duda Itu Suamiku / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Rentenir Duda Itu Suamiku: Chapter 41 - Chapter 50

162 Chapters

BAB 41

Mendengar kata Hamun, Hakam bukannya merasa senang, justru semakin marah. “Siapa yang mengizinkan kamu melakukannya. Hamun sudah memiliki bagiannya sendiri, dan kamu tidak perlu ikut campur!” “Hamun anakku, dan aku bebas memberinya apapun dari uangku.” Zara membuang nafas kasar, kemudian mengejek Hakam. “Lagipula, aku ragu kemarahanmu ini hanya dilandasi atas kerugian ayahmu. Yakin bukan karena hal lain?” Tanya Zara, yang dalam hatinya sudah meyakini jika Puspa pasti memberitahu Hakam soal kedatangannya siang tadi. “Bukan urusanmu. Yang terpenting, tanah itu tidak akan pernah kuberikan padamu.” Hakam mendengus, “Nanti uang itu akan ku kembalikan langsung ke rekeningmu.” “Aku tidak mau.” Zara menggeleng, “Aku punya rencana sendiri dengan tanah itu.” “Rencana apa,” tan
Read more

BAB 42

Puspa dan Ibunya masih dalam keadaan bersukacita. Semangat hidup keduanya kembali sangat cepat. Makan malam yang tertunda itu pun dilanjutkan dengan suasana bahagia. Sambil menyendok makanan dalam piring, Elisha ingat sesuatu. “Kalau tidak salah nama orang yang kamu telepon tadi itu Hakam, ya? Apa itu betul Hakam Astana?”“Nah, dia memang Hakam Astana.” Jawab Puspa yang seketika membuat terkejut sang Ibu.“Kok kamu bisa kenal dengan dia? Bagaimana ceritanya?” Tanyanya penasaran.Puspa terkekeh, “Sudahlah, Ibuk juga gak akan tertarik dengan cerita pertemuan kami. Yang terpenting sekarang kita sudah aman.”“Belum aman,” Elisha menggelengkan kepala. “Tanah i
Read more

BAB 43

“Hamun sepertinya sangat tertarik denganmu. Aku berencana mempekerjakan kamu sebagai pelayan pribadinya. Bukannya kamu sedang butuh pekerjaan?”Puspa diam, kemudian membayangkan betapa tertekan batinnya jika bekerja di rumah keluarga Astana yang penuh dengan orang-orang kaya itu. Belum lagi ada Zara, yang sudah pasti akan buat masalah dengannya.“Maaf, Pak. Apa tidak ada opsi lain? Saya tidak bisa tahan emosi terlalu lama, nanti kalau berhadapan dengan Zara lagi, takutnya kami malah cakar-cakaran.”Kali ini Hakam yang diam, kemudian setelah beberapa saat baru ia bicara. “Kami akan melangsungkan sidang perceraian sebentar lagi. Setelah itu tidak akan ada dia dirumah ini. Alasanku menawarkan pekerjaan ini padamu sebenarnya ada pada Hamun. Setelah perpisahan kami, dia pasti akan tertekan.”Puspa langsung memahami alur pembicaraan ini, “Begitu, ya. Lalu untuk cicilan hutangnya bagaimana, Pak?”Hakam berdehem, “Mudah. Tinggal potong gaji tiap bulannya.” Puspa membayangkan berapa bulan dia
Read more

BAB 44

Pagi ini adalah sidang perceraian pertama mereka. Zara sudah pasrah, dia memilih untuk mundur sementara. Bukan berarti menyerah, hanya saja ada rencana lain yang sudah ia persiapkan dengan baik.Karena percuma menentang keputusan Hakam yang sudah sangat bulat untuk berpisah dengannya. Jadi, lebih baik mengikuti alurnya dulu, baru kemudian dia bisa melakukan semua rencananya secara diam-diam.Hakam sudah siap berangkat sidang, dalam perjalanan dengan mobil sedan andalannya, Puspa menelepon dan mengabarkan keputusannya. “Jadi, bagaimana?” Tanya Hakam lebih dulu.Di seberang, Puspa mengangguk, “Saya setuju, Pak. Mulai kapan saya kerjanya?”“Setelah aku dan Zara resmi bercerai. Tapi kalau kamu bisa datang lebih cepat juga tidak apa-apa.”Puspa berpikir sejenak, “Setahu saya sidang cerai tidak cuma sekali ‘kan, Pak? Kalau sidangnya sampai berkali-kali dan menghabiskan waktu berbulan-bulan, saya nanti cuma bisa makan rumput, Pak.”Hakam hampir tertawa ketika mendengar kalimat ini. Namun, d
Read more

BAB 45

“Puspa siapa?” Tanya Hamun ketika melihat bibi pengasuhnya kembali ke ruang keluarga.“Lah, Bibi lupa nama panjangnya,” ujarnya sambil menggaruk pipi. “Eh, kok malah bahas yang lain. Ayo, ini makannya dihabiskan dulu, setelah itu tidur siang!”Hamun merajuk, tidak mau menerima suapan lagi karena tidak selera untuk makan apapun. Akhirnya, sesi makan siang itu membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya. Bibi pengasuh harus berputar-putar mengejar Hamun yang menolak menerima suapan darinya.Karena Hamun tidak mau tidur siang, bibi pengasuh hanya bisa pasrah dan membiarkan anak itu bermain di ruang tamu. Katanya mau menunggu orang tuanya pulang. Dan benar saja, pukul empat sore lebih sedikit, deru mobil terdengar dari luar.Hamun seketika terbangun dan bersiap menyambut kedua orangtuanya. Sementara itu, bibi pengasuh yang membuka pintu utama deg-degan setengah hidup. Dia tahu hari ini hari sidang perceraian kedua majikannya. Sehingga, karena terbawa suasana, dia juga ikut penasaran dengan
Read more

BAB 46

“Ngapain kamu kesini!” Zara langsung lupa dengan tangisan sedihnya barusan. Dia berdiri dan menunjuk wajah Puspa layaknya bertemu dengan preman pasar.Puspa juga tak kalah terkejut, hanya saja dia langsung mengendalikan emosinya dan tersenyum ramah. “Saya pengasuh Hamun yang baru,” jawabnya sopan.“Hakam, bisa-bisanya kamu mempekerjakan orang seperti dia?!” Amuk Zara pada mantan suaminya itu.“Memangnya kenapa?” Tanya Hakam. “Ini bukan urusanmu lagi,” imbuhnya.“Jelas ini masih urusanku! Hamun anakku! Aku tidak sudi punya pekerja genit seperti dia!” Teriak Zara, membuat Batari terkejut dan seketika mendelik ke arah Puspa.“Kamu genit ke anak saya, y
Read more

BAB 47

Setelah kepergian Zara dan Batari, rumah itu kembali tenang tanpa ada suara teriakan yang memekakkan telinga. Hamun yang masih bersemangat, kini sedang memperkenalkan kamarnya sendiri pada Puspa.  “Ini kamarku,” ujar Hamun sambil membuka pintu kamarnya. Itu ruangan yang cukup luas. Terdiri dari satu kasur ukuran anak-anak, satu lemari dengan kaca besar, dan satu meja belajar berwarna biru muda. “Bagus kamarnya,” puji Puspa, membuat pipi Hamun merona.  “Aku tidak suka hiasan, jadi kamarku sangat sederhana.” Jawab Hamun, kemudian menuntun Puspa pada kamar tidur yang ada persis di sebelah kamarnya. “Kalau yang ini kamar Papa.” Hamun membuka kamar itu, kemudian ruangan besar dengan nuansa emas langsung menyilaukan mata Puspa.
Read more

BAB 48

Sesampainya dirumah, Puspa mandi dan langsung tidur. Keesokan harinya, dia bangun pukul 3 pagi. Di bantu Elisha, Puspa menyiapkan segala barang-barangnya sambil mengobrol ringan berdua.“Ingat, ya. Kamu disana kerja, bukan di rumah sendiri. Sekarang pekerjaan kamu bukan dandanin mayat lagi. Ini ngurus anak orang kaya. Jangan malas, jangan bikin masalah, jangan bantah majikan. Apalagi sampai bangun kesiangan.”Mendengar nasihat ibunya, Puspa hanya bisa menggelengkan kepala. “Iya-iya, Puspa paham, kok. Lagian ini bukan pengalaman pertama aku kerja, Buk.”“Ibuk cuma khawatir, karena firasat ibuk tidak enak. Pokoknya kamu harus hati-hati, ya. Terutama sama orang-orang yang tidak suka sama kamu.”“Siap!” Puspa memasang senyuman
Read more

BAB 49

Puspa menghela nafas, benar-benar harus banyak belajar sabar di hadapan Zara. Tentu saja, dia melakukan itu karena mengingat kebaikan yang sudah Hakam berikan padanya.Zara mengambil tempat di sebelah Hamun. “Hari ini biar Mama yang antar, ya?” Tawarnya, kemudian mengambil ubi ungu panas yang sudah dikupas itu ke dalam piring sang anak.“Mama mau antar?” Tanya Hamun, kemudian membuka mulut menerima suapan dari sang Ibu.“Memangnya kenapa? Tidak boleh?” Tanyanya dengan ekspresi sedih.“Tidak apa-apa.” Hamun menggeleng dan segera menyelesaikan sarapannya. Selesai sarapan, Hamun bersiap untuk pergi ke sekolah diantar Zara. Namun, Hamun tidak langsung pergi, melainkan menunggu bekal makan siang yang sudah disiapkan oleh Puspa.“Tunggu apa?” Tanya Zara ketika melihat sang anak masih duduk di meja makan.“Bekal makan siang. Masih disiapkan Kak Puspa,” jawab Hamun. Zara yang mendengar panggilan aneh itu langsung kesal. “Jangan panggil kak. Dia itu pembantu, panggil saja seperti biasa.”Keb
Read more

BAB 50

Setelah Hamun pergi, Hakam juga berangkat kerja menuju kantor. Seperti kata Bi Asih, sementara Hamun sekolah, dia bisa agak santai dirumah sambil sesekali membantu Bi Asih bersih-bersih. Pukul sembilan pagi, Puspa sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah bersama Bi Asih. Keduanya sedang berkumpul di dapur sambil meminum segelas jus segar yang baru selesai di blender. “Setelah ini aku mau pergi sebentar,” ujar Bi Asih sambil menenggak sisa jus jeruk dari dalam gelas.“Mau beli apa?” Tanya Puspa.“Beli panci baru, itu lihat … bawahnya bolong. Yang merek itu awet, lho. Kata Pak Hakam belinya sudah ada lima tahun lebih.”“Iya, sih. Ada harga, ada kualitas,” jawab Puspa.“Ya, sudah. Aku berangkat, ya. Kamu bisa santai-santai sampai jam sebelas. Nanti jangan lupa masak terus lanjut jemput Dek Hamun jam dua belas tepat.”Puspa mengangguk, memperhatikan Bi Asih yang berlalu setelah mengambil tas dari dalam kamarnya. Karena hanya ada dia sendirian, Puspa tidak punya teman bicara. Gadis itu
Read more
PREV
1
...
34567
...
17
DMCA.com Protection Status