Kata Pak Kyai, bohong itu dosa. Bisa membuat kita masuk neraka. Aku juga takut berbohong karena kalau ketahuan, Ibu akan mencubit lenganku sampai memar. Eits … tapi hal itu tidak berlaku kalau sedang dalam keadaan kepepet. Seperti sekarang ini, jujur sama saja hancur. Maka, dengan sangat terpaksa aku berdusta kepada Acha. Janji, besok nggak lagi-lagi ya Allah ….Aku tahu, aku bukan pembohong ulung. Jadi alasan yang kuberikan kepada Acha terkesan tidak masuk akal. "Bang Ayas cuma mau lihat kuteksku kok. Iya kan, Bang?"Acha memicing, menatap penuh curiga. Sialnya, Bang Ayas hanya diam saja. Boro-boro menimpali, dia malah sibuk mengemudi seolah-olah tidak mendengar apa yang tadi kukatakan. Tentu saja Acha tidak percaya begitu saja. Tapi, setelah melihat aku menggunakan warna cat kuku yang berbeda dari biasanya, dia ikut berkomentar, "Oh, iya. Cakep."Huh! Tidak sia-sia aku ganti warna cat kuku dari yang biasanya nude atau kuning muda, sekarang putih. Meski Acha sepertinya masih puny
Menurutku, kekhawatiran Bang Ayas mungkin sama seperti apa yang dirasakan Tante Fatma. Wanita itu pun mengatakan selalu mencemaskan aku yang hidup sendirian di Jakarta. Makanya, beliau sering mengirim makanan agar aku tidak kelaparan. Seperti sore ini, Tante Fatma pun repot-repot mampir ke kosan hanya untuk mengantar bittersweet dari sebuah toko kue kenamaan. Wanita itu mengaku ingat padaku ketika membelikannya untuk Acha. "Wah, repot-repot, Tante." Aku menerima paper bag dari tangan Tante Fatma dengan canggung. "Enggak. Kebetulan Tante ada arisan di dekat sini, jadi sekalian mampir sambil nengok kamu. Sudah lama lho kita nggak ketemu," kata wanita itu dengan ramah, kemudian menyentuh lenganku. "Kok, nggak pernah main ke rumah?"Di lobi kos-kosan ini cukup lengang. Hanya dilintasi beberapa penghuni yang baru pulang kuliah dan langsung naik ke lantai atas. Bukan suatu hal yang aneh kalau ada tamu di lobi karena sudah terbiasa bagi kami. Jadi, kehadiran Tante Fatma tidak menyedot per
Kelopak mataku selengket permen karet. Rasanya susah sekali dibuka. Namun, meski masih terpejam aku meraba kasur untuk mencari ponsel. Benda itu rupanya tergeletak tak jauh dari bantal yang kutempati. Karena ingat ponsel dalam kondisi mati, maka aku menekan tombol power. Aku ingat biasanya pagi-pagi sekali grup anak-anak bisnis digital sudah ramai. Entah membahas tugas atau sekadar menggibahi dosen.Ups! Kalau urusan menggibahi dosen sih aku cukup menyimak saja. Takut salah bicara dan ada yang iseng menangkap layar, lalu melaporkan kepada dosen yang bersangkutan. Apa bukan cari mati namanya? Aku mengerjap beberapa kali untuk menatap layar ponsel yang sudah menyala. Beruntung pagi ini tidak ada kelas sehingga aku masih punya waktu untuk bermalas-malasan di kasur. Sewaktu masih sibuk menyimak obrolan teman-teman di grup, tiba-tiba Acha video call. Entah kesambet setan apa anak itu menelepon sepagi ini. Tumben sekali. Aku duduk malas di kasur sebelum akhirnya mengusap ikon hijau di la
Entah mengapa aku merasa bersalah karena sudah memanfaatkan Bang Ayas demi menyelamatkan egoku di depan Agam. Dan sekarang, aku bimbang antara harus jujur dan meminta maaf, atau membiarkan semuanya berlalu begitu saja tanpa diluruskan. Aku menatap dimsum yang dibawa Bang Ayas kemarin sore dan juga bittersweet pemberian Tante Fatma. Keduanya disimpan oleh Tante Elin di lemari pendingin. "Dia pulang jam sembilan, lho, Va." Tante Elin yang kebetulan datang siang ini. Ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya. "Lain kali jangan kayak gitu, deh. Kalo ada masalah, cepat selesaikan. Tante lihat sepertinya dia baik dan bertanggung jawab," sambung wanita yang mengenakan midi dress hitam. Aku menyalakan microwave untuk menghangatkan dimsum. Sayang kalau harus dibuang karena masih layak makan. "Kami nggak ada hubungan apa-apa, Tante."Sepertinya, aku harus meluruskan hal ini. Tante Elin tidak boleh terus-terusan menganggap Bang Ayas adalah calon suamiku. "Dia kakaknya Acha. Tante tau Acha, ka
Aku tidak tahu pasti sejak kapan chat dan telepon dari Bang Ayas menjadi hal yang paling aku tunggu sepanjang hari. Aku tidak tahu mengapa obrolan kami menjadi begitu hangat dan menyenangkan setiap malam. Anehnya, aku tidak bisa tidur sampai pagi jika belum mendengar suaranya dan melihat senyumnya. Mungkin, aku sudah gila. Atau terjangkit virus langka yang membuat tempurung kepalaku seperti dijejali bayang-bayang Bang Ayas. Dan yang paling konyol adalah aku ingin menjadi alasan bagi pria jutek itu tersenyum. Entahlah, aku merasa melambung ke nirwana setiap kali Bang Ayas mengulas senyum meskipun hanya setipis kulit ari. Siapa pun, tolong jelaskan apa yang sedang kurasakan sekarang ini? Aku mohon, bilang kalau ini bukanlah cinta. Iya, kan? Aku tidak mungkin jatuh cinta kepada Bang Ayas. Itu adalah mantra yang selalu kurapalkan di setiap pertemuan kami. Aku hanya … merasa nelangsa kalau tidak bisa menjumpainya di mana-mana; di parkiran fakultas ekonomi, di deretan notifikasi, ataupun
"Kita ke dokter, ya?"Sembari memegangi selimut, aku menggeleng. Hanya demam biasa dan sepertinya akan sembuh setelah dibawa tidur. Kalau bukan atas desakan Bang Ayas yang melihatku masih meringkuk di kasur ketika kami video call, aku pun tak akan mengaku sakit. "Terus saya harus gimana biar bisa ketemu kamu? Memangnya boleh masuk ke kamar?"Lagi-lagi pertanyaan Bang Ayas kurespons dengan gelengan. Di kos-kosan ini, Tante Elin melarang keras laki-laki masuk kamar. Bahkan petugas kebersihan yang berada di sini juga perempuan paruh baya yang sudah sangat terpercaya. Berani menerobos masuk kamar sama saja cari mati, satpam tidak akan segan-segan menyeret ke luar. "Resva, saya harus gimana?"Aku bergumam saja. Memangnya harus bagaimana? Bang Ayas tidak perlu melakukan apa pun meski semua ini bisa dibilang karena ulahnya kemarin sore. Jika mengingat itu, rasanya suhu tubuhku semakin naik. Bisa-bisanya aku diam saja waktu dicium. Kami kan tidak pacaran! Oke. Ini aneh sekali. Bang Ayas
"Nggak tau kenapa, aku yakin banget Bang Ayas lagi deket sama cewek."Air yang berada di mulutku muncrat, untung tidak mengenai permukaan meja kantin yang saat ini sedang kutempati bersama Acha. Untuk menyembunyikan keterkejutan yang mungkin terlihat, aku buru-buru mengambil tisu untuk mengelap bibir. "Dekat sama siapa?" pancingku untuk mengetahui sejauh mana kecurigaan Acha. Acha menggulung spaghetti menggunakan garpu, lalu menyuapkan ke mulutnya sendiri. Sembari mengunyah, dia tampak berpikir. "Gini." Acha meletakkan garpu ke piring dan beralih meraih sedotan dari gelas minumannya. "Tadi pagi waktu masuk ke mobil Bang Ayas, jok depan tuh kayak habis buat rebahan gitu."Gadis bermata belo itu memicing. "Kira-kira apa yang dilakukan Bang Ayas sama ceweknya?""Tidur," sahutku di luar kendali. Maksudnya, aku hanya ingin menyangkal pikiran negatif yang Acha punya. Aku ingat betul, kemarin Bang Ayas sengaja merendahkan sandaran kursi agar aku bisa tidur dengan nyaman. Sepulang dari kl
Aku sudah kebal dengan semua gombalan Bang Ayas tentang nikah. Ya, walaupun masih sering membuat deg-degan, tapi aku berusaha untuk tidak tersipu. Mungkin candaan laki-laki yang sudah berkepala tiga seperti itu kali, ya. Dikit-dikit nikah, dikit-dikit lamaran. Wajar sih, pasti karena tuntutan keluarga, atau iri dengan teman-teman sebaya. Menurut penuturan Acha, sejak Bang Ayas tinggal di apartemen, belum ada perempuan yang dijodohkan lagi dengannya. Kemungkinan besar karena Tante Fatma dan Om Adnan takut anak sulungnya itu kabur lagi. Terlebih, perseteruan mereka dengan Tante Windi belum mereda. "Kayaknya bakal tetep keduluan Bang Ezra," kata Acha. Menurutnya, kakak keduanya itu akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. "Pasti ntar Bang Ayas yang jadi sorotan. Ditanya kapan nikah, mana calonnya. Aku yang denger aja ikutan enek!""Gitu banget keluarga kamu?" tanyaku. Acha mengangguk. "Yang paling rese keluarga Papa. Mungkin karena mereka rata-rata nikah dua lima, atau mento
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken