"Resva, tolong sampaikan maaf ke ibumu, ya. Tante sama Om akan ke Semarang setelah urusan Ezra selesai."Ini bukan kali pertama Tante Fatma mengirimiku pesan, tapi entah mengapa sekarang jantungku berdetak tak keruan, meletup-letup seperti kembang api yang membuncah di ketinggian. Aku masih menahan senyum, masih belum percaya kalau Bang Ayas ternyata serius akan melamarku. Kemarin waktu di Semarang, dia mati-matian meyakinkan aku yang meragukan dirinya. "Saya berani bersumpah, Resva, kalau kamu bukan pelarian. Saya benar-benar ingin hidup sama kamu."Tidak hanya itu saja, lelaki itu juga meyakinkan Ibu setelah malam sebelumnya ternyata meminta izin untuk menjadi calon suamiku. Mungkin, yang Bang Ayas lakukan kemarin tidak bisa disebut sebagai lamaran karena dia datang tanpa keluarga. Pun tak ada prosesi yang sebagaimana mestinya. Kemarin itu lebih tepat jika dikatakan sebagai pendekatan Bang Ayas kepada Ibu. Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya tidak salah kalau aku mempercayainy
Read more