Home / Romansa / Kutukan Perjaka Tua / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Kutukan Perjaka Tua: Chapter 11 - Chapter 20

62 Chapters

Bukan Pinangan

Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"
Read more

Bujang Menghilang

Bab 12Menikah bukanlah tujuan utamaku saat ini. Masih banyak impian yang ingin aku wujudkan agar bisa membahagiakan Ibu. Jadi, kalau ditanya kapan menikah, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Namun, aku berkeinginan akan menikah jika sudah berumur dua puluh lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu. Setidaknya masih ada waktu tiga tahun bagiku untuk meraih mimpi; lulus kuliah, berbisnis, dan tentunya meningkatkan value diriku sendiri sebagai perempuan. Kata Ibu, perempuan harus punya value agar tidak diremehkan laki-laki. Perempuan harus mandiri agar tetap bisa berdikari jika sewaktu-waktu ditinggal suami. Perempuan harus bisa membahagiakan dirinya sendiri agar tidak mencuri kebahagiaan orang lain. Dua tahun menjanda rupanya membuat Ibu mendapatkan banyak sekali pembelajaran penting tentang hidup. Beliau yang dulunya sangat bergantung pada Ayah, akhirnya sadar bahwa perempuan harus mandiri meski bersuami. Aku pernah mendapati Ibu menangis, meraung-raung sambil memeluk baju Ayah.
Read more

Petaka Sok Akrab

"Va, beneran nggak papa?" Untuk kesekian kalinya, Acha memastikan aku baik-baik saja setelah turun dari mobil Tante Windi. "Nggak papa." Aku berkata seceria mungkin, berusaha melupakan kata-kata Tante Windi yang rasanya nylekit sampai ke tulang-tulang. Kami sedang dalam perjalanan ke gedung fakultas Ekonomi karena sebentar lagi akan ada kelas. Dan sepanjang itu pula, Acha menjelaskan peran Tante Windi di dalam keluarganya kenapa terlalu banyak ikut campur dalam perjodohan Bang Ayas. Tante Windi adalah adik bungsu Om Adnan. Sebagai alpha female, dia lebih suka mengatur dan tak terima bila mendapat penolakan, termasuk dalam urusan keluarga besar. Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu tidak dikaruniai anak. Oleh karenanya, dia menganggap anak-anak kakaknya sebagai anaknya juga. Keluarga besar tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Namun, semakin ke sini Tante Windi mulai melampaui batas, mengatur perjodohan untuk Bang Ayas. Bagi Tante Windi, Clarisa adalah perempuan yang di
Read more

Masa Penjajakan

Aku bersumpah kalau betulan salah orang, mulai besok tidak akan beli nasi goreng di sini lagi. Penjual nasi gorengnya pasti akan mengingat wajahku dan mengenang sepanjang perjalanannya berdagang sampai akhir hayat. Beruntungnya, sebelum aku pura-pura pingsan, laki-laki di depanku berujar, "Kenapa keluyuran?"Walaupun ketus, tapi kalimat itu sudah cukup menginformasikan kalau aku tidak salah orang. Di depanku benar-benar Bang Ayas yang masih lengkap dengan setelan pabrik; jutek dan menyebalkan. Tidak apa-apa. Kali ini aku ampuni. Serius. Anggap saja aku sedang berbaik hati memberikan senyum semanis gula untuk Bang Ayas. Walaupun ya … terkesan kecentilan sih karena tadi sempat jingkrak-jingkrak. "Ikut saya," kata Bang Ayas. Aku yang sudah kembali ke mode kalem, mengatakan kalau aku masih harus menunggu nasi goreng. Tidak enak kalau dibatalkan, apalagi aku memang belum makan. "Bang, tolong pesenan istri saya diduluin, ya."Mengalahkan dosis minum obat, aku harus menanggung malu seban
Read more

Bukan Rayuan Gombal

Kalau boleh memilih, aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini, pura-pura tidak tahu tentang Bang Ayas padahal kemarin malam kami bertemu. Aku merasa jahat sekali karena diam saja ketika Acha terus-terusan mengeluhkan kerinduannya pada kakak sulungnya itu. "Bang Ayas kan udah gede, Cha. Dia pasti tau mana yang terbaik buat dirinya." Hanya kalimat bernada seperti itu yang aku ucapkan untuk menenangkan Acha. Gadis bermata belo itu menghela napasnya dalam-dalam. "Kamu nggak tau rasanya punya abang sih, Va."Aku tersenyum getir. Sekeras apa pun aku berusaha menyelami hati Acha, aku tak akan pernah merasakan sedalam apa kesedihannya saat ini. Tapi, kalau tentang rindu, aku juga rindu ingin punya kakak yang bisa mengayomi dan menasehatiku layaknya teman sebaya. Aku adalah anak pertama yang dilahirkan Ibu, meski bukan pertama yang hadir di rahimnya. Ibu pernah mengalami keguguran sebanyak dua kali sebelum akhirnya aku hadir melengkapi kebahagiaannya. Dan setelah itu, karena
Read more

Abang Pulang

Aku pikir, Bang Ayas hanya bercanda. Dia tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya hanya karena kusuruh. Tapi, kenyataannya, lelaki itu memang tidak bohong. Pagi ini, dia mengantar Acha ke kos-kosanku untuk berangkat ke kampus bersama. "Memangnya Bang Ayas pulang kapan?" tanyaku sesaat setelah Acha memberitahu kalau dia ke sini diantar oleh Bang Ayas. "Semalam," jawab Acha dengan entengnya. Dia duduk di kasur, menungguku yang sedang memakai parfum. Aku yang tadinya menghadap cermin, refleks menoleh, "Semalam?" Dengan entengnya, Acha mengangguk. "Iya. Jam sebelas kalo nggak salah."Aku meletakkan botol parfum ke meja sembari mengingat-ingat kejadian semalam. Kalau tidak salah, Bang Ayas mengakhiri video call sekitar pukul setengah sebelas, tepat setelah aku pamit tidur. Apa itu artinya Bang Ayas langsung pulang ke rumah orang tuanya? Aku tidak GR. Aku hanya ikut senang melihat wajah Acha pagi ini berseri-seri. Senyumnya mengembang sepanjang jalan, bahkan saat menuruni tangga kos-
Read more

Bukan Makan Malam Romantis

Kata Pak Kyai, bohong itu dosa. Bisa membuat kita masuk neraka. Aku juga takut berbohong karena kalau ketahuan, Ibu akan mencubit lenganku sampai memar. Eits … tapi hal itu tidak berlaku kalau sedang dalam keadaan kepepet. Seperti sekarang ini, jujur sama saja hancur. Maka, dengan sangat terpaksa aku berdusta kepada Acha. Janji, besok nggak lagi-lagi ya Allah ….Aku tahu, aku bukan pembohong ulung. Jadi alasan yang kuberikan kepada Acha terkesan tidak masuk akal. "Bang Ayas cuma mau lihat kuteksku kok. Iya kan, Bang?"Acha memicing, menatap penuh curiga. Sialnya, Bang Ayas hanya diam saja. Boro-boro menimpali, dia malah sibuk mengemudi seolah-olah tidak mendengar apa yang tadi kukatakan. Tentu saja Acha tidak percaya begitu saja. Tapi, setelah melihat aku menggunakan warna cat kuku yang berbeda dari biasanya, dia ikut berkomentar, "Oh, iya. Cakep."Huh! Tidak sia-sia aku ganti warna cat kuku dari yang biasanya nude atau kuning muda, sekarang putih. Meski Acha sepertinya masih puny
Read more

Cari Gara-Gara

Menurutku, kekhawatiran Bang Ayas mungkin sama seperti apa yang dirasakan Tante Fatma. Wanita itu pun mengatakan selalu mencemaskan aku yang hidup sendirian di Jakarta. Makanya, beliau sering mengirim makanan agar aku tidak kelaparan. Seperti sore ini, Tante Fatma pun repot-repot mampir ke kosan hanya untuk mengantar bittersweet dari sebuah toko kue kenamaan. Wanita itu mengaku ingat padaku ketika membelikannya untuk Acha. "Wah, repot-repot, Tante." Aku menerima paper bag dari tangan Tante Fatma dengan canggung. "Enggak. Kebetulan Tante ada arisan di dekat sini, jadi sekalian mampir sambil nengok kamu. Sudah lama lho kita nggak ketemu," kata wanita itu dengan ramah, kemudian menyentuh lenganku. "Kok, nggak pernah main ke rumah?"Di lobi kos-kosan ini cukup lengang. Hanya dilintasi beberapa penghuni yang baru pulang kuliah dan langsung naik ke lantai atas. Bukan suatu hal yang aneh kalau ada tamu di lobi karena sudah terbiasa bagi kami. Jadi, kehadiran Tante Fatma tidak menyedot per
Read more

Panggilan Baru

Kelopak mataku selengket permen karet. Rasanya susah sekali dibuka. Namun, meski masih terpejam aku meraba kasur untuk mencari ponsel. Benda itu rupanya tergeletak tak jauh dari bantal yang kutempati. Karena ingat ponsel dalam kondisi mati, maka aku menekan tombol power. Aku ingat biasanya pagi-pagi sekali grup anak-anak bisnis digital sudah ramai. Entah membahas tugas atau sekadar menggibahi dosen.Ups! Kalau urusan menggibahi dosen sih aku cukup menyimak saja. Takut salah bicara dan ada yang iseng menangkap layar, lalu melaporkan kepada dosen yang bersangkutan. Apa bukan cari mati namanya? Aku mengerjap beberapa kali untuk menatap layar ponsel yang sudah menyala. Beruntung pagi ini tidak ada kelas sehingga aku masih punya waktu untuk bermalas-malasan di kasur. Sewaktu masih sibuk menyimak obrolan teman-teman di grup, tiba-tiba Acha video call. Entah kesambet setan apa anak itu menelepon sepagi ini. Tumben sekali. Aku duduk malas di kasur sebelum akhirnya mengusap ikon hijau di la
Read more

Rindu dan Gengsi

Entah mengapa aku merasa bersalah karena sudah memanfaatkan Bang Ayas demi menyelamatkan egoku di depan Agam. Dan sekarang, aku bimbang antara harus jujur dan meminta maaf, atau membiarkan semuanya berlalu begitu saja tanpa diluruskan. Aku menatap dimsum yang dibawa Bang Ayas kemarin sore dan juga bittersweet pemberian Tante Fatma. Keduanya disimpan oleh Tante Elin di lemari pendingin. "Dia pulang jam sembilan, lho, Va." Tante Elin yang kebetulan datang siang ini. Ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya. "Lain kali jangan kayak gitu, deh. Kalo ada masalah, cepat selesaikan. Tante lihat sepertinya dia baik dan bertanggung jawab," sambung wanita yang mengenakan midi dress hitam. Aku menyalakan microwave untuk menghangatkan dimsum. Sayang kalau harus dibuang karena masih layak makan. "Kami nggak ada hubungan apa-apa, Tante."Sepertinya, aku harus meluruskan hal ini. Tante Elin tidak boleh terus-terusan menganggap Bang Ayas adalah calon suamiku. "Dia kakaknya Acha. Tante tau Acha, ka
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status